Menristek: Indonesia Masih Tergoda Memprioritaskan Ekonomi Sumber Daya Alam
Sudah saatnya Indonesia membangun ekosistem berbasis inovasi agar bisa menjadi negara maju. Bagaimana langkah pemerintah, berikut wawancara khusus dengan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia harus bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan menjadi negara maju. Inovasi, bukan sekadar eksploitasi tambang dan sumber daya alam lainnya, yang dinilai akan mengantarkan Indonesia lepas landas menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan, tahun 2045 kelak.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro meyakini ini adalah langkah yang dilakukan sedikit negara yang bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Namun, bagaimana rencana pemerintah untuk mewujudkan hal ini? Bagaimana bisa mengatasi sedikitnya peneliti di Indonesia?
Berikut kutipan wawancara Kompas dengan Bambang PS Brodjonegoro pada Senin (5/10/2020) di Jakarta.
Mengapa inovasi berbasis inovasi menjadi penting untuk Indonesia?
Kalau saya lihat, terutama negara-negara yang saat ini menjadi negara maju, mereka bisa menjadi negara maju atau berpendapatan tinggi itu karena mengedepankan inovasi dalam transformasi ekonominya.
Transformasi ekonomi ini sangat wajar dan target yang harus dicapai jika ada negara yang ingin kondisi ekonominya membaik.
Baca juga: Tingkat Inovasi Teknologi Indonesia Termasuk Terendah di ASEAN
Bangsa Indonesia punya semangat untuk menjadi negara maju pada 2045; artinya kita punya waktu 25 tahun untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap. Dan sangat sedikit negara yang bisa lolos dari jebakan ini.
Kita bisa belajar dari Jepang dan Korea Selatan. Selepas Restorasi Meiji, mereka menyadari bahwa tidak ada sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, jadi mereka harus bergantung pada sumber daya manusia dan kemudian menggunakan teknologi.
Mereka pun berfokus pada inovasi di sektor manufaktur. Mereka pun serius melakukan research and development untuk mengembangkan poduk mereka. Perusahaan Jepang berinvestasi serius pada sektor ini.
Korea Selatan pun seperti itu. Pada tahun 1950, Indonesa dan Korea Selatan sama-sama menjadi negara termiskin di Asia. Namun, sejak 1960-an, Korea Selatan sudah bergerak ke sektor industri.
Baca juga: Program Biogas Sulit Berkembang
Dan yang menarik dari sektor industri mereka adalah meskipun kena krisis, tetap bisa survive. Mengapa? Karena mereka tidak mengandalkan produksi, tetapi mengedepankan RnD. Kini, mereka bisa sukses sekarang di teknologi smartphone karena inovasi yang berkelanjutan.
Ini adalah pelajaran berharga untuk Indonesia. Bedanya dengan Korea Selatan, mereka tidak ada temptation, atau godaan, untuk tetap bergelut dengan sumber daya alam. Beratnya persoalan yang dihadapi Indonesia ini karena kita masih tergoda untuk memprioritaskan ekonomi sumber daya alam.
Karena memang, (ekonomi berbasis sumber daya alam) secara teknologi atau bisnis itu mudah. Untuk batubara, misalnya; asal kita dapat konsesi, kita tinggal hire kontraktor untuk melakukan penambangan.
Boleh dibilang, bisnis ini tidak perlu memikirkan teknologinya, tidak perlu memikirkan product development karena itu semua tergantung dengan harga global.
Ini mentality yang harus kita ubah. Memang, ekonomi berbasis inovasi ini membutuhkan kerja ekstra. Risikonya besar dan investasi yang besar juga.
Jika Jepang dan Korea Selatan berfokus pada manufaktur otomotif dan elektronik, bagaimana Indonesia? Industri apa yang harus terus melakukan RnD?
Sektor industri ini yang perlu kita identifikasi. Kalau di sisi manufaktur, selain product development, kita juga bicara tentang otomasi pada revolusi industri keempat ini. Apakah manufaktur kita bisa lebih efisien atau tidak?
Tetapi, saya juga memahami bahwa revolusi industri keempat adalah ekonomi kreatif dan digital. Ambil contoh industri fashion, misalnya. Hal yang bisa membuat sejumlah brand menguasai pasar itu adalah desain yang bagus.
Kita bisa belajar dari Jepang dan Korea Selatan. Selepas Restorasi Meiji, mereka menyadari bahwa tidak ada sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, jadi mereka harus bergantung pada sumber daya manusia dan kemudian menggunakan teknologi.
Jadi, industri di Indonesia jangan cuma puas bahwa ”sudah mampu membuat baju”. Pertanyaan kita adalah bagaimana sekarang kita yang mempunyai brand atau desain semacam itu.
Tetapi, saat ini bagaimana kita meningkatkan inovasi kalau jumlah peneliti kita sedikit?
(Berdasarkan data dari Kemenristek, jumlah peneliti Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan negara kawasan. Jumlah peneliti di Korea Selatan mencapai 400.000 atau setara 8.000 per sejuta penduduk. Sedangkan Singapura (7.000/sejuta penduduk) dan Malaysia (2.590/sejuta penduduk). Indonesia dengan jumlah 269.956 orang yang terdiri dari dosen, peneliti, dan peneliti di industri, artinya sekitar 1.071 orang per sejuta penduduk).
