Nuklir adalah salah satu sumber energi primer pembangkit listrik yang juga banyak digunakan di dunia. Namun, di Indonesia, pemanfaatan nuklir untuk listrik masih diselimuti kontroversi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pembahasan mengenai perlu atau tidak Indonesia menggunakan nuklir sebagai sumber energi primer pembangkit listrik mencuat kembali dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan. Kendati kontroversial, nuklir masih mungkin digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Namun, sejauh ini statusnya masih sebagai pilihan terakhir.
Penggunaan nuklir di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Ketenaganukliran. Dalam Pasal 13 Ayat 4 disebutkan, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ditetapkan pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Ketenagalistrikan, dalam bab penjelasan Pasal 11 Ayat 3, disebutkan, nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.
Perlunya Indonesia membangun PLTN dikait-kaitkan dengan target bauran energi nasional seperti yang ditetapkan dalam PP No 79/2014 tersebut di atas. Dalam aturan itu, peran energi baru dan terbarukan ditargetkan sedikitnya 23 persen pada 2025 dan naik menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050. Kondisi saat ini, peran energi baru dan terbarukan sekitar 9 persen.
Sejumlah pihak menyebutkan, tanpa kontribusi PLTN, sulit merealisasikan target tersebut. Apalagi, pertumbuhan pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan masih lamban. Kapasitas terpasang saat ini masih sekitar 10.000 megawatt saja. Padahal, target 23 persen pada 2025 setara dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik 45.000 megawatt.
Lalu, apakah PLTN bisa menjadi solusi? Untuk target di 2025 rasanya tidak mungkin. Sebab, membangun PLTN memerlukan waktu setidaknya sepuluh tahun.
Lalu, apakah PLTN bisa menjadi solusi? Untuk target pada 2025 rasanya tidak mungkin. Sebab, membangun PLTN memerlukan waktu setidaknya sepuluh tahun dengan biaya yang lebih mahal 3-4 kali lipat dari membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Waktu itu adalah waktu yang ideal. Padahal, untuk mengurus perizinan dan pembebasan lahan PLTU di Indonesia saja ada yang memakan waktu hingga sepuluh tahun lamanya. Apalagi, membangun PLTN yang masih sangat kontroversial di Indonesia.
PLTN disebut tidak memiliki gas buang layaknya PLTU yang membakar batubara. Selain memiliki daya pasok yang besar dan stabil, PLTN dapat beroperasi hingga 60 tahun. Harga listrik dari PLTN juga tidak dipengaruhi pergerakan harga minyak atau batubara. Namun, sekali lagi, PLTN masih kontroversial.
Peristiwa kerusakan PLTN Fukushima di Jepang akibat hantaman tsunami pada 2011 adalah salah satu kekhawatirannya. Tsunami menghancurkan sistem pendingin PLTN sehingga reaktor bocor dan disebutkan ratusan ton air mengandung zat radio aktif tumpah ruah. Lebih jauh lagi, pada 1986 terjadi ledakan pada reaktor PLTN Chernobyl milik Uni Soviet. Kejadian itu disebut sebagai bencana nuklir terburuk di dunia lantaran radiasinya 100 kali lebih besar dibandingkan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Meski demikian, teknologi sudah berkembang pesat. Tingkat keamanan reaktor nuklir pun kian membaik. Bahkan, limbah nuklir yang tanpa perlakuan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk musnah di dalam bumi kini bisa dipercepat dengan temuan teknologi baru. Risiko limbah nuklir bisa dikurangi dengan sangat signifikan.
Apakah hal itu berarti langkah membangun PLTN di Indonesia bakal mulus? Belum tentu. Stigma dan trauma masih terbilang lebih kuat ketimbang jaminan rasa aman yang belum terbukti. Apalagi, letak Indonesia yang berada di jalur cincin api yang rawan gempa dan tsunami masih menjadi ganjalan kuat untuk mendirikan PLTN.
Stigma dan trauma masih terbilang lebih kuat ketimbang jaminan rasa aman yang belum terbukti. Apalagi, letak Indonesia yang berada di jalur cincin api yang rawan gempa dan tsunami masih menjadi ganjalan kuat untuk mendirikan PLTN.
Di dunia, reaktor nuklir untuk listrik yang beroperasi saat ini sebanyak 441 unit dengan kapasitas yang dihasilkan hampir 400.000 megawatt. Itu setara dengan 10,5 persen dari total sumber energi yang dipakai di seluruh dunia. Sementara jumlah reaktor yang dalam tahap pembangunan tercatat sebanyak 53 unit dengan kapasitas terpasang sebesar 54.000 megawatt.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki tiga reaktor nuklir, yaitu di Tangerang Selatan, Banten, sebesar 30 megawatt; Bandung, Jawa Barat, sebesar 2 megawatt; dan di Yogyakarya dengan kapasitas 100 kilowatt. Fokus pemanfaatan nuklir di Indonesia saat ini untuk riset, terutama untuk bidang kesehatan, pertanian, dan industri lainnya.
Namun, kembali ke Kebijakan Energi Nasional, pengembangan energi di Indonesia diprioritaskan pada sumber energi terbarukan, seperti tenaga hidro, bayu, surya, panas bumi, dan sejenisnya. Berikutnya adalah mengoptimalkan gas bumi dan energi baru, serta menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional. Sudah jelas sebenarnya bagaimana prioritas pengelolaan energi di negeri ini.