Pikir Ulang RUU Cipta Kerja
Dalam jangka panjang, RUU Cipta Kerja akan membebani pekerja, perusahaan, dan negara.

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai akan merugikan kelompok pekerja. Dalam jangka panjang, rancangan aturan ini juga dapat membebani pemerintah dan pengusaha.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah disarankan berpikir ulang sebelum memutuskan mengesahkan RUU sapu jagat itu di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Jumat (2/10/2020), mengatakan, RUU Cipta Kerja secara jangka panjang akan memperburuk wajah hubungan industrial di Tanah Air. Dengan RUU itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih mudah dilakukan. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah mengurangi pengangguran demi kondisi perekonomian yang lebih sehat.
Beban pemerintah di masa mendatang juga akan lebih berat. Berdasarkan kesepakatan terbaru, pemerintah harus ikut menanggung beban pesangon bagi karyawan yang di-PHK, yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan.
Pemerintah membayarkan sembilan kali gaji pekerja yang di-PHK, sedangkan pengusaha menanggung 23 kali gaji pekerja. Skema ketentuan ini masih akan dimatangkan pemerintah.
”Jika banyak yang di-PHK, anggaran negara yang keluar akan semakin banyak. Wajah buruk hubungan industrial ini akan semakin membebani keuangan negara,” kata Timboel yang dihubungi di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, selama pandemi Covid-19 sampai dengan Agustus 2020, sebanyak 3,5 juta pekerja terkena dampak pandemi Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 1,13 juta orang di antaranya dirumahkan dan 383.645 orang di-PHK.

Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berbaris di depan pintu gerbang Kompleks MPR/DPR Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Agenda utama demonstrasi hari itu adalah untuk menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan meminta pemerintah mencegah pemutusan hubungan kerja massal.
Jumlah pekerja yang terkena dampak ini diperkirakan terus bertambah.
Timboel menambahkan, PHK bisa lebih sering terjadi dengan ketentuan baru tentang upah minimum yang bisa membuat standar upah pekerja lebih rendah.
Dalam pembahasan terakhir, upah minimum sektoral kabupaten (UMSK) dihilangkan. Hal ini menimbulkan risiko upah pekerja lebih rendah. Padahal, selama ini, mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum, UMSK harus lebih besar dari upah minimum kabupaten/kota (UMK).
”Kecenderungannya, perusahaan akan memecat karyawan lama lalu merekrut karyawan baru dengan standar upah yang lebih rendah,” katanya.
PHK juga berpotensi bertambah karena syarat dan ketentuan mengenai mempekerjakan pegawai kontrak (PKWT) dan pekerja alih daya semakin longgar. ”Kombinasi antara upah rendah dan ketentuan pegawai kontrak yang lentur semakin memberi ketidakpastian untuk menjadi pekerja tetap,” ujar Timboel.
Perusahaan, tambah Timboel, juga ikut rugi akibat RUU Cipta Kerja. Pergantian karyawan yang tinggi akan mengurangi efektivitas kerja perusahaan dan mengurangi produktivitas.
Ia menilai langkah pemerintah dan DPR menampilkan RUU Cipta Kerja sekadar mengejar solusi jalan pintas untuk memermak wajah perekonomian dan menarik perhatian investor, tetapi tidak memikirkan dampak buruk jangka panjangnya. Oleh karena itu, rencana pengesahan RUU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 seharusnya dibatalkan.
”Persoalannya lebih rumit, dampaknya bisa ke mana-mana. Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya bukan hanya pekerja yang dirugikan dan dibebani, pemerintah dan perusahaan juga,” kata Timboel.
Langkah pemerintah dan DPR menampilkan RUU Cipta Kerja sekadar mengejar solusi jalan pintas untuk memermak wajah perekonomian dan menarik perhatian investor.

Beberapa pencari kerja memperhatikan lowongan pekerjaan di salah satu stan pameran bursa kerja atau Job Fair 2020 di Gedung Sultan Suriansyah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (26/2/2020). Job Fair 2020 berlangsung selama tiga hari, 26-28 Februari. Pameran bursa kerja diikuti 57 perusahaan dan menyediakan 2.744 lowongan pekerjaan.
Timboel berpendapat, aksi mogok nasional bukan jalan terbaik. Di tengah pandemi, langkah itu akan berisiko terhadap kesehatan masyarakat.
”Meski menolak RUU Cipta Kerja, kami tidak akan ikut aksi. Kasus Covid-19 semakin tinggi. Seharusnya pemerintah mengajak pimpinan serikat buruh berdialog,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, buruh berencana mengadakan aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk protes terhadap rencana pengesahan RUU Cipta Kerja (Kompas, 2/10/2020). Selain mengadakan aksi mogok, buruh juga akan berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Baca juga: Buruh Mogok Hadapi RUU Cipta Kerja
Bisa ricuh
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy W Sinaga mengatakan, aksi mogok nasional berpotensi ricuh. Saat ini, dukungan buruh atas aksi mogok sudah terpecah. Sebagian buruh tidak setuju dengan aksi mogok karena khawatir perihal ancaman kehilangan pekerjaan di tengah pandemi.
”Kami khawatir aksi mogok akan mempersulit posisi buruh dengan ancaman sanksi kehilangan pekerjaan dari pengusaha,” katanya.
Di tengah resistensi terhadap RUU Cipta Kerja, pemerintah tetap meyakini RUU itu sebagai solusi terhadap kondisi perekonomian.
Kami khawatir aksi mogok akan mempersulit posisi buruh dengan ancaman sanksi kehilangan pekerjaan dari pengusaha.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Mugiharso berharap keberadaan RUU Cipta Kerja bisa mengurai kompleksitas persoalan ketenagakerjaan. Menurut dia, RUU itu dirancang sebagai solusi persoalan fundamental yang menghambat transformasi ekonomi nasional. Ia mencontohkan, persoalan itu adalah daya saing rendah dan lonjakan angkatan kerja.
”Regulasi Indonesia terbilang rumit sehingga menjadi penghambat investasi di pusat ataupun daerah, yang sifatnya padat modal. Investasi padat karya biasanya lebih terkendala masalah ketenagakerjaan,” kata Susiwijono.
Baca juga: Tuntaskan Persoalan RUU Cipta Kerja
Pemerintah menargetkan RUU Cipta Kerja bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 5,7-6 persen dengan penciptaan 2,7 juta-3 juta lapangan kerja per tahun.
RUU ini juga ditargetkan bisa meningkatkan produktivitas pekerja yang masih di bawah rata-rata negara-negara di Asia Tenggara. Pemerintah juga mengincar peningkatan investasi 6,6-7 persen serta mendorong peningkatan konsumsi 5,4-5,6 persen.
”Tanpa pembenahan di RUU Cipta Kerja, lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif, daya saing pencari kerja relatif rendah, pengangguran semakin tinggi, dan Indonesia terus saja terjebak dalam middle income trap,” kata Susiwijono.