Masyarakat dari Empat Nagari di Limapuluh Kota Minta Jalan Tol Digeser
Sekitar 20 orang perwakilan masyarakat dari empat nagari di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, meminta jalur jalan Tol Padang-Pekanbaru digeser karena melewati permukiman padat dan lahan produktif.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sekitar 20 perwakilan masyarakat dari empat nagari di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, meminta jalan Tol Padang-Pekanbaru yang melintasi rumah dan lahan mereka digeser. Masyarakat tersebut tidak menolak pembangunan jalan tol, tetapi berharap pembangunan itu tidak menghilangkan rumah dan lahan produktif tempat mereka mencari nafkah.
Perwakilan masyarakat itu berasal dari empat nagari atau desa, yaitu Koto Baru Simalanggang dan Taeh Baruah di Kecamatan Payakumbuh serta Lubuak Batingkok dan Gurun di Kecamatan Harau. Permintaan menggeser jalur tol itu mereka ungkapkan dalam penyampaian aspirasi di DPRD Sumbar, Padang, Sumbar, Jumat (2/10/2020) siang.
Rahman Syarif Datuak Patiah (39), perwakilan masyarakat Nagari Lubuak Batingkok, mengatakan, Tol Padang-Pekanbaru melintasi nagarinya, khususnya Jorong Tigo Balai. Menurut dia, banyak kerugian masyarakat apabila pembangunan tol di lokasi ini diteruskan. Setidaknya, 40 rumah tergusur akibat pembangunan tol, begitu pula dengan lahan produktif.
”Kami keberatan karena tol melintasi kawasan padat penduduk, melintasi balai adat, dan tempat ibadah. Yang lebih parahnya lagi, ada dua kampung persukuan yang akan lenyap apabila jalan tol dibangun di tempat kami,” kata Rahman, yang juga bendara di Kerapatan Adat Nagari Lubuak Batingkok.
Rahman melanjutkan, persukuan yang teracam punah itu adalah persukuan Datuak Majo Nan Koruk dan persukuan Datuak Paduko Bosa. Di persukuan Datuak Majo Nan Koruk, semua permukiman anak dan kemenakan di bawah payung datuk itu terdampak oleh pembangunan tol. Sementara itu, di persukuan Datuak Paduko Bosa, sekitar 15 kepala keluarga anak dan kemenakan di bawah payung itu yang terdampak.
Kata Rahman, masalah ini mesti menjadi pertimbangan oleh pemerintah dalam membangun tol. Dalam undang-undang, masyarakat adat dilindungi oleh negara. ”Kepemilikan tanah adalah salah satu identitas orang Minangkabau. Jika tidak ada tanah, berarti bukan orang Minang. Jadi, tanah ini (warisan adat) tidak dapat diukur nilainya dengan uang. Kami akan terus bertahan di sana,” ujar Rahman.
Kepemilikan tanah adalah salah satu identitas orang Minangkabau. Jika tidak ada tanah, berarti bukan orang Minang.
Ditambahkan Rahman, masyarakat Nagari Lubuak Batingkok sebenarnya tidak menolak pembangunan tol. Mereka meminta jalur tol dipindahkan ke tempat lain. Lahan di lereng Bukit Bungsu yang minim permukiman dan lahan produktif bisa menjadi alternatif.
”Kami meminta jalur tol dialihkan ke tempat yang tidak padat penduduk, ada tempat ibadah, dan ada tempat sakral. Jalurnya bisa melewati lereng Bukit Bungsu. Mungkin pertimbangannya memilih jalur sekarang karena biaya, lebih murah untuk proyek,” kata Rahman.
Aspirasi serupa disampaikan pula oleh Malindo (57), perwakilan masyarakat Nagari Gurun. Menurut Malindo, selain menggusur perumahan, pembangunan tol di nagari itu bakal melenyapkan lahan produktif, seperti sawah, dengan dimensi 3.500 meter x 100 meter.
”Kami sejak kecil terbiasa hidup dengan bertani. Kalau dialihkan ke usaha lain, kami belajar dari nol. Ini menjadi dilema bagi kami. Kami cuma pandai pegang cangkul dan sabit. Kami tidak pandai berdagang. Anak dan cucu kami makan apa? Kami mohon jalurnya dialihkan,” kata Malindo, yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani dan Ketua Kelompok Perlindungan Anak Nagari Gurun.
Sementara itu, Rusliman Datuk Tan Chatib (60), perwakilan masyarakat Nagari Koto Baru Simalanggang, mengatakan, sangat banyak rumah penduduk yang lenyap apabila jalur tol di nagari itu tidak diubah. Setidaknya ada sekitar 100 rumah yang digusur jika rencana itu diteruskan. Selain rumah, fasilitas publik, seperti puskesmas, kantor polsek, dan kantor wali nagari, juga terimbas.
