Isu Krusial Masih Mengambang, Hak Buruh Belum Terjamin
Pemerintah dan DPR merampungkan pembahasan isu ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Namun, sejumlah isu diserahkan kepada pemerintah untuk diatur lewat aturan turunan.
Oleh
Agnes Theodora / Rini Kustiasih
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Anggota dan pimpinan Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Rapat antara pemerintah dan DPR yang digelar secara maraton, Jumat (25/9/2020) hingga Minggu malam, merampungkan pembahasan daftar inventarisasi masalah dalam kluster ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja. Namun, beberapa isu krusial masih mengambang dan diserahkan kepada pemerintah untuk diatur melalui peraturan turunan.
Keputusan itu dikhawatirkan mengancam hak dan perlindungan pekerja. Isu yang diserahkan pada keputusan pemerintah, antara lain, aