Target bauran energi nasional Indonesia pada 2025 dan 2050 diperkirakan meleset. Perlu evaluasi ulang penyusunan kebijakan energi nasional berdasar kondisi kekinian dan berbasis data yang akurat.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan energi di Indonesia, seperti yang diatur dalam Kebijakan Energi Nasional ataupun Rencana Umum Energi Nasional, perlu dievaluasi. Pasalnya, target-target yang disusun dalam dua dokumen tersebut sudah tidak relevan dengan situasi sekarang. Indonesia membutuhkan konsistensi kebijakan energi yang bersifat jangka panjang.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2017, Andang Bachtiar, mengatakan, target bauran energi nasional yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) tidak menunjukkan perkembangan berarti dalam enam tahun terakhir. Usaha mengoptimalkan peran energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 belum menunjukkan hasil. Hal serupa terjadi pada upaya menurunkan penggunaan minyak dan batubara.
”Asumsi yang dipakai saat penyusunan Kebijakan Energi Nasional sudah banyak berubah. Acuan pertumbuhan ekonomi 6 persen tak tercapai dan hanya di angka rata-rata 5 persen. Jadi, Kebijakan Energi Nasional ini perlu dievaluasi kembali berdasarkan realisasi dalam 10 tahun terakhir dan aspirasi yang realistis,” ujar Andang dalam webinar bertajuk ”Menuju Bauran Energi 2025: Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional”, Senin (28/9/2020) malam.
Adang menambahkan, tampak jelas Indonesia tak mampu memenuhi kebutuhan minyak di dalam negeri. Kekurangan kebutuhan bahan bakar minyak diperoleh dari impor. Oleh karena itu, perlu strategi penguasaan lapangan minyak di luar negeri atau sama sekali mengurangi peran minyak dalam bauran energi nasional. Selain itu, pemanfaatan gas bumi harus terus dioptimalkan.
Kebijakan Energi Nasional ini perlu dievaluasi kembali berdasarkan realisasi dalam 10 tahun terakhir dan aspirasi yang realistis.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, masalah kebijakan energi di Indonesia berawal dari ketiadaan cetak biru yang jelas. Kendati ada sejumlah dokumen kebijakan tentang energi, perubahan atau situasi terkini berlangsung cepat sehingga perlu penyesuaian. Persoalannya, Indonesia tidak memiliki basis data tunggal yang bisa dijadikan rujukan.
”Cetak biru tak cukup lewat aturan, tetapi dukungan semua pemangku kepentingan. Selain itu, konsistensi pelaksanaan kebijakan juga harus ditegakkan. Jangan berganti menteri, berganti pula kebijakannya,” kata Zainal.
Menteri Pertambangan dan Energi 1978-1988 Subroto dalam sambutannya mengatakan, menyusun kebijakan energi di Indonesia tidak bisa bersifat jangka pendek atau menengah, tetapi harus jangka panjang. Selain itu, ketersediaan energi di Indonesia harus mengoptimalkan semua jenis sumber daya. Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan juga tidak bisa dilakukan serta-merta, tetapi membutuhkan waktu dan modal.
”Indonesia tidak hanya berumur sampai 2025 atau 2050 seperti dalam target bauran energi pada Kebijakan Energi Nasional. Oleh karena itu, penyusunan kebijakan energi memerlukan kebijaksanaan dan harus jangka panjang,” ujar Subroto.
Target bauran energi nasional yang diatur dalam KEN menyebutkan, peran energi terbarukan pada 2025 sedikitnya 23 persen dari keseluruhan energi, yang dinaikkan menjadi 31 persen pada 2050. Sampai dengan 2019, peran energi terbarukan baru 9 persen dan dipandang berat merealisasikan target untuk 2025.
Perkembangan energi terbarukan di Indonesia kurang begitu menggembirakan. Rata-rata pertumbuhan energi terbarukan setiap tahun sekitar 500 megawatt atau hanya 2.500 megawatt dalam 5 tahun ke depan.
Sementara itu, peran minyak dan batubara dalam bauran energi nasional saat ini masih tinggi. Pada 2019, minyak berperan 33,58 persen dan batubara 37,15 persen. Padahal, target pada 2025, peran minyak diharapkan menjadi 25 persen dan batubara 30 persen.
Terobosan
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM FX Sutijastoto mengakui, perkembangan energi terbarukan di Indonesia kurang begitu menggembirakan. Rata-rata pertumbuhan energi terbarukan setiap tahun sekitar 500 megawatt atau hanya 2.500 megawatt dalam 5 tahun mendatang. Padahal, sampai 2025, Indonesia perlu tambahan sedikitnya 10.000 megawatt.
”Kita harus cari terobosan dengan cara luar biasa agar energi terbarukan tumbuh pesat dengan harga yang kompetitif. Secara teknis, kendala pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah dalam hal infrastruktur dan pendanaan,” ujar Sutijastoto.
Hal lain yang disoroti pembicara dalam webinar tersebut adalah kekosongan anggota DEN dalam setahun terakhir. DEN bertugas merancang dan merumuskan KEN untuk ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR, menetapkan Rencana Umum Energi Nasional, menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan bidang energi yang bersifat lintas sektor.