Ketegasan Dibutuhkan untuk Cegah Penyebaran di Pasar Tradisional
Ketegasan yang otoritatif hingga gerakan untuk menghadirkan kesadaran bersama bisa menjadi pilihan untuk memutus mata rantai penularan di pasar tradisional.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Pasar tradisional terus menjadi kluster penularan Covid-19 karena longgarnya penerapan protokol kesehatan. Ketegasan yang otoritatif hingga gerakan untuk menghadirkan kesadaran bersama bisa menjadi pilihan untuk memutus mata rantai penularan.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melaporkan, per September 2020 ada 1.392 pedagang pasar yang terpapar virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 dengan jumlah yang meninggal sebanyak 55 orang. Kasus tersebut terjadi di 244 pasar yang ada di 97 kabupaten dan kota di 27 provinsi.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) Joko Setiyanto, dalam diskusi virtual berjudul Tetap Pakai Masker di Pasar Tradisional, Jumat (2/10/2020), mengatakan, rendahnya kedisiplinan dan kesadaran pedagang pasar dan masyarakat menjadi alasan penyebaran Covid-19 sulit dikendalikan.
”Kami dengan Gerakan Pakai Masker telah melakukan tujuh kali penyuluhan menyeluruh di Indonesia untuk menyentuh 9.200 pasar dengan 7,2 juta pedagang yang menjadi anggota kami. Kami kerja sama dengan berbagai pihak agar protokol ini jadi gaya hidup baru yang diterapkan di keseharian,” katanya.
Sosialisasi dinilai masih perlu sering dilakukan mengingat masih rendahnya kedisiplinan menjalankan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan hasil survei Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 di September mencatat, pasar tradisional menjadi lokasi yang penerapan protokol kesehatannya paling rendah dibandingkan perkantoran, kantor layanan publik, tempat ibadah, dan mal.
Survei kepada 90.967 responden pada 7-14 September mencatat, 17,32 persen responden mengaku pasar tradisional atau pedagang kaki lima yang dikunjunginya tidak menerapkan protokol kesehatan sama sekali.
Sebanyak 82,62 persen responden mengaku penggunaan masker sudah dipatuhi di lingkungan pasar. Sementara, hanya 51,41 persen responden yang melihat kedisiplinan mencuci tangan sudah dilakukan. Penerapan menjaga jarak hanya diakui 47,16 persen responden dan paling rendah pemeriksaan suhu tubuh dengan thermo gun (21,12 persen).
Dicky Pelupessy, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, juga memiliki temuan lain terkait kepatuhan penggunaan masker oleh pedagang pasar di Jakarta. Meski hampir 90 persen pedagang mengenakan masker, hanya sebagian yang menggunakannya dengan benar. Selain karena kondisi bangunan pasar yang pengap, ketidaknyamanan karena belum biasa atau abai juga jadi alasan.
”Kami menyimpulkan, perlu ada tindakan otoritatif untuk menegakkan disiplin karena ini bukan kebiasaan yang sudah tertanam sejak lama. Meski sepuluh pedagang yang kita cek tahu bahwa virus yang dihadapi ini berbahaya dan belum ada obat atau vaksinnya, tetap harus ada yang tegas menegakkan aturan,” katanya.
Tindakan otoritatif, menurut dia, bisa dilakukan pengelola pasar yang bekerja sama dengan aparatur untuk melakukan pengawasan dan penindakan. Penindakan harus dilakukan dengan pemberian sanksi yang tegas.
Namun, Dicky mengatakan, studi mereka juga melihat ada indikasi bahwa pengawasan dan penegakan aturan bisa dilakukan dari bawah. Artinya, upaya pendisiplinan dan peningkatan kesadaran bisa dilakukan di antara sesama pedagang.
”Ini bisa jadi peluang. Pedagang bisa saling gotong royong melakukan pengawasan, menentukan hukuman bagi pelanggar di komunitasnya, bahkan membuat gerakan masker gratis, misalnya. Ini proses yang baik untuk kuat bersama, aman bersama,” tuturnya.
Salah satu praktik baik dalam pendisiplinan protokol kesehatan dilakukan di Pasar Pagi Salatiga, Jawa Tengah, walaupun pasar tersebut juga ditutup pada Mei lalu karena ada pedagang yang terjangkit Covid-19.
Kusumo Aji selaku Kepala Dinas Perdagangan Kota Salatiga mengatakan, pasar tersebut sejak April lalu telah mengefektifkan protokol kesehatan dengan berbagai cara. Pertama, dengan memperluas pasar hingga ke badan jalan agar sekitar 900 pedagang di sana bisa menjaga jarak 1,5-2 meter.
”Di samping itu, pedagang diwajibkan cuci tangan di tempat yang kami sediakan atau pakai hand sanitizer, serta mewajibkan pakai masker. Bagi yang enggak mau, enggak boleh jualan,” katanya.
Ketegasan aturan, kata Aji, juga dituangkan dalam Peraturan Wali Kota Nomor 17 Tahun 2020 tentang Penerapan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Kota Salatiga. Aturan itu mengamanatkan kolaborasi aparat, mulai dari dinas perhubungan, kepolisian, hingga TNI untuk melakukan pengawasan.