Kalangan perburuhan kecewa dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka dibayangi masa depan yang mencemaskan saat aturan itu diberlakukan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Ratusan buruh Kota Surabaya yang akan menuju DPRD Jawa Timur untuk berunjuk rasa melintasi Jalan Embong Malang, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (6/10/2020). Mereka menolak disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR. Unjuk rasa berjalan dengan tertib dan aman.
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan perburuhan menyangsikan masa depan kesejahteraannya membaik dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah persoalan yang mereka khawatirkan belum terjelaskan secara gamblang dalam ketentuan baru itu.
Di sisi lain, pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja di Jakarta, Senin (5/10/2020), menjadi sorotan banyak pihak. Buruh menilai proses pembahasannya yang cepat telah mengabaikan aspirasi mereka. Sebagian buruh merespons dengan mogok kerja, Selasa (6/10). Pemogokan itu akan dilanjutkan hingga Kamis (8/10) di tempat kerja masing-masing.
Risang Yoga, salah satunya. Mogok nasional menjadi pilihan buruh industri metal di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ini setelah aspirasi dari federasi dan serikat mental, serta adanya larangan unjuk rasa di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. ”Mogok nasional sesuai instruksi (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia). Kecewa sudah ada pendekatan dari pimpinan serikat, tetapi nyatanya kemarin dikebut. Sudah ajukan masukan kepada yang mulia (DPR) ternyata tetap dikebut,” ucap Risang.
Buruh yang tergabung dalam Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menggelar aksi penolakan disahkannya UU Cipta Kerja dengan berjalan kaki berkeliling di Jalan Raya Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020).
Sejumlah poin penolakan mereka ialah uang pesangon dihilangkan, upah minimum dihapus, upah dihitung per jam, serta hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi. Tenaga alih daya diganti kontrak seumur hidup, tidak akan ada status karyawan tetap, potensi pemutusan hak kerja sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, karyawan berstatus tenaga kerja harian, dilarang protes dengan ancaman pemutusan hak kerja, libur hari raya hanya pada tanggal merah, dan tidak ada penambahan cuti.
Felby Mandala (25) waswas nasibnya sebagai tenaga alih daya bakal suram setelah terbit UU Cipta Kerja. Sebab, besar kemungkinan berkurangnya jaminan kesejahteraan. ”Sebelum ada UU Cipta Kerja saja kondisi sudah sulit. Upah pas-pasan setelah pemotongan sana-sini dan tekanan kerja besar. Untuk upah sesuai minimum regional harus kerja di atas 3 tahun dan tergantung penilaian pimpinan,” tutur Felby.
Hal serupa juga menjadi perhatian Budi Alimuddin (41). Karyawan swasta ini khawatir potensi berkurangannya kesejahteraan dari upah per jam, per pekan, dan per bulan apabila perusahaan menentukan sendiri besaran upah tanpa konsultan independen.
”Apa pun itu, kalau pengawasannya lemah dan mudah disogok, adalah sia-sia. UU Cipta Kerja pengesahan saat pendemi, di mana orang-orang tak bisa bersuara dengan terbuka. Kesannya ada konspirasi antara pemerintah, perlemen, dan korporasi,” kata Budi.
Buruh menggelar aksi mogok kerja di dalam pagar pabriknya di kawasan industri MM2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020).
Harapannya hanya satu. DPR dan pemerintah serius mengawasi penerapan UU Cipta Kerja supaya tidak ada kongkalikong. Sebab, sepengalamannya, selama ini kelemahan terbesar ada di sisi pengawasan dan penindakan. ”Sampai di titik nyaris tidak percaya lagi dengan pembuat dan pengambil kebijakan,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menuturkan, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.
RUU ini dinilai mampu menjawab permasalahan yang selama ini menjadi kendala masuknya investasi, yakni tumpang-tindih aturan dan perizinan. RUU Cipta Kerja pun dinilainya penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan dan transformasi ekonomi. ”Dinamika ekonomi global saat ini di tengah pandemi memerlukan respons cepat dan tepat. Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan tetap melambat,” kata Shinta.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, RUU Cipta Kerja memperburuk wajah hubungan industrial yang saat ini sudah banyak diwarnai konflik dan merugikan buruh. Di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, kehadiran RUU Cipta Kerja semakin mereduksi perlindungan dan kesejahteraan buruh.
”Pemerintah dan DPR seolah tidak melihat fakta kondisi sosiologis pekerja saat ini. Banyak pekerja yang sekarang saja sudah dibayar di bawah upah minimum, diberhentikan kerja secara sepihak, dan tidak terjamin perlindungan sosialnya. Namun, praktik-praktik buruk itu justru sekarang dimasifkan dan dilegalkan lewat undang-undang,” katanya.
Timboel menyoroti sejumlah ketentuan krusial yang justru dilepas oleh DPR ke tangan pemerintah untuk diatur di rancangan peraturan pemerintah (PP). Padahal, pembahasan rancangan PP umumnya dilakukan secara sepihak dan tertutup oleh pemerintah.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh dan aparat keamanan shalat Maghrib berjamaah seusai berunjuk rasa di kawasan industri East Jakarta Industrial Park, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020).
”DPR melepas tanggung jawab konstitusionalnya ke pemerintah begitu saja. Artinya, PP bisa diutak-atik tanpa pengawasan. Pengusaha tinggal melobi pemerintah, DPR dan publik tidak bisa mengintervensi,” ucapnya.
Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas membantah RUU itu merugikan pekerja. Substansi RUU itu diklaim meningkatkan perlindungan kepada pekerja. Salah satu aturan yang melindungi pekerja ialah adanya JKP yang dikelola melalui mekanisme BPJS Ketenagakerjaan yang sepenuhnya ditanggung APBN.
”Persyaratan pemutusan hubungan kerja tetap mengikuti UU Ketenagakerjaan. RUU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil, yang diatur di UU Ketenagakerjaan. Kemudahan berusaha yang diatur di dalam UU ini dijamin untuk semua pelaku usaha, mulai dari UMKM, koperasi, dan usaha besar,” katanya.