Pebisnis Kuliner Bisa Tembus Pasar Vietnam lewat Pujasera
Sejumlah produk kuliner Indonesia, seperti rendang, nasi goreng, soto, sate, dan bakso, potensial dipasarkan di Vietnam. Pujasera atau ”foodcourt” bisa menjadi celah lapak untuk masuk ke pasar Vietnam.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha kuliner atau makanan-minuman berpeluang menembus pasar Vietnam melalui pujasera atau foodcourt. Kuliner Indonesia berpotensi digemari oleh konsumen Vietnam asalkan profil rasanya dapat menyesuaikan selera masyarakat setempat.
Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh, Vietnam, Hanif Salim menawarkan pelaku usaha makanan-minuman untuk membuka bisnis di pujasera yang dikoordinatori oleh We Link Co, Ltd, perusahaan Vietnam yang dikelola oleh warga negara Indonesia.
”Vietnam menjadi salah satu pasar yang potensial bagi pebisnis kuliner asalkan produknya dapat menyesuaikan gaya (tren) di sini. Agar tidak terlalu berat di dana, kita berkolaborasi membentuk foodcourt,” katanya saat forum diskusi dalam jaringan yang diadakan Konsulat Jenderal RI di Ho Chi Minh, Selasa (29/9/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun konsulat jenderal, produk kuliner Indonesia yang potensial dipasarkan di Vietnam, antara lain, adalah rendang, nasi goreng, sate, soto, bakso malang, martabak, es pisang hijau makassar, gado-gado, dan ketoprak. Konsumen di Vietnam bagian utara menyukai rasa tawar dan asin, di tengah Vietnam suka rasa pedas, sedangkan di selatan menyukai rasa pedas dan manis.
Selain itu, wisatawan melayu Malaysia dan Singapura di Vietnam pada 2019 mencapai sekitar 800.000 orang sedangkan turis Indonesia berkisar 106.000 orang. Wisatawan-wisatawan ini cenderung mencari kuliner halal sehingga dapat menjadi pasar potensial bagi pebisnis Indonesia.
Spesifik di Ho Chi Minh terdapat dua restoran Indonesia. Padahal, negara Asia Tenggara lainnya telah memiliki restoran lebih dari jumlah itu, seperti Singapura (6 restoran), Malaysia (9 restoran), dan Thailand (40 restoran).
Selain itu, Hanif menilai, gaya hidup konsumen Vietnam menguatkan potensi pasar bagi produk kuliner Indonesia. ”Warga Vietnam suka nongkrong dan berpesta. Rata-rata masyarakat Vietnam membelanjakan sepertiga pendapatannya untuk makanan dan minuman di luar rumah,” katanya.
Co-owner We Link Co, Ltd Danny Hidajat mengatakan, pebisnis yang tertarik bergabung di pujasera yang dikelolanya cukup membayar sewa sekitar 5.000 dollar AS per bulan. Biaya ini lebih murah dibandingkan pebisnis bergerak sendiri yang biaya sewa tempatnya dapat mencapai 30.000-50.000 dollar AS per bulan.
Biaya sewa yang ditawarkan itu termasuk fasilitas listrik, air, kebersihan, dan pramusaji. Pebisnis pun tidak perlu mengurus perizinan dan membayar pajak. Danny menambahkan, biaya sewa juga sudah meliputi tempat tinggal bagi koki yang akan memasak.
Pujasera itu nantinya bernama Indonesian Food Market dan berlokasi di Food Fiesta Estate, Ben Thanh Market, Ho Chi Minh. Rata-rata pengunjung area ini mencapai 50.000 orang per bulan. Setiap gerai yang ada di pujasera berukuran 3 meter x 5 meter.
Danny mengatakan, perusahaannya menyediakan pengiriman terkonsolidasi dari Jakarta ke Vietnam. ”Biaya akan transparan dan apa adanya. Kami tidak akan mengenakan margin agar produk Indonesia dapat bersaing,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Tetap Bidang Waralaba, Lisensi, dan Kemitraan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Levita Ginting Supit menyatakan, rencana pujasera itu sejalan dengan promosi waralaba dalam negeri ke skala internasional. ”Rasa makanan dan minuman Indonesia itu beragam dan pebisnis cukup kreatif memadukannya dengan selera masyarakat Vietnam sehingga produk kita mampu bersaing,” katanya.
Dia mengharapkan, waralaba makanan-minuman Indonesia yang berpartisipasi di pujasera itu dapat terhubung dengan ekosistem transaksi daring. Dampaknya, para pebisnis dapat melayani pesanan secara daring dari masyarakat setempat.