Mahalnya Biaya Investasi Hambat Pengembangan Biogas
Biogas merupakan sumber energi terbarukan yang murah dan berkelanjutan. Namun, ada sejumlah kendala pengembangannya, khususnya terkait dengan biaya investasi, sehingga pertumbuhan program biogas nasional relatif lamban.
Oleh
Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahalnya biaya investasi instalasi biogas dinilai menjadi salah satu penghambat program biogas di Indonesia. Akibatnya, realisasi program jauh dari target, setidaknya sampai tahun lalu baru terpasang 26,28 juta meter kubik dari target kapasitas terpasang 131,9 juta meter kubik tahun 2020.
Pada 2009, biaya investasi pemasangan biogas dengan kapasitas 6 meter kubik Rp 4,7 juta. Kini harganya naik jadi Rp 11,5 juta. Biaya sebesar itu dinilai mahal oleh sebagian masyarakat.
Biogas untuk rumah tangga di Indonesia banyak dimanfaatkan sebagai pengganti elpiji, minyak tanah, atau kayu bakar. Dengan memanfaatkan limbah rumah tangga dan kotoran ternak, melalui proses fermentasi atau dekomposisi dalam reaktor sederhana, gas dihasilkan dan dialirkan ke kompor biogas. Kandungan utama biogas adalah metana, karbon dioksida, hidrogen, dan nitrogen.
Menurut Direktur Bioenergi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, selain investasi yang dianggap mahal, pendanaan program biogas juga terbatas. Penggunaannya juga dipandang kalah praktis ketimbang tabung elpiji. Selain itu, perlu sinkronisasi program biogas antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta.
”Perlu kajian skema pendanaan untuk mendukung pengembangan program. Beberapa skema yang bisa diambil adalah optimalisasi dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ataupun lewat Kementerian Koperasi dan UKM dengan fasilitas kelembagaan koperasi,” ujarnya dalam webinar ”Membangun Peta Jalan Bersama untuk Sektor Biogas Berkelanjutan di Indonesia”, Senin (28/9/2020).
Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Energi Rebekka Angelyn mengatakan, dalam kajian yang dilakukan pada 2019, penggunaan biogas bisa menghemat belanja bahan bakar penggunanya hingga Rp 50.000 per bulan. Di samping itu, program biogas berhasil menciptakan lapangan kerja baru bagi 1.432 orang. Program biogas juga dapat menciptakan model bisnis baru bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ataupun usaha kecil dan menengah (UKM).
”Kami sudah mengadvokasi ke Kementerian Desa PDTT untuk memasukkan program pengembangan biogas menggunakan dana desa. Biogas adalah tentang pemanfaatan energi bersih dan terbarukan yang dapat mengurangi emisi langsung sebanyak 273.669 ton gas CO2 pada 2019. Penggunaan biogas juga menambah pendapatan penggunanya dari penjualan limbah biogas untuk pupuk senilai Rp 330.000 per bulan,” ujar Rebekka.
Yayasan Rumah Energi adalah pelaksana Program Biogas Rumah Tangga (Biru) yang diinisiasi Hivos dan Kementerian ESDM sejak 2009. Program Biru fokus pada pendistribusian penggunaan energi terbarukan melalui pemanfaatan biogas sebagai sumber energi dan pemanfaatan limbah biogas (bioslurry) sebagai pupuk alami. Dalam program ini sudah terpasang 24.960 unit biogas yang tersebar di 2.744 desa di 136 kabupaten dan kota yang ada di 12 provinsi.
Menurut Manajer Umum Koperasi Agro Niaga Jabung Syariah Jawa Timur, mitra pengembangan Program Biru, Eva Marliyanti, jika peternak hanya memiliki satu atau dua sapi, memiliki biogas tidak menjadi prioritas. Apalagi, investasi pemasangan biogas berkapasitas 6 meter kubik Rp 4,7 juta tahun 2009. ”Kini harganya naik jadi Rp 11,5 juta. Itu bukan biaya yang murah bagi peternak,” kata Eva.
Jika peternak hanya memiliki satu atau dua sapi, memiliki biogas tidak menjadi prioritas.
Menurut Eva Marliyanti, dari ratusan biogas yang sudah dibuat, sejauh ini ada 45 unit yang tak terpakai. Penyebabnya adalah pemilik biogas tersebut tidak lagi menjadi peternak. Ternak sapi mereka dijual untuk kebutuhan ekonomi yang lebih mendesak.
Menurut konsultan Hivos, Robert de Groot, pengembangan biogas di Indonesia punya prospek tinggi untuk daerah yang belum terjangkau elpiji, seperti di Nusa Tenggara Timur. Untuk wilayah yang akses terhadap elpiji sedang dan punya prospek tinggi terhadap pengembangan biogas ada di Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, tidak mudah bagi biogas untuk bersaing dengan elpiji yang disubsidi negara.