Demi menyelamatkan ekonomi pada masa krisis Covid-19, inisiatif fiskal ”whatever it takes” dengan falsafah Keynes menjadi satu-satunya kebijakan yang mungkin berjalan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Resesi, menurut Oxford Languages, didefinisikan sebagai masa sulit perekonomian suatu negara ketika aktivitas perdagangan dan industri menurun serta pengangguran meningkat. Kondisi ini umumnya tecermin dari penurunan produk domestik bruto dalam dua kuartal berturut-turut. Yang harus digarisbawahi, resesi tidak ”ujug-ujug” terjadi.
Di Indonesia, tanda-tanda resesi sebenarnya mulai terlihat ketika ekonomi tumbuh melambat pada triwulan I-2020. Perekonomian secara tahunan tumbuh 2,97 persen, sementara triwulanan minus 2,41 persen. Ini seharusnya jadi alarm bagi pemerintah karena untuk pertama dalam 10 tahun terakhir, Indonesia tumbuh di bawah 5 persen.
Kontraksi ekonomi baru benar-benar terjadi pada triwulan II-2020. Pertumbuhan ekonomi terperosok ke negatif 5,32 persen secara tahunan. Pekan lalu, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 berkisar minus 1 persen sampai minus 2,9 persen, yang berarti Indonesia akan mengalami resesi.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang resesi. Dari hitungan Bank Dunia, lebih dari 92 persen negara di dunia akan mengalami krisis atau pertumbuhan negatif pada tahun ini. Pertumbuhan ekonomi di beberapa negara Eropa bahkan sudah minus sejak awal tahun atau tiga kuartal berturut-turut.
Demi menyelamatkan ekonomi pada masa krisis Covid-19, inisiatif fiskal whatever it takes dengan falsafah Keynes menjadi satu-satunya kebijakan yang mungkin berjalan. John Maynard Keynes (1883-1946), ekonom asal Inggris, berargumen, belanja pemerintah adalah faktor utama yang mendorong permintaan dan menarik perekonomian keluar dari depresi.
Pemerintah mengambil peran dominan untuk menstimulasi dan menggerakan roda ekonomi. Keynesian Economics atau lebih dikenal dengan Teori Keynes pertama kali dikembangkan tahun 1930-an ketika terjadi Depresi Besar yang melanda seluruh dunia. Hampir semua negara menerapkan kebijakan ekonomi pragmatis ini.
Demi menyelamatkan ekonomi pada masa krisis Covid-19, inisiatif fiskal whatever it takes dengan falsafah Keynes menjadi satu-satunya kebijakan yang mungkin berjalan.
Falsafah Keynes diterapkan Indonesia dengan melonggarkan defisit APBN 2020 menjadi 6,3 persen produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 1.039,2 triliun. Defisit tahun ini tertinggi sejak 1965 yang saat itu mencapai 63 persen PDB. Namun, banyak negara melonggarkan defisit di atas 10 persen, seperti Singapura 13,5 persen PDB, Jepang 11 persen PDB, dan AS 17,1 persen PDB.
Defisit APBN salah satunya dialokasikan untuk anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) sebesar Rp 695,23 triliun. Masalahhya, setelah lebih dari enam bulan korona menginfeksi Indonesia, penyerapan anggaran PC-PEN masih sangat rendah dan lambat.
Per 16 September 2020, realisasi anggaran PC-PEN baru Rp 254,4 triliun atau 36,72 persen pagu. Karena itu, wajar saja jika pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 masih negatif karena obat krisisnya belum banyak diminum.
Triwulan III-2020 berakhir pekan ini, yang berarti penyerapan anggaran PC-PEN harus digenjot dalam tiga bulan ke depan atau kurang dari itu. Tentu ini bukan perkara mudah. Sebagai solusi, pemerintah kembali mengotak-atik fiskal untuk menggenjot serapan dalam waktu singkat.
Sisa anggaran PC-PEN yang berpotensi tidak terserap akan direalokasi ke program-program yang saat ini sudah berjalan. Dari relokasi itu, akan ada tambahan anggaran perlindungan sosial dari pagu awal Rp 203,9 triliun menjadi Rp 242,01 triliun dan dukungan UMKM naik dari Rp 123,46 triliun menjadi Rp 128,05 triliun.
Di sisi lain, potensi penyerapan beberapa program lebih rendah dari pagu, yaitu penanganan kesehatan sebesar 96 persen dari pagu Rp 84,02 triliun, dukungan sektoral pemerintah daerah dan kementerian/lembaga Rp 71,54 triliun (67 persen), dan pembiayaan korporasi Rp 49,05 triliun (91,5 persen). Dengan adanya realokasi, anggaran program PC-PEN diharapkan terealisasi 100 persen sampai akhir tahun.
Ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah manakala realisasi anggaran PC-PEN tidak optimal. Sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) akan meningkat yang mengonfirmasi tata kelola anggaran bermasalah. Peningkatan silpa juga membebani fiskal karena bersumber dari utang. Bunga utang tetap harus dibayar, padahal anggaran tidak digunakan. Beruntung beban pembiayaan pemerintah dibantu Bank Indonesia sehingga lebih ringan.
Namun, akar masalahnya bukan itu. Peran pemerintah sebagai aktor dominan yang bertugas menyelamatkan Indonesia dari resesi harus benar-benar berjalan. Kerja keras pemerintah tidak hanya mendorong penyerapan yang optimal, tetapi juga memastikan penyaluran anggaran tepat sasaran. Jangan sampai triliunan stimulus yang telah digelontorkan sia-sia dan tak mampu mengeluarkan ekonomi dari krisis berkepanjangan.