”Kami bukan menolak jalan tol, tetapi tolong hindari nagari kami. Kalau terpaksa juga lewat di nagari kami, tolong dibangun di lokasi yang paling sedikit terdampak. Kalau sekarang ini, yang dilewati kawasan padat penduduk,” kata Rusliman.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar Yoni Chandra, sebagai fasilitator warga, mengatakan, setidaknya ada 300 rumah/bangunan dan 700 hektar sawah dari Nagari Koto Baru Simalanggang hingga Nagari Gurun yang terancam digusur karena pembangunan jalan Tol Padang-Pekanbaru Seksi IV itu.
Sebagai fasilitator warga, Yoni berharap pemerintah dapat menyelesaikan persoalan ini sesuai harapan warga. Masih banyak lokasi lain yang minim penduduk dan lahan produktif di Limapuluh Kota yang bisa dijadikan jalur jalan tol. Jika rencana awal diteruskan, pemerintah terkesan memaksakan pembangunan karena banyak masyarakat dirugikan.
”Saya tidak tahu alasan jalur padat penduduk dan lahan produktif dipilih untuk jalur jalan tol. Apakah untuk menghemat pembiayaan? Saya tidak tahu juga. Yang pasti, kan, tidak mungkin demi pembangunan masyarakat menjadi kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian. Kalau ganti tanah, berapalah nilainya. Kalau kehidupan masyarakat hilang, siapa yang ganti?” papar Yoni.
Kalau ganti tanah, berapalah nilainya. Kalau kehidupan masyarakat hilang, siapa yang ganti?
Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Sumbar Dedi Rinaldi mengatakan, jalur tol yang melewati nagari-nagari tersebut masih desain dasar. Terkait aspirasi masyarakat ini, Dedi berjanji akan mendiskusikannya dalam rapat kedua dengan pemangku kebijakan terkait.
”Kami usahakan semaksimal mungkin untuk hindari permukiman dan lahan produktif. Untuk kemungkinan jalurnya bergeser, kami diskusi dulu dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) karena trase jalan tol itu ada syaratnya. Tikungannya tidak bisa kami pindah-pindah tanpa kajian,” kata Dedi.
Ketua DPRD Sumbar Supardi, yang menerima aspirasi itu, mengatakan bakal menyampaikan aspirasi masyarakat kepada Dinas PUPR Sumbar dan pihak kementerian terkait. Permintaan masyarakat ini mesti dicarikan solusinya agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari. Secara prinsip, masyarakat tersebut setuju dengan pembangunan jalan tol sebagai proyek strategis nasional.
”Mereka meminta jalur yang dipakai bukan jalur padat penduduk, bukan jalur lahan produktif. Filosofi orang Minangkabau itu, ketika mereka tidak lagi punya harta, tidak punya tanah akibat pembangunan tadi, identitas ke-Minangkabau-an mereka dipertanyakan. Tanah bagi mereka merupakan sebuah pondasi, ciri kehidupan mereka. Jadi, jangan sampai itu tersinggung-singgung (diusik),” kata Supardi.
Supardi tidak ingin permasalahan pembangunan Tol Padang-Pekanbaru seperti di Seksi I di Padang Pariaman terjadi di Limapuluh Kota. Di Padang Pariaman, pembangunan tol terhambat karena masalah pelepasan lahan tidak selesai akibat penolakan masyarakat.
”Kami meminta nanti kepada (dinas) PUPR dan kementerian agar mendata secara obyektif. Meskipun baru fase perencanaan, kami tidak ingin ada hal-hal yang sesungguhnya tidak diterima masyarakat. Sebelum bergejolak, kami minta diantisipasi dulu. Makanya, dalam waktu dekat, kami undang semua pemangku kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan jalan tol,” tutur Supardi.
Jalan Tol Padang-Pekanbaru yang mulai dibangun pada 9 Februari 2018 memiliki panjang sekitar 255 kilometer. Pembangunan terbagi atas enam seksi, yaitu Seksi I Padang-Sicincin, Seksi II Sicincin-Bukittinggi, Seksi III Bukittinggi-Payakumbuh, Seksi IV Payakumbuh-Pangkalan, Seksi V Pangkalan-Bangkinang, dan Seksi IV Bangkinang-Pekanbaru.
Keberadaan Tol Padang-Pekanbaru bakal memangkas waktu tempuh menjadi 2,5-3 jam. Pada jalur saat ini, sekitar 300 kilometer, perjalanan Padang-Pekanbaru membutuhkan waktu tempuh 8-9 jam.