Buruh Mogok Hadapi RUU Cipta Kerja
Pandemi Covid-19 menyeret banyak negara ke dalam resesi ekonomi. Di tengah situasi tak menentu, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dikebut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F33ce3b24-07b7-433f-9cb7-a550e21197a1_jpg.jpg)
Buruh dari sejumlah elemen berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020). Mereka menolak RUU Cipta Kerja karena draf isinya dianggap tidak berpihak kepada buruh dan juga menolak pemutusan hubungan kerja karena alasan pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Polemik membayangi rencana pemerintah dan DPR yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dekat. Resistensi atas rencana pengesahan RUU itu datang dari kelompok buruh, yang berencana menggelar aksi mogok kerja nasional.
Di tengah pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis kesehatan dan berlanjut menjadi krisis ekonomi, pemerintah diingatkan agar tidak terburu-burut merealisasikan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2020 ada 137,91 juta orang angkatan kerja di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 131,03 juta orang bekerja dan 6,88 juta orang menganggur.
Adapun dari jumlah orang yang bekerja, sekitar 39,84 persen memiliki status pekerjaan utama sebagai buruh atau karyawan atau pegawai. Pandemi Covid-19 mengakibatkan perekonomian memburuk. Pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia terkontraksi 5,32 persen. Sementara pada triwulan III-2020, pemerintah memperkirakan perekonomian RI tumbuh minus 2,9 hingga minus 1 persen.
Krisis ekonomi dan resesi membuat sejumlah usaha memberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan atau merumahkan pekerja.
Di tengah situasi yang tidak menentu berkepanjangan ini, pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.
Baca juga : Jalan Tengah untuk RUU Cipta Kerja
Rencana aksi mogok kerja nasional disuarakan sejumlah serikat buruh setelah pemerintah dan DPR selesai membahas seluruh kluster RUU Cipta Kerja, pekan lalu. Aksi mogok kerja nasional akan digelar pada 6-8 Oktober 2020, menjelang dan pada saat rencana Rapat Paripurna DPR pengesahan RUU Cipta Kerja.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih, Kamis (1/10/2020), menyampaikan, kelompok pekerja sedang berkonsolidasi menyusun strategi untuk menyiapkan rencana aksi mogok itu.
”Jika pemerintah tetap keras kepala dan sembunyi-sembunyi (membahas RUU), tidak ada cara lain selain memobilisasi massa secara besar-besaran,” kata Jumisih saat dihubungi di Jakarta.
Kelompok pekerja sedang berkonsolidasi menyusun strategi untuk menyiapkan rencana aksi mogok.

Kalimat penolakan RUU Cipta Kerja dipasang oleh para aktivis dari gerakan #BersihkanIndonesia saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Mereka menilai, RUU Cipta Kerja berpotensi memperparah kerusakan lingkungan dan akan memutus akses kendali publik atas sumber air bersih, udara bersih, tanah, dan laut.
Semula, rencana mogok itu disuarakan pimpinan konfederasi dan federasi serikat pekerja. Mereka yang menyatakan sikap untuk mogok antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang dipimpin Said Iqbal, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang dipimpin Yorrys Raweyai dan Andi Gani Nena, serta Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) yang beranggotakan 17 federasi.
Baca juga : RUU Cipta Kerja Bisa Jadi Bumerang
Said Iqbal memperkirakan, mogok kerja nasional akan diikuti lebih kurang 5 juta buruh dari ribuan perusahaan di 25 provinsi dan 300 kabupaten/kota serta melibatkan berbagai sektor industri.
Sikap untuk mogok itu berdasarkan penilaian serikat buruh bahwa perkembangan pembahasan RUU Cipta Kerja tetap merugikan hak pekerja. Beberapa isu krusial, yakni detail ketentuan masa kerja dan syarat pekerja kontrak (PKWT), masih mengambang dan diserahkan kembali ke pemerintah.
Hal lain yang disoroti adalah komponen upah minimum sektoral kabupaten (UMSK) yang hilang dari formula perhitungan upah. Buruh juga mencermati beban baru negara untuk ikut membayar pesangon pekerja korban PHK.
Tidak mogok
Meskipun substansi RUU Cipta Kerja dikritisi semua serikat buruh, tidak semua serikat buruh menyepakati aksi mogok.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Ristadi memastikan tidak ikut dalam aksi mogok kerja nasional. Ia beralasan, berkumpul di masa pandemi Covid-19 bisa membahayakan kesehatan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, mogok kerja bisa dilakukan dalam perselisihan antara pekerja dan manajemen perusahaan, bukan pekerja dengan pemerintah.

