Kalangan buruh menolak pengurangan hak-haknya tanpa alasan yang jelas dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Massa buruh turun ke jalan menuju ke depan Kkompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, untuk berunjuk rasa, Selasa (25/8/2020). Foto sebagai ilustrasi berita.
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan buruh kecewa kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah pandemi. Rancangan aturan itu dinilai belum mengakomodasi hak-hak mereka. Penyampaian aspirasi mereka lewat serikat dan federasi buruh seakan sia-sia saja.
Mereka terkejut karena Badan Legislasi DPR bersama pemerintah mengambil keputusan tingkat satu atas RUU Cipta Kerja, Sabtu (3/10/2020) jelang tengah malam. Tujuh dari sembilan fraksi menyetujui pengesahan ini. Suara mayoritas membuat RUU ini menuju pengambilan keputusan tingkat dua atau dalam Rapat Paripurna DPR.
Sebagian buruh nekat mendatangi Gedung Parlemen, Senin (5/10/2020), meskipun kepolisian tidak memberikan surat tanda terima pemberitahuan atau izin keramaian kepada penanggung jawab demonstrasi karena dalam masa pembatasan sosial berskala besar ketat. Polisi mengimbau kelompok-kelompok buruh dan mahasiswa mengurungkan niat turun ke jalan. Satuan di wilayah-wilayah mencegah dan membubarkan kumpulan massa yang hendak berangkat ke Senayan.
Belasan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia ini datang dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menggunakan kendaraan pribadi. Sementara buruh lainnya tidak berangkat karena polisi telah menjaga kawasan industri.
Mereka hanya duduk dalam kelompok kecil di trotoar depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, polisi dari berbagai satuan dengan kendaraan taktis berjaga di sekeliling kompleks Gedung Parlemen, stasiun, dan ruas jalan.
Polisi bertanya ada keperluan apa kepada orang yang berjalan mendekat ke Gedung Parlemen. Lewat portofon, mereka saling menginformasikan situasi dan potensi pergerakan massa buruh dan pekerja.
Buruh dan pekerja dalam pesan berantai internal menyebut tragedi tengah malam kembali terjadi. DPR dan pemerintah mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU tengah malam.
Adapun sejumlah poin penolakan dalam pesan berantai ini ialah uang pesangon dihilangkan, upah minimum dihapus, upah dihitung per jam, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi. Tenaga alih daya diganti kontrak seumur hidup, tidak akan ada status karyawan tetap, potensi pemutusan hak kerja sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, karyawan berstatus tenaga kerja harian, dilarang protes dengan ancaman pemutusan hak kerja, libur hari raya hanya pada tanggal merah, dan tidak ada penambahan cuti.
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berbaris di depan pintu gerbang Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Komunikasi
Dedi Nuridin (40) menyesalkan DPR dan pemerintah yang tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan. Apalagi di tengah pandemi banyak buruh dan pekerja terdampak secara ekonomi.
Anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia ini menuturkan, dampak pandemi yang sangat terasa adalah pemotongan gaji berkisar 50-80 persen dan tunjangan hari raya yang masih dicicil. ”Masih lobi-lobi ke perusahaan untuk kurangi pemotongan dan percepat cicilan, sudah ada masalah lain lagi (pengesahan RUU Cipta Kerja),” ucap Dedi.
Dedi dan kawan-kawan buruh tidak puas dengan penjelasan pemerintah tentang RUU Cipta Kerja. Ketidakjelasan ini terutama dalam poin-poin yang ditolak. Menurut dia, buruh dan pekerja waswas pemutusan hak kerja sepihak, upah berdasarkan jam kerja, dan tidak ada kepastian karena potensi kontrak seumur hidup. Sementara penjelasan dari kementerian tidak memuaskan, misalnya apakah mendapatkan upah atau tidak selama cuti.
”Hari ini lihat reaksi DPR dan pemerintah seperti apa. Serikat sudah lakukan pendekatan, tetapi ternyata kemarin dikebut, masukan juga sia-sia. Buruh dan pekerja akan mogok nasional di wilayah masing-masing,” katanya. Menurut rencana, mogok nasional akan berlangsung 6-8 Oktober 2020.
Anggota dan pimpinan Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Terancamnya kesejahteraan buruh dan pekerja lewat RUU Cipta Kerja menjadi kekhawatiran Radiansyah Ramadhan (24). Apalagi poin-poin di dalamnya tidak dijelaskan secara baik oleh DPR dan pemerintah. ”Saya takut kesejahteraan pegawai dan buruh terancam. Informasi tentang RUU ini masih kurang jelas dan tidak terlalu detail,” ucap Radiansyah.
Ketidakjelasan ini bermuara pada sulit memahami inti dan tujuan RUU Cipta Kerja. Hanya tersisa tanya di dalam benaknya, kepada siapa sasaran utama pengesahan RUU ini. ”Mengambil poin intinya agak susah. Ujung-ujungnya saya berpikir pemerintah mau ngapain sih dari pengesahan RUU Cipta Kerja?” ujarnya.
Banyak pihak menyayangkan kekukuhan DPR dan pemerintah di tengah berbagai penolakan publik. Ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap nasib rakyat.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang tetap bersikukuh mengesahkan RUU Cipta Kerja di tengah berbagai penolakan publik. ”Itu luar biasa jahatnya. Persoalannya, kalau kami ingin menguliti (isi RUU Cipta Kerja) itu, drafnya tidak dibuka. Jadi, diskursusnya juga tidak berkembang,” ujar Enny.
Lalu lintas di Jalan Gatot Soebroto depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, ramai lancar di tengah penolakan buruh dan pekerja terhadap RUU Cipta Kerja, Senin (5/10/2020).
Menurut dia, apabila RUU Cipta Kerja tetap disahkan, ini akan semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap DPR dan pemerintah. Sebab, hal ini sangat berbahaya karena semua pihak seharusnya bisa bersatu padu mengatasi pandemi Covid-19.
”Persoalannya, ketika pemerintah dan DPR sendiri membuat kebijakan yang memicu distrust (ketidakpercayaan), upaya kepaduan tadi malah menjadi buyar. Dan itu yang jadi salah satu penyebab Indonesia akan menjadi salah satu negara yang sendirian. Yang lain sudah selesai mengatasi pandemi, kita masih saja berkutat dengan urusan-urusan seperti itu dan tidak selesai-selesai,” katanya
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia Nining Elitos menilai pengesahan RUU Cipta Kerja menunjukkan ketidakpedulian pemerintah dan wakil rakyat terhadap nasib rakyat karena tidak mendengar aspirasi rakyat. ”Kami mendesak agar RUU Cipta Kerja tidak dibahas. Pemerintah dan DPR terus menutup mata dan telinga mereka atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat,” ucap Nining. Untuk itu, serikat buruh akan melakukan aksi di berbagai daerah serta di depan Gedung DPR pada 6-8 Oktober 2020.