Pandemi, Produk Furnitur Indonesia Makin Diminati di AS
Furnitur Indonesia berpeluang meningkatkan penjualannya di pasar global. Namun, kualitas produk dan harga harus terjamin agar bisa berdaya saing di pasar yang kompetitif.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor furnitur di tengah pandemi Covid-19 menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, khususnya ke Amerika Serikat. Para pelaku usaha dalam negeri pun didorong meningkatkan kualitas dan daya saing produk untuk merebut pasar yang lebih besar.
Kompas mencatat, berdasarkan data Global Trade Atlas (2020), nilai ekspor furnitur Indonesia ke AS periode Januari-Mei 2020 sebesar 582,11 juta dollar AS. Nilai ekspor ini tumbuh 51,3 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yang senilai 384,82 juta dollar AS.
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Victoria br Simanungkalit menyampaikan, berkat peranan dari para atase perdagangan Indonesia di luar negeri, penetrasi produk furnitur dan kerajinan tangan Indonesia dapat tetap terjadi meski di tengah pandemi. Upaya ini harus terus ditingkatkan untuk membantu pemasaran produk UKM.
”Saat ini masih terbuka peluang peningkatan ekspor furnitur ke AS dan Jerman. Produk kerajinan tangan juga masih berpeluang besar,” ujar Victoria, Selasa (29/9/2020).
Paparan ini mengemuka dalam webinar ”Optimalisasi dan Sinergitas Stakeholder Terkait dalam Rangka Percepatan dan Pemulihan Ekspor Produk Furnitur dan Kerajinan Indonesia”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Direktur Amerika I Kementerian Luar Negeri Zelda Wulan Kartika; Atase Perdagangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat, Wijayanto; dan Atase Perdagangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, Jerman, Nurlisa Arfani.
Pemerintah, kata Victoria, juga berupaya membantu UKM furnitur dan kerajinan tangan untuk meningkatkan produktivitas usaha sehingga bermutu dan memiliki sertifikasi berstandar global. Untuk membantu pemasaran, disediakan fasilitas pembuatan e-brochure oleh Smesco yang menghubungkan business to business di pasar nasional dan internasional.
”Kami sangat berharap kerja sama dengan para perwakilan kedutaan di luar negeri untuk membantu UKM masuk di pasar tersebut. Kami juga mendorong pelaku UKM untuk menyiapkan diri dan meningkatkan kualitas produk agar siap menghadapi pasar global,” ucapnya.
Zelda Wulan Kartika menyampaikan, selama masa pandemi terjadi peningkatan permintaan pasar AS terhadap produk furnitur Indonesia. Peningkatan ekspor furnitur Indonesia yang signifikan tercatat ke Pantai Barat AS dan Pantai Selatan AS.
Pada periode Januari-Juni 2020, dibandingkan tahun sebelumnya, tercatat peningkatan hingga 64 persen untuk Pantai Barat AS di wilayah kerja Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Los Angeles dan San Francisco. Sementara untuk Pantai Selatan AS di wilayah kerja KJRI Houston, ekspor meningkat hingga 70 persen.
”Kajian perwakilan RI di AS menemukan, peningkatan kebutuhan produk furnitur ke AS terjadi karena mereka (masyarakat AS) harus berada di rumah (dalam masa pandemi). Jadi, banyak yang mendekor ulang rumah dan membeli furnitur,” kata Zelda.
Selain itu, 75 persen konsumen AS berkeinginan mencoba merek baru yang sama sekali belum ditemui di pasar AS.
Peluang pasar juga tercipta sebagai dampak dari perang dagang antara AS dan China. Penurunan nilai ekspor produk mebel berbahan kayu dari China sudah terlihat sejak 2019 dari 9,3 miliar dollar AS pada 2018 menjadi 6,2 miliar dollar AS.
”Sekalipun pandemi membuat impor AS menurun, secara keseluruhan ekspor kita bisa naik karena adanya perang dagang. Pasar yang kosong inilah yang harus ditangkap oleh pelaku usaha Indonesia,” kata Zelda.
Kompetitif
Wijayanto mengingatkan, meski terbuka peluang pasar bagi pelaku usaha Indonesia, AS merupakan pasar yang kompetitif dengan persaingan harga ketat dan tuntutan kualitas tinggi. Untuk itu, pelaku UKM harus membangun kredibilitas agar mampu menembus pasar AS.
Dengan tingginya budaya daring konsumen AS, kredibilitas dari produk usaha harus dibangun secara virtual. Mulai dari memperkaya laman usaha dan media sosial dengan memuat latar belakang perusahaan dan cerita produk hingga berkomunikasi secara aktif melalui media elektronik.
”Pelaku usaha juga harus mampu menepati komitmen dan kontrak yang telah disepakati bersama, termasuk komitmen terkait standar kualitas dan kuantitas barang serta termin pengiriman,” ujar Wijayanto.
Sebelum memutuskan ekspor, ia menyampaikan, pelaku usaha perlu melakukan penelitian kondisi pasar AS terkait tren, harga, dan kompetitor untuk mencari diferensiasi sebagai strategi negosiasi. Berbagai persayaratan dan regulasi juga perlu diketahui untuk bisa menembus pasar AS.
”Perusahaan dengan representasi lokal itu akan lebih dipercaya oleh calon pembeli di AS. Untuk itu, sangat dianjurkan terlebih dahulu memiliki mitra bisnis di AS yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan diaspora Indonesia,” katanya.
Nurlisa Arfani juga menekankan pentingnya menjaga kualitas produk furnitur dan kerajinan tangan dalam pasar global, termasuk di Jerman. Kendala dalam perdagangan furnitur yang sering kali ditemui adalah kualitas bahan baku dan produk yang tidak stabil.
”Kualitas pengerjaan kerajinan tangan yang bernilai tinggi adakalanya tidak maksimal. Ada juga untuk furnitur knockdown, sering kali ketika konsumen memasangnya tidak pas,” kata Nurlisa.
Padahal, Jerman memiliki peluang pasar yang menjanjikan bagi pelaku usaha furnitur dan kerajinan tangan Indonesia. Sebab, produk furnitur termasuk 10 besar produk ekspor ke Jerman dengan nilai ekspor pada Januari-Juni 2020 hampir mencapai 50 juta dollar AS.
”Mulai 2021, semua pameran di Jerman akan diadakan secara virtual, termasuk penjualan dan transaksinya. Untuk itu, pelaku usaha Indonesia harus benar-benar menyiapkan produknya agar bisa dibeli konsumen Jerman,” ujar Nurlisa.