Membangun Tempat Kerja yang Ramah Difabel
Kesadaran akan kesetaraan dan inklusivitas di lingkungan kerja dinilai membaik meski perlahan. Namun, tak sedikit pihak yang belum tahu harus bagaimana dan mulai dari mana. Langkah kecil mesti dimulai.
Kesadaran mengenai kesetaraan dan inklusivitas di lingkungan kerja semakin perlu digencarkan. Lambat laun, perusahaan mulai menyadari pentingnya lingkungan kerja yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Namun, masih banyak pula yang belum tahu harus memulai dari mana dan bagaimana.
Saat pertama kali bekerja, Intan Permata Hati, yang menyandang disabilitas sensorik di telinga, telah merasakan perlakuan diskriminatif yang membuatnya tidak nyaman bekerja. Hal itu membuat Intan kerap tidak percaya diri. ”Waktu kecil dulu, untuk mengikat rambut saja, saya tidak pede karena takut telinga saya terlihat,” katanya, Selasa (29/9/2020).
Disabilitas sensorik itu membuat Intan hanya memiliki satu lubang telinga. Ia tetap memiliki dua daun telinga, tetapi tanpa lubang telinga di sebelah kanan. Dengan demikian, Intan sehari-harinya hanya bisa memanfaatkan pendengaran dari telinga kiri.
Di perusahaan lamanya, Intan merasa diperlakukan berbeda dengan pekerja lainnya. Intan merasa menjadi minoritas karena selain penyandang disabilitas, ia juga seorang perempuan dan penganut agama minoritas di tempat kerjanya. ”Saya di awal-awal merasa dibedakan. Memang bukan oleh perusahaan, melainkan perorangan oleh rekan kerja yang lain,” tutur Intan.
Intan merasa menjadi minoritas karena selain penyandang disabilitas, ia juga seorang perempuan dan penganut agama minoritas di tempat kerjanya.
Bertahun-tahun kemudian, Intan berhasil mengatasi ketidakpercayaan dirinya. Ia aktif mengadvokasi kesetaraan dan inklusivitas bagi jender dan penyandang disabilitas di ranah kerja. Intan, yang dulu tidak percaya diri karena daun telinganya terlihat orang, kini menjabat sebagai manajer dan penasihat Human Capital Management di PT Adis Dimention Footwear di Tangerang, Banten.
Intan bersama dengan perwakilan divisi sumber daya manusia dari perusahaan lain pun menyusun buku panduan kesetaraan dan inklusivitas di tempat kerja. Buku panduan itu baru saja diluncurkan pada Selasa (29/9/2020) dan ditayangkan secara virtual. Penyusunan buku itu didukung oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Buku panduan tersebut memuat arahan dan tahapan praktis mengenai penerapan kesetaraan dan inklusivitas di tempat kerja. Hal lain yang dimuat adalah undang-undang dan kebijakan yang harus dipatuhi mengenai kesetaraan bagi penyandang disabilitas di lingkungan kerja. Bahkan, hal sederhana seperti definisi disabilitas dan beragam jenis disabilitas juga ikut dijelaskan.
Dadan Sukma Saputra, Head of Human Capital di PT Dayalima Abisatya, mengatakan, agar lebih banyak perusahaan bersedia memberi kesempatan dan inklusivitas kerja bagi penyandang disabilitas, buku itu pun ikut memuat penjelasan mengenai manfaat dari penerapan kesetaraan dan inklusivitas bagi perusahaan.
Langkah kecil
Dadan mengatakan, lambat laun, semakin banyak perusahaan yang sebenarnya memahami persoalan kesetaraan perlakuan dan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Namun, banyak pula yang belum mengetahui langkah apa yang harus dilakukan.
”Sering kali yang tidak siap itu bukan teman-teman penyandang disabilitasnya, tetapi orang-orang yang bekerja di sekitar mereka. Makanya, buku panduan ini banyak mengatur mengenai cara untuk mempersiapkan orang-orang di dalam perusahaan itum mulai dari cara berinteraksi dan berkomunikasi sampai penyediaan fasilitas untuk pekerja disabilitas,” kata Dadan.
