Pemerintah dan DPR sepakat bahwa negara ikut menanggung pesangon bagi pekerja yang diputus hubungan kerja. Namun, sejumlah pihak meragukan kemampuan fiskal negara, terlebih di tengah pandemi dan kelesuan ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tiba di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020). Mereka datang untuk mengikuti rapat dengan Badan Legislasi DPR membahas RUU Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah ikut membayarkan pesangon pekerja dalam RUU Cipta Kerja mendapat kritik. Sumber dana dipertanyakan karena keuangan negara, khususnya di tengah pandemi, dinilai tidak cukup kuat untuk menanggung kewajiban perusahaan. Kalangan pekerja khawatir ini menjadi pertanda kemunculan pasar tenaga kerja yang semakin bebas dan fleksibel.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Selasa (29/9/2020), mengatakan, tidak masuk akal jika pemerintah ikut turun tangan membayarkan pesangon pekerja lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Apalagi, di tengah pandemi saat ini ketika kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sedang banyak bermunculan.
”Jika pesangon ditanggung pemerintah dengan JKP, dari mana sumber dananya? Siapa yang akan membayar iuran rutin JKP pekerja? Bisa-bisa jebol APBN kita,” kata Said dalam keterangan pers di Jakarta.
Tidak masuk akal jika pemerintah ikut turun tangan membayarkan pesangon pekerja lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Ia curiga aturan itu justru menjadi pertanda akan munculnya pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel dan bebas dengan prinsip mudah direkrut, mudah dipecat. Berhubung JKP hanya melindungi karyawan tetap, bukan pekerja kontrak atau alih daya (outsource), akan semakin banyak pekerja yang terancam berstatus kontrak dan tidak mendapat kepastian kerja.
Apalagi, mengingat ketentuan tentang syarat dan jangka waktu pekerja kontrak dengan waktu tertentu (PKWT) di RUU Cipta Kerja masih mengambang karena detail pengaturannya diserahkan ke pemerintah untuk diatur dalam rancangan peraturan pemerintah (PP).
”Bisa saja jalan tengah ini diambil pemerintah dan DPR karena tahu JKP tidak perlu diberikan untuk karyawan kontrak atau outsourcing dan ke depan tidak perlu ada banyak karyawan tetap,” ujarnya.
Dalam rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, Senin (28/9/2020), pemerintah dan DPR memutuskan jumlah hak pesangon pekerja saat PHK tetap mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni maksimal sebanyak 32 kali gaji.
Sebelumnya, dalam draf awal RUU Cipta Kerja rumusan pemerintah, pemberian pesangon hendak dikurangi menjadi maksimal 19 kali gaji pekerja. Ini menjadi salah satu poin yang paling banyak diprotes kalangan pekerja.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Anggota dan pimpinan Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Pemerintah dan DPR memutuskan agar tidak menyulitkan pengusaha dan tetap melindungi pekerja, negara akan ikut ”patungan” menanggung pembayaran sembilan kali gaji melalui skema asuransi JKP. Sementara pengusaha membayarkan 23 kali gaji.
Pengaturan lebih detail mengenai skema kepesertaan beserta besarannya disepakati untuk diatur dalam rancangan PP. Pemerintah berencana skema asuransi JKP itu akan dimasukkan dalam sistem jaminan sosial nasional di BP Jamsostek.
Agar tak menyulitkan pengusaha dan tetap melindungi pekerja, negara akan ikut menanggung pembayaran 9 kali gaji melalui skema asuransi Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Dalam rapat Panja RUU Cipta Kerja, sempat muncul keraguan serupa dari DPR bahwa negara memiliki ruang fiskal yang cukup longgar untuk ikut menanggung kewajiban pengusaha. Apalagi, di tengah pandemi ketika defisit APBN semakin melebar dan kasus PHK semakin banyak muncul. Namun, mayoritas anggota DPR meminta pemerintah meringankan beban pekerja dengan menanggung iuran kepesertaan JKP.
Ketua Panja RUU Cipta Kerja DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, keputusan ini menjadi jalan tengah yang tidak memberatkan pengusaha ataupun pekerja. ”Pemerintah dan pengusaha saling berbagi beban sehingga kehadiran negara ada untuk memberikan jaminan kepastian bagi pekerja,” kata Supratman.
Massa buruh sambil membawa poster kembali mendatangi Gedung Parlemen di Jakarta untuk berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, Rabu (12/2/2020).
