Pemulihan Perlu Ditopang Reformasi Kebijakan, Termasuk Soal Dongkrak Penerimaan
Proses pemulihan ekonomi perlu ditopang reformasi sejumlah kebijakan guna meningkatkan pendapatan negara. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Bea Meterai diharapkan menjadi salah satu jalan adaptasi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu tantangan yang dihadapi oleh negara berkembang untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19 adalah keterbatasan anggaran. Proses pemulihan ekonomi perlu ditopang reformasi sejumlah kebijakan guna meningkatkan pendapatan negara.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai diharapkan menjadi salah satu jalan. Reformasi melalui regulasi ini diperlukan untuk menyesuaikan perilaku masyarakat yang makin digital sekaligus mengoptimalkan pendapatan negara.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menilai, perkembangan teknologi digital mengubah perilaku sebagian masyarakat. Salah satunya peralihan dari dokumen kertas atau fisik ke dokumen elektronik.
Selama ini, dokumen elektronik belum tercakup UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Dalam RUU Bea Meterai yang sudah disahkan DPR, Selasa lalu, bea meterai akan mencakup dokumen elektronik.
Tarif bea meterai ditetapkan tunggal senilai Rp 10.000 per dokumen dan tidak ada lagi bea meterai Rp 3.000 atau Rp 6.000. Batasan bea meterai juga disederhanakan dari minimal Rp 250.000 menjadi Rp 5 juta.
”Ada urgensi UU Nomor 13 Tahun 1985 diubah karena harus mengikuti perkembangan zaman dan perubahan,” kata Suryo dalam telekonferensi pers, Rabu (30/9/2020).
Penggunaan dokumen digital semakin meningkat di tengah aktivitas fisik yang kian terbatas. Pemerintah merasa perlu mengakomodasi perubahan tersebut melalui regulasi untuk memberikan kepastian bagi masyarakat. Selain itu, aturan yang ada dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kemajuan teknologi informasi.
Menurut Suryo, kenaikan tarif bea meterai menjadi tunggal Rp 10.000 per dokumen tidak memberatkan. Tarif bea meterai selama 20 tahun tidak pernah naik sehingga apabila dihitung dengan inflasi masih cukup murah. Di sisi lain, batasan bea meterai juga ditingkatkan untuk melindungi bisnis UMKM.
”Dokumen-dokumen khusus yang bernilai uang di bawah Rp 5 juta tidak dikenakan bea meterai. UU Bea Meterai yang baru berlaku 1 Januari 2021,” kata Suryo.
Perubahan UU Bea Meterai sekaligus menjadi upaya pemerintah untuk memobilisasi penerimaan pajak dari sektor digital. Mobilisasi pendapatan negara di tengah pandemi Covid-19 ini penting untuk membiayai penanganan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional. Pembiayaan jangan hanya mengandalkan utang.
Mobilisasi pendapatan
Bank Dunia, dalam laporan proyeksi ekonomi terbarunya, memperingatkan, risiko peningkatan utang pemerintah dan swasta yang akan menjerat negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Kebutuhan penanganan Covid-19 yang tinggi mendorong peningkatan utang pemerintah rata-rata 7 persen PDB tahun 2020.
Oleh karena itu, reformasi fiskal tetap perlu dijalankan pada masa pandemi Covid-19. Reformasi dapat dilakukan melalui pemungutan pajak lebih progresif dan pengurangan pemborosan. Namun, pada saat yang sama, pemungutan pajak jangan sampai mendistrupsi pemulihan ekonomi.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menuturkan, penekanan dalam RUU Bea Meterai bukan untuk optimalisasi penerimaan negara. Sebab, porsi penerimaan dari bea meterai relatif rendah. RUU Bea Meterai lebih ke perbaikan administrasi, efektivitas pengawasan, dan penciptaan keadilan.
Dalam catatan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, penerimaan bea meterai masuk ke pos penerimaan pajak jenis lain. Target penerimaan pajak jenis lain ini pada tahun 2021 ditetapkan Rp 12,1 triliun. ”Penyesuaian tarif dan regulasi bea masuk ini penekanannya bukan pada optimalisasi penerimaan pajak,” kata Yustinus.
Sebelumnya, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menuturkan, reformasi perpajakan di tengah pandemi Covid-19 tetap harus dilakukan. Rata-rata realisasi penerimaan perpajakan selama satu dekade terakhir sekitar 93 persen dari target. Titik terendah pada 2015 yang hanya 83,29 persen.
Data tersebut mencerminkan tekanan terhadap penerimaan perpajakan terasa sejak sebelum terjadinya pandemi. Namun, tekanan itu semakin besar di tengah dera pandemi. Proyeksi Indef, penerimaan perpajakan dalam skenario moderat diproyeksikan Rp 1.239 triliun atau sekitar 93 persen dari target 2020.
”Penerimaan perpajakan tahun ini akan sangat rendah yang bisa menimbulkan pembengkakan defisit APBN,” kata Nailul Huda.