Investasi kapal-kapal besar untuk mengoptimalkan penangkapan tuna perlu diimbangi pengawasan dan pengendalian. Investasi jangan sampai membuka ruang masuknya modal asing yang memanfaatkan perikanan Indonesia.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana membenahi tata kelola penangkapan tuna, tongkol, dan cakalang. Terkait itu, kapal-kapal ikan berukuran besar didorong untuk menangkap tuna hingga ke laut lepas.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencabut ketentuan pembatasan ukuran kapal tanggal 16 September 2020. Pembatasan ukuran kapal diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor B1234/DJPT/PI.410.D4/31/12/2015.
Ketentuan itu mengatur pembatasan ukuran gros ton (GT) kapal perikanan pada izin usaha perikanan (SIUP), izin usaha penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Ketentuan itu, antara lain, membatasi izin usaha baru penangkapan ikan, yakni menggunakan kapal berukuran maksimal 150 GT.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini mengemukakan, komoditas tuna, tongkol, dan cakalang merupakan komoditas unggulan ekspor perikanan Indonesia. Di dunia, hampir seluruh negara juga berkepentingan dengan spesies tuna, tongkol, dan cakalang yang memiliki karakteristik beruaya jauh sehingga tidak bisa diklaim dimiliki negara tertentu.
Hal itu mendorong pengelolaan tuna, tongkol, dan cakalang diatur melalui organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Pengelolaan tuna, tongkol, dan cakalang diperlukan agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah kini tengah merevisi aturan tentang rencana pengelolaan perikanan tuna, tongkol, dan cakalang, yang meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.
”Kita wajib melakukan pengelolaan tuna, tongkol, dan cakalang,” kata Muhammad Zaini dalam konsultasi publik terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Tongkol dan Cakalang yang digelar secara virtual, Rabu (30/9/2020).
Menurut Zaini, pemerintah tengah mendorong operasional kapal-kapal berukuran besar untuk beroperasi di zona ekonomi eksklusif Indonesia hingga laut lepas. Dengan dicabutnya ketentuan batasan ukuran kapal, kapal-kapal besar di atas 100 GT diarahkan beroperasi di ZEEI dan laut lepas.
”Kapal-kapal berukuran diatas 100 GT tidak boleh beroperasi di perairan kepulauan. Perairan kepulauan hanya boleh untuk kapal-kapal dibawah 100 GT,” katanya.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan Perikanan, Trian Yunanda, menilai pentingnya mengakomodasi perkembangan pemasaran hasil produksi tuna, tongkol, dan cakalang. Hingga saat ini, Indonesia belum memanfaatkan optimal sumber daya tuna, khususnya di laut lepas.
Di Samudra Pasifik, Indonesia memiliki kuota tangkapan sekitar 13.000 ton yang sama sekali belum dimanfaatkan. Selama tahun 2012-2018, produksi tuna, tongkol dan cakalang rata-rata 1,26 juta ton per tahun atau 16,01 persen dari produksi tuna dunia. Tahun 2018, total produksi tuna, tongkol, dan cakalang mencapai 1,53 juta ton atau 19 persen dari produksi dunia yang 7,9 juta ton.
Di sisi lain, Trian mengungkapkan, hasil kajian menunjukkan tangkapan cenderung melebihi (over fishing) target yang sudah ditetapkan serta ada penangkapan tuna ukuran kecil dengan rumpon. Dia mencontohkan, kuota Indonesia untuk tangkapan tuna sirip biru 1.023 ton, sedangkan hasil tangkapan Indonesia mencapai 1.600 ton. Selain itu, ada kendala dalam pendaftaran kapal di RFMO serta hasil tangkapan sampingan jenis hiu yang wajib dilaporkan ke RFMO.
”Ada kesulitan kita memastikan secara konkret terkait kapasitas tangkapan yang bisa kita manfaatkan, jenis alat tangkap, termasuk pemanfaatan di laut lepas. Selain itu, pengembangan armada, peningkatan mutu (ikan), dan peningkatan harga yang kita harapkan,” katanya.
Sejumlah kendala itu menjadi pertimbangan Kementerian Kelautan Perikanan dalam merevisi aturan rencana pengelolaan perikanan, termasuk perbaikan pendataan. Rencana pengelolaan perikanan diharapkan memberikan kerangka tata kelola serta persyaratan yang harus dikerjakan pemerintah dan pemangku kepentingan.
Peneliti Madya Badan Riset Kelautan dan Perikanan Fayakun Satria mengemukakan, dari sekitar 300.000 armada perikanan, hanya 6.000 kapal berukuran di atas 300 GT. sebagian besar penangkapan ikan masih dilakukan di perairan kepulauan, yakni mencapai 80 persen. Oleh karena itu, perlu ditelusuri kendala penangkapan ikan di ZEE Indonesia dan laut lepas.
Modal Indonesia
Secara terpisah, Kepala Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar, mengingatkan, kondisi sebagian ZEE saat ini sudah terisi untuk penangkapan tuna, terutama di ZEE Samudera Hindia sebelah Barat Sumatra dan Selat Sunda (572) dan Samudera Hindia sebelah selatan Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara (573). Oleh karena itu, pemanfaatan ZEE harus memperhitungkan jumlah armada yang diperlukan, mengingat penangkapan tuna di Indonesia juga sudah cenderung berlebih.
Billahmar, mengemukakan, dibukanya investasi kapal-kapal besar untuk penangkapan tuna di perairan Indonesia dan laut lepas harus dipastikan 100 persen modal dalam negeri, agar tidak lagi terulang kasus penyalahgunaan perizinan kapal yang dibekingi pemodal asing untuk kepentingan asing. Kemudahan perizinan jangan sampai membuka celah permainan izin.
Pembukaan investasi kapal-kapal besar untuk penangkapan tuna di perairan Indonesia dan laut lepas harus dipastikan 100 persen modal dalam negeri.
”Dibukanya kapal-kapal besar harus dipastikan sepenuhnya modal dalam negeri. Jangan lagi berulang, investasi kapal Indonesia, tetapi dimiliki asing sehingga merusak nama Indonesia. Upaya mendorong pemanfaatan tuna harus memastikan kesejahteraan nelayan Indonesia, dan bukan pemodal asing.
Penasihat Menteri Kelautan Perikanan Bidang Sosial Ekonomi Perikanan, Nimmi Zulbainarni, berpandangan, Indonesia memiliki peluang menangkap tuna di ZEE dan laut lepas, maka perlu kebijakan mendorong kapal besar di atas 150 GT untuk masuk ZEE dan laut lepas. “Potensi laut besar, tetapi kontribusi perikanan masih rendah,” katanya.
Ia menilai, penangkapan ikan yang cenderung melebihi kapasitas mengindikasikan institusi yang tidak bekerja dengan optimal. Jumlah kapal yang masuk ke perairan lebih besar dari sumber daya ikan yang ditangkap. Oleh karena itu, perlu perbaikan sistem pendaftaran kapal, penangkapan ikan yang baik, pembatasan rumpon, dan sertifikasi hasil tangkapan.