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, skema pembayaran kompensasi PHK yang mewajibkan pemerintah ikut membayar akan mendapat kendala dari Kementerian Keuangan. Saat ini, desifit APBN di tengah pandemi sudah semakin melebar hingga mencapai Rp 500,5 triliun per Agustus 2020. Itu setara dengan 3,05 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ia mengatakan, hal itu akan menjadi beban untuk APBN berikutnya. Apalagi, seharusnya hakikat APBN disalurkan untuk membantu orang miskin, bukan ke pekerja tetap yang tidak masuk kategori orang miskin. ”Dorongan agar pemerintah membayarkan iuran jaminan sosial untuk pekerja informal miskin saja tidak kunjung dipenuhi, sekarang iuran JKP untuk pekerja tetap malah mau dibayar pemerintah,” kata Timboel.
Dorongan agar pemerintah membayarkan iuran jaminan sosial untuk pekerja informal miskin saja tidak kunjung dipenuhi.
Kemampuan fiskal semakin diragukan karena sejauh ini kondisi perekonomian belum menunjukkan tanda-tanda akan pulih. Bahkan, pekan lalu, pemerintah menyatakan Indonesia akan mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 diproyeksikan minus 1 sampai minus 2,9 persen. Sebelumnya, pada triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah minus 5,32 persen.
Menurut Timboel, kompensasi PHK seharusnya diintegrasikan dengan sistem jaminan sosial. Sehingga, pengusaha tetap berkewajiban mengiur dalam persentase tertentu sebagai ”tabungan” pesangon di kemudian hari. Perhitungan kompensasinya pun harus tetap diatur di Undang-Undang Cipta Kerja, bukan melalui rancangan peraturan pemerintah seperti yang saat ini disepakati pemerintah dan DPR.
Satu bulan
Sebelumnya diberitakan, pemerintah dan DPR telah merampungkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam kluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Namun, beberapa isu krusial justru dibiarkan mengambang dan diserahkan ke pemerintah untuk diatur melalui peraturan turunan.
Isu yang diserahkan ke keputusan pemerintah itu antara lain aturan mengenai pesangon dan JKP, pekerja kontrak dengan waktu tertentu (PKWT), dan pekerja alih daya (outsourcing).
Kompas/Wawan H Prabowo
Para buruh dan mahasiswa memperingati Hari Perempuan Internasional dengan berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Senin (9/3/2020). Selain mengecam kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan pekerja, mereka juga menyampaikan penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, sebelum DPR selesai membahas kluster-kluster di RUU Cipta Kerja, pemerintah sudah mulai menyiapkan rancangan peraturan pemerintah. Hal itu dilakukan agar penyelesaian PP tidak perlu memakan waktu lama. ”Dari pengalaman sebelumnya, kalau dikasih waktu panjang, akhirnya malah rancangan peraturan itu tidak dikerjakan,” katanya.
Sebelum DPR selesai membahas kluster-kluster di RUU Cipta Kerja, pemerintah sudah mulai menyiapkan rancangan peraturan pemerintah.
Dengan metode ini, draf rancangan PP saat ini sudah disiapkan. Jika DPR menyetujui substansi usulan pemerintah, rumusan ketentuan di PP tidak berubah. Jika ada perubahan, pemerintah lewat tiap kementerian/lembaga tinggal menyesuaikan saja. Estimasinya, ada 34 rancangan PP yang harus disiapkan. ”Jadi kami optimistis bahwa ini bisa dikerjakan hanya dalam waktu satu bulan,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan penutup di Pasal 173, peraturan pemerintah dan peraturan turunannya wajib ditetapkan paling lama satu bulan. Peraturan turunan lain yang substansi undang-undangnya berubah akibat RUU Cipta Kerja juga wajib menyesuaikan dalam waktu paling lama satu bulan.
Tidak seperti rancangan legislasi lainnya, RUU Cipta Kerja tidak perlu menunggu sekian tahun untuk berlaku. Pasal 174 mengatur, Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan langsung mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Anggota Panja RUU Cipta Kerja, Obon Tabrani, mengatakan, RUU Cipta Kerja kemungkinan besar akan dibawa ke rapat paripurna pada 8 Oktober 2020 ini untuk pembahasan tingkat akhir. Jika disepakati oleh semua fraksi, RUU akan langsung disahkan dalam forum tersebut. Dengan demikian, pada November 2020, ketentuan-ketentuan dalam RUU Cipta Kerja sudah berlaku.