Pengesahan RUU Cipta Kerja Tinggal Tunggu Rapat Paripurna DPR
Sikap DPR dan pemerintah yang tetap berkukuh mengesahkan RUU Cipta Kerja disayangkan. Sikap itu akan semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AGNES THEODORA
·6 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Setelah Badan Legislasi DPR dan pemerintah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tingkat satu, pengesahan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang tinggal menunggu Rapat Paripurna DPR. Pengesahan bisa dilakukan sebelum DPR reses, 8 Oktober 2020, atau setelah masa reses. Hal ini tergantung pada keputusan Badan Musyawarah DPR.
Menjelang tengah malam, Sabtu (3/10/2020), Badan Legislasi (Baleg DPR) bersama pemerintah mengambil keputusan tingkat satu atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Sebanyak tujuh fraksi menyetujui pengesahan RUU tersebut. Dua lainnya, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, menyatakan menolak. Dengan mayoritas menyetujui pengesahan, maka diputuskan RUU Cipta Kerja akan dibawa ke pengambilan keputusan tingkat dua atau di Rapat Paripurna DPR.
Setelah proses di tingkat satu itu tuntas, Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas saat dihubungi, Minggu (4/10/2020), mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat ke pimpinan DPR agar segera dijadwalkan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk mengagendakan pengambilan keputusan tingkat dua RUU Cipta Kerja di Rapat Paripurna DPR.
“Selanjutnya, Bamus terserah, (Rapat Paripurna) mau tanggal 8 (Oktober) atau setelah reses, itu sudah bukan kewenangan di kami,” ujar Supratman.
Dikonfirmasi secara terpisah, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengaku belum menerima surat tersebut. Surat kemungkinan masih berada di bagian administrasi Sekretariat Jenderal DPR. Mengenai jadwal rapat paripurna untuk pengesahan RUU Cipta Kerja, ia menyerahkan sepenuhnya pada Bamus DPR.
“Tergantung hasil keputusan di Rapat Bamus,” ucap Azis.
Dasar penolakan
Dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu RUU Cipta Kerja, Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, yang juga Sekretaris Fraksi PKS DPR, Ledia Hanifa Amaliah, menilai, pembahasan RUU Cipta Kerja pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, serta penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.
“Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini,” tutur Ledia.
Fraksi PKS, lanjut Ledia, juga memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi saat ini. Menurut dia, RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Itu terlihat pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah, dan pesangon.
Terkait pesangon misalnya, Baleg DPR dan pemerintah menyepakati skema pemberian pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 25 kali upah atau turun dari yang diatur di Undang-Undang Ketenagakerjaan sebesar 32 kali upah.
“Menerima atau menolak RUU itu biasa. Saling menghormati saja. Yang penting alasannya terkomunikasikan ke masyarakat. Jika pun akhirnya disahkan, tugas semuanya melakukan pengawasan. Dengan menolak bukan berarti tidak mengawasi,” ucap Ledia.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, pun berpendapat, RUU tersebut tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa untuk dibahas apalagi disahkan, di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Di masa awal pandemi, prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat.
“Karena besarnya implikasi dari perubahan (RUU Cipta Kerja) tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru,” ujar Hinca.
Selain cacat substansi, menurut Hinca, RUU Cipta Kerja juga cacat prosedur. Ia menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU ini kurang transparan dan akuntabel karena tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja, dan jaringan lembaga masyarakat.
Hinca menegaskan, Demokrat akan tetap konsisten menolak RUU Cipta Kerja saat Rapat Paripurna nanti. “Inilah proses demokrasi kita. Perbedaan pandangan harus saling kita hormati,” katanya.
Terkait penolakan PKS dan Demokrat, Supratman enggan berkomentar terlalu jauh. Menurut dia, itu merupakan sikap masing-masing fraksi. Namun, ia menegaskan sikap penolakan kedua partai itu tidak pernah terlihat di dalam setiap rapat pembahasan RUU Cipta Kerja.