Jumlah peneliti sedikit karena peneliti ini belum merupakan profesi yang menjanjikan. Hal ini karena dunia penelitian dan industri ini belum nyambung.
Peneliti yang Anda kenal dan ada di persepsi masyarakat adalah mereka yang di lembaga atau dosen di kampus yang kegiatannya mendapatkan hibah penelitian dan kemudian hasilnya adalah publikasi internasional. Ini tentunya sangat penting.
Baca juga: Narasi Beri Nilai Tambah Produk UKM Tujuan Ekspor
Namun, ini tentunya belum membuat peneliti kita jumlahnya banyak. Kalau masyarakat tahu hasil penelitiannya bisa dihilirisasi ke industri yang tertarik. Peneliti ini kemudian punya hak paten, kekayaan intelektual yang lisensinya dibeli industri. Kalau ada mekanisme antara peneliti dan industri ini lancar, jumlah peneliti akan bertambah secara alamiah.
Di sinilah pemerintah harus menjadi fasilitator. Dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, kita harapkan industri lebih tahu apa yang dilakukan peneliti dan peneliti tahu apa yang diinginkan industri.
Lalu apa rencana pemerintah untuk meningkatkan iklim inovasi ini?
Kuncinya adalah insentif untuk industri agar lebih peduli melakukan RnD. Ini dengan wujud super tax deduction 300 persen.
Berdasarkan data terakhir, total belanja, termasuk investasi RnD ini, hanya 0,25 persen; dan dari angka tersebut 80 persen adalah dari pemerintah. Padahal, kalau di Korea Selatan itu, 70 persen pengeluaran RnD itu adalah swasta. Kami harapkan insentif ini menyadarkan semua pihak mengenai pentingnya RnD untuk bisnis.
Ini adalah visi yang sangat besar. Apa langkah awal konkret yang akan dilakukan Kemenristek?
Kami punya Rancangan Induk Riset Nasional atau RIRN. Idenya di sini adalah setiap lima tahun kita menunjukkan produk-produk yang dibutuhkan Indonesia pada saat itu. Untuk lima tahun ke depan, fokus kami adalah menemukan inovasi untuk substitusi impor.
Namun perlu saya tekankan, substitusi impor di sini bukan melalui subsidi atau proteksionis. Substitusi impor ini bisa dilakukan dengan sentuhan teknologi dan inovasi.
Baca juga: Prioritas Riset untuk Kurangi Ketergantungan Impor
Misalnya untuk garam. Kita impor garam industri itu besar sekali. Tahun 2019, ini kita impor garam industri sekitar 2,9 juta ton. Itu yang dalam negeri sedikit sekali; mungkin hanya 100.000 ton. Sisanya harus impor.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Insentif bagi Pelaku Ekonomi Kreatif Kuliner
Kebanyakan garam itu karena asalnya adalah tambang, jadi murah. Sedangkan Indonesia tidak punya tambang garam. Tetapi kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Di sinilah inovasi itu penting. Kita harus menciptakan teknologi yang nantinya tidak hanya memisahkan garam dari air laut, tetapi konsentrasi garam yang masih rendah itu bisa ditingkatkan, ditingkatkan dengan teknologi, begitu.
Kedua, kita juga mendorong katalis merah putih yang bisa mengonversi minyak inti sawit menjadi bahan bakar nabati, terlebih lagi kita salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Bahan bakar fosil kan memiliki keterbatasan tambang dan bersifat tidak renewable.
Bagaimana bisa memfokuskan arah penelitian ini?
Kami melakukan focusing-nya melalui Prioritas Riset Nasional (PRN) yang akan kami ganti namanya menjadi Prioritas Riset dan Inovasi Nasional. Melalui ini, kami mengalokasikan sejumlah anggaran yang kemudian kami berikan dalam bentuk hibah kepada peneliti.
Lalu, apa fungsi Kemenristek/BRIN dalam seluruh skema ini?
Kami adalah integrator dari hulu dan hilir. Posisi BRIN kelak adalah satu-satunya lembaga yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) di Indonesia.
Baca juga: Rp 14 Miliar Dana Prioritas Riset Nasional Disalurkan
Di dalam BRIN, akan ada kluster menurut keilmuan dan posisinya dalam siklus litbangjirap ini. Jadi akan tetap ada lembaga-lembaga yang kita kenal (LIPI dan BPPT, misalnya) sebagai kluster dalam BRIN.
Salah satu tugas penting BRIN adalah bagaimana koneksi antara satu bidang dan bidang lain itu tetap ada, dan sekaligus bagaimana hilirisasi dari hasil riset. Jangan sampai hasil riset itu berhenti di prototype saja yang hanya mencerminkan pada pemanfaatan anggaran.
Kita perlu mendorong adanya research for development, penelitian untuk mendorong pembangunan ekonomi. Bukan untuk riset untuk riset itu sendiri.