Pelaku Usaha Kini Punya Panduan untuk Merekrut Penyandang Disabilitas
Sebuah buku panduan kini dihadirkan untuk membantu pelaku usaha mewujudkan tempat kerja inklusif dan tidak diskriminatif.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha kini tidak perlu bingung menerapkan amanat pemerintah untuk merekrut karyawan dengan disabilitas. Sebuah buku panduan kini dihadirkan untuk membantu pelaku usaha mewujudkan tempat kerja inklusif dan tidak diskriminatif.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan United States Agency for International Development (USAID) Mitra Kunci hari ini, Selasa (29/9/2020), meluncurkan buku Panduan Kesetaraan dan Inklusivitas di Tempat Kerja.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, panduan yang disusun selama setahun itu juga dibuat bersama oleh perwakilan pekerja, pemerintah, dan praktisi isu perempuan, disabilitas, dan ketenagakerjaan. Panduan dibuat karena ketidaktahuan dunia usaha mengimplementasikan prinsip inklusivitas di tempat kerja.
”Ketika panduan ini ada, maka pengusaha tidak harus memulai dari nol untuk memikirkan tenaga kerja disabilitas yang sesuai kompetensi dan kebutuhan perusahaan, serta membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman, baik dari segi infrastruktur maupun aspek lingkungan sosial,” ujarnya.
Dadan Sukma Saputra, perwakilan PT Dayalima Abisatya, yang mewakili tim penyusun, menyebut buku panduan tersebut diawali pengenalan konsep kesetaraan dan inklusivitas. Panduan itu mengarahkan tahapan dan praktik penyediaan akomodasi, media informasi dan komunikasi, hingga kondisi darurat yang sesuai dengan prinsip yang diarahkan.
Untuk menerapkan kesetaraan dan inklusivitas di tempat kerja, menurut Dadan, perusahaan perlu terlebih dulu membuat rencana aksi dan menetapkan target manfaat dan capaian. Setelah itu, melakukan penilaian mandiri untuk penerapannya. ”Semua dilakukan bertahap dari menetapkan target, ambil baby step saja,” katanya.
Ia mencontohkan, perusahaan bisa merencanakan perekrutan pekerja dengan disabilitas enam bulan ke depan. Perusahaan bisa bekerja sama dengan komunitas atau organisasi yang bisa membantu menyalurkan tenaga kompeten, seperti Kerjabilitas. Berdasarkan pengalaman perusahaannya, pekerja disabilitas bisa ditempatkan di posisi strategis, seperti konsultan atau asesor.
”Lalu, mulai lakukan perencanaan kerja dan mengomunikasikan rencana aksi. Kalau pengalaman kami, justru yang tidak siap bukan teman disabilitas, melainkan karyawan di tempat disabilitas akan bekerja. Kemudian, lakukan perbaikan terhadap fasilitas dan akomodasi. Pastikan ada pemantauan dan evaluasi dengan para pimpinan,” tuturnya.
Selain fokus pada pekerja dengan disabilitas, panduan itu juga memberi arahan penerapan kesetaraan pada pekerja perempuan. Pekerja perempuan yang mencakup kerap mengalami ketidaksetaraan di tempat kerja.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Belum Banyak Diakomodasi di Badan Usaha
Intan Permata Hati, pekerja dengan disabilitas sensori di PT Adis Dimension Footwear, berharap panduan itu bisa memperbaiki pemenuhan hak dan meningkatkan kesejahteraan pekerja perempuan. Penerapan waktu kerja fleksibel untuk ibu hamil, melahirkan, dan menyusui, misalnya, sering sulit didapatkan pekerja perempuan. Bahkan, disabilitas yang dialami kerap menambah beban.
”Saya memiliki kekurangan satu lubang telinga tidak ada, jadi pendengaran kurang atau sangat kecil. Tapi, disabilitas ini enggak berpengaruh terhadap pekerjaan saya, bahkan sampai sekarang saya bisa jadi manajer di perusahaan tempat saya bekerja saat ini,” katanya.
Bagi Intan, perusahaan yang mengedepankan kesetaraan dan inklusivitas tidak hanya membantu menyejahterakan penyandang disabilitas atau perempuan secara umum, tetapi juga mengangkat citra perusahaan.
Kesejahteraan
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Bahrul Fuad, yang juga penyandang disabilitas, berharap panduan tersebut bisa membantu perusahaan merekrut lebih banyak penyandang disabilitas dan meningkatkan kesejahteraannya. Pasalnya, disabilitas memiliki hubungan erat dengan kemiskinan.
”Ketika orang jadi disabilitas, mereka berpotensi menjadi miskin karena kehilangan akses mendapatkan pendidikan, layanan umum kesehatan akibat adanya eksklusivisme. Orang miskin juga ada kemungkinan rentan sakit sehingga potensi disabilitas tinggi. Jadi, ini lingkaran setan yang enggak berujung,” katanya.
Pernyataan itu menyimpulkan survei Unicef pada 2016 yang menemukan 67 persen anak disabilitas tidak bersekolah. Sementara berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016, sebesar 45,74 persen anak disabilitas tidak lulus SD.
”Jadi, bisa dibayangkan kualitas anak-anak disabilitas kita. Bisa dipastikan mereka tidak bisa masuk ke dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, yang menyarankan minimal lulus SMA. Ini SD saja tidak lulus,” ujarnya.
Bahrul pun berharap agar pengusaha bersama-sama pemerintah membantu meningkatkan kesempatan penyandang disabilitas untuk meningkatkan derajat pendidikan. Dengan demikian, menurut dia, pengusaha dan negara akan diuntungkan dengan bertambahnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan daya beli sehingga beban negara akan berkurang.
Data Kementerian Ketenagakerjaan per Agustus 2019 mencatat, Indonesia memiliki total 20.728.227 penduduk usia kerja yang merupakan penyandang disabilitas. Sekitar 11.548.2020 orang di antaranya adalah perempuan.
Pemerintah yang diwakili Pelaksana Tugas Direktur Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri (PTKDN) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Nora Kartika mengapresiasi inisiatif tersebut. Kesetaraan dan inklusivitas harus menjadi konsep universal yang diterapkan di tempat kerja.
Panduan yang diterbitkan itu pun diharapkan memperluas implementasi salah satu aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Perusahaan negara, baik di pusat maupun daerah, wajib menerima penyandang disabilitas minimal 2 persen dari semua karyawan. Adapun perusahaan swasta menerima minimal 1 persen dari semua karyawan.
”Dalam waktu dekat ini, kami menunggu Presiden untuk menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Unit Layanan Disabilitas (ULD) bidang ketengakerjaan. Ini akan menjadi alat bagi kami untuk hadir di ULD yang wajib dimiliki semua kantor dinas di kabupaten atau kota hingga provinsi,” katanya.