Baca juga: Mempersoalkan ”Disabilitas” dan ”Difabel”
Menurut dia, langkah penerapan harus dimulai dengan langkah kecil terlebih dahulu. Perekrutan pekerja penyandang disabilitas dalam enam bulan pertama tidak perlu dilakukan secara besar-besaran. Infrastruktur di kantor pertama-tama perlu dibenahi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan para pekerja penyandang disabilitas.
”Tidak bisa otomatis mengubah semua. Harus ada target sembari melakukan improvement terhadap akomodasi dan fasilitas yang ada di kantor. Setelah itu semua dilakukan pun tetap harus ada pemantauan dan evaluasi yang rutin,” tutur Dadan.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015 mencatat, di setiap negara, ada 15 persen penduduk yang mengalami disabilitas. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2019 mencatat, jumlah penduduk usia kerja disabilitas di Indonesia adalah 20,72 juta orang. Sebagian besar merupakan perempuan dengan jumlah 11,54 juta orang.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Bahrul Fuad, yang juga adalah seorang difabel, mengatakan, diskriminasi terhadap pekerja difabel nyata terlihat di lapangan. ”Kami ditolak bahkan sejak di pintu gerbang. Ketika melamar pekerjaan, terlihat saya memakai tongkat atau kursi roda, itu minimal dikira oleh petugas satpam sedang meminta sumbangan,” ujar Fuad.
Oleh karena itu, Fuad menyambut baik adanya itikad baik dari kalangan pengusaha untuk menyusun buku panduan mengenai kesetaraan dan inklusivitas di tempat kerja. ”Pekerja bukan sekadar alat produksi, melainkan mereka manusia. Dengan adanya panduan seperti ini, mereka diberi peluang untuk berkontribusi lebih besar bagi perusahaan,” katanya.
Kesempatan kerja
Upaya untuk membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas diyakininya bisa menuntaskan banyak persoalan, termasuk kemiskinan.
Fuad mengatakan, disabilitas dengan kemiskinan memiliki hubungan sangat erat. Ketika seseorang menjadi difabel, ia lebih berpotensi jatuh miskin atau terperangkap dalam kemiskinan struktural. ”Karena ketika menjadi disabilitas, mereka kehilangan banyak akses, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja,” ujarnya.
Kemiskinan di kalangan penyandang disabilitas diperparah dengan kesempatan pendidikan yang sempit bagi anak-anak disabilitas. Survei Unicef pada 2016 mencatat, ada 67 persen anak disabilitas di Indonesia yang tidak bersekolah. Setelah ditelusuri, dari 33 persen anak disabilitas yang bersekolah, hampir 50 persen tidak lulus sekolah dasar.
”Bayangkan, dengan kondisi itu, bisa dipastikan penyandang disabilitas itu sulit menembus pasar tenaga kerja di Indonesia. Apalagi, pasar kerja kita minimal mensyaratkan pegawai itu harus lulus SMA,” katanya.
Fuad pun mengusulkan perusahaan-perusahaan besar ikut memperhatikan akses pendidikan bagi para penyandang disabilitas. Bisa dalam bentuk pemberian beasiswa formal ataupun informal bagi para penyandang disabilitas untuk menuntaskan pendidikan dan menambah kompetensi.
”Mau tidak mau harus ada affirmative action karena teman-teman disabilitas selama ini harus bersaing dengan yang bukan disabilitas. Kalau orang lari, istilahnya seperti kuda diadu dengan kelinci, agak sulit,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Nora Kartika Setyaningrum mengatakan, Kemenaker sedang berupaya menumbuhkan kesadaran pelaku usaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Sejumlah konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) diratifikasi untuk mempromosikan antidiskriminasi dan kekerasan di dunia kerja.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Tak Mau Meratapi Pandemi
Pemerintah saat ini sedang menunggu rampungnya rancangan peraturan pemerintah dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Payung hukum itu diharapkan bisa mendorong adanya kesetaraan kesempatan kerja bagi para penyandang disabilitas.
Ke depan, pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan BUMD paling sedikit harus mempekerjakan setidaknya 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai total. Sementara, perusahaan swasta wajib memenuhi 1 persen kuota tersebut. ”Pemerintah juga berusaha terus memberi penghargaan dan insentif bagi perusahaan yang ramah kepada pekerja disabilitas,” kata Nora.