“Silakan, publik menilai. Tetapi, saya bisa yakinkan bahwa selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja, baik PKS maupun Fraksi Partai Demokrat, juga tidak memperlihatkan sikap yang sebagaimana yang tergambar dalam pandangan akhir mereka,” kata Supratman.
Supratman juga membantah anggapan pembahasan RUU Cipta Kerja yang terburu-buru. Pembahasan telah memakan waktu sekitar lima bulan sejak rapat pertama digelar pada 24 April lalu.
“Itulah masa pembahasan RUU yang tidak pernah berhenti dilakukan selama masa waktu itu. Jadi, kalau ada yang bilang terburu-buru, terburu-burunya di mana? Hampir enam bulan (pembahasan) lho,” ujar Supratman.
Ia pun mengklaim seluruh masukan publik telah diakomodir. Bahkan, sejumlah norma bermasalah telah dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
Sebagai contoh, Baleg bersama pemerintah sepakat mengeluarkan pasal-pasal tentang pers dan pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Selain itu, usulan agar tak memangkas kewenangan pemerintah daerah pun dikabulkan. Di RUU Cipta Kerja yang baru, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah disesuaikan kembali dengan ketentuan di Pasal 18 UUD 1945.
Supratman menyadari bahwa aturan pesangon masih menjadi polemik. Namun, ia menegaskan, penetapan 25 upah gaji itu didasari pada kajian pemerintah saat ini. Menurutnya, selama ini hanya 7 persen dari pelaku usaha yang mematuhi ketentuan upah 32 gaji. Demi memberikan kepastian kepada pengusaha dan tenaga kerja, Baleg dan pemerintah sepakat mengurangi besaran pesangon.
“Jadi, satu-satunya yang menurut saya yang berkurang tetapi menurut saya lebih aplikatif, dan bisa dilaksanakan, hanya pesangon. Yang semula itu angkanya besar tetapi dalam praktiknya tak dilaksanakan. Sekarang justru terbalik, walau kecil angkanya tetapi pasti. Harus dipenuhi (oleh pengusaha) karena itu sudah melalui perhitungan dan kalkulasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama dunia usaha,” ucap Supratman.
Tak bisa dipercaya
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang tetap bersikukuh mengesahkan RUU Cipta Kerja di tengah berbagai penolakan publik.
“Itu luar biasa jahatnya. Persoalannya, kalau kami ingin menguliti (isi RUU Cipta Kerja) itu, drafnya tidak dibuka. Jadi diskursusnya juga tidak berkembang,” kata Enny.
Menurut Enny, apabila RUU Cipta Kerja tetap disahkan, ini akan semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap DPR dan pemerintah. Menurut Enny, hal ini sangat berbahaya karena seluruh pihak seharusnya bisa bersatu padu mengatasi pandemi Covid-19.
“Persoalannya, ketika pemerintah dan DPR sendiri membuat kebijakan yang memicu distrust (ketidakpercayaan), upaya kepaduan tadi malah menjadi buyar. Dan itu yang jadi salah satu penyebab Indonesia akan menjadi salah satu negara yang sendirian. Yang lain sudah selesai mengatasi pandemi, kita masih saja berkutat dengan urusan-urusan seperti itu, dan tidak selesai-selesai,” ujar Enny.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos pun menilai, pengesahan RUU Cipta Kerja menunjukkan ketidakpedulian pemerintah dan wakil rakyat terhadap nasib rakyat. DPR dan pemerintah sama sekali tidak mendengar aspirasi rakyat.
“Kami mendesak agar RUU Cipta Kerja tidak dibahas. Pemerintah dan DPR terus menutup mata dan telinga mereka atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat,” ucap Nining. Untuk itu, serikat buruh akan melakukan aksi di berbagai daerah, serta di depan Gedung DPR, mulai tanggal 6-8 Oktober 2020.