Menurut dia, istilah yang lebih tepat atas langkah buruh dalam menyuarakan ketidaksetujuan atas RUU Cipta Kerja adalah unjuk rasa atau demonstrasi.
Timboel menilai, RUU Cipta Kerja memang sebaiknya tidak dipaksakan untuk segera disahkan. ”Pemerintah dan DPR harus berdialog lagi dengan buruh dan kelompok masyarakat lain. Melihat situasi saat ini, (aksi unjuk rasa) tentunya berisiko di tengah pandemi,” ujarnya.
Ancaman sanksi
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sudah mengeluarkan surat edaran untuk menyikapi rencana aksi mogok nasional itu.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit mengatakan, rencana buruh untuk menggelar mogok kerja nasional tidak sah. Sebab, tidak sejalan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah.
Kepmenaker mengatur, pelaksanaan mogok kerja yang bukan sebagai akibat gagalnya perundingan tidak sah.
Anton menilai, persoalan buruh saat ini bukan domain perusahaan karena menyangkut undang-undang. ”Ini, kan, bukan terkait urusan hubungan industrial dengan perusahaan,” katanya.
Persoalan buruh saat ini bukan domain perusahaan karena menyangkut undang-undang.
Mengacu pada kepmenaker, tambah Anton, buruh yang mogok akan dianggap mangkir dari kerjanya. Akibatnya, buruh bisa dikenai sanksi. Jika pengusaha memanggil buruh dua kali berturut-turut dalam waktu tujuh hari dan yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan itu, ia dianggap mengundurkan diri secara sukarela.
”Kami memberi peringatan. Tiap perusahaan punya perjanjian kerja bersama dan kita kembali lagi ke aturan mogok kerja di undang-undang,” katanya.
Stabilitas ekonomi
Selain resistensi publik, ketidakpastian juga masih membayangi rencana pengesahan RUU Cipta Kerja. Keputusan pemerintah untuk membantu perusahaan membayarkan 9 kali pesangon pekerja yang terkena PHK lewat skema jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) masih diragukan. Sebab, kondisi keuangan negara dinilai tidak cukup kuat di tengah pandemi Covid-19 yang menyeret RI ke resesi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, rencana pemerintah menanggung semua premi iuran JKP bagi pekerja bisa membebani keuangan negara.
”Oleh karena itu, saya tidak yakin hal itu yang akan muncul sebagai kesepakatan akhir,” lanjutnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F4dc8c980-629f-416e-a976-45c133cb0ef2_jpg.jpg)
Massa buruh turun ke jalan menuju depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, untuk berunjuk rasa, Selasa (25/8/2020). Mereka menolak RUU Cipta Kerja karena draf isinya dianggap tidak berpihak kepada buruh dan juga menolak PHK karena alasan pandemi Covid-19.
Sebelumnya, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, negara akan menanggung iuran JKP, tetapi tetap mempertimbangkan ruang fiskal APBN. Pemerintah juga masih perlu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk mengecek kemampuan fiskal negara sebelum menanggung pesangon pekerja (Kompas, 29/9/2020).
Baca juga : RUU Cipta Kerja Bukan Jaminan
Peneliti Senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, di tengah resesi, daya tahan ekonomi negara sebenarnya masih memadai karena konsumsi masyarakat masih menjadi tulang punggung.
Namun, masalah serius muncul ketika pemerintah melakukan blunder kebijakan yang memicu disrupsi sosial dan memunculkan resistensi.
Ia mencontohkan RUU Cipta Kerja yang terburu-buru dibahas dan dinilai lebih menguntungkan pihak pengusaha serta program kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran.
”Asalkan pemerintah tidak melakukan kebijakan blunder, kita masih bisa bertahan. Persoalan ekonomi, entah krisis atau resesi, yang penting stabilitas tetap terjaga. Jadi, di masa pandemi, orientasinya jangan pertumbuhan lagi, tetapi harus pro-stabilitas,” tuturnya.
Sementara itu, proses validasi data penerima bantuan subsidi upah dari pemerintah sudah selesai dilakukan. Hasilnya, ada 12,41 juta calon penerima bantuan subsidi gaji yang menerima bantuan. Jumlah itu masih di bawah target awal penerima bantuan, yakni 15,7 juta orang, dengan anggaran Rp 37,7 triliun.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah akan mengembalikan sisa anggaran bantuan subsidi yang tidak terealisasi ke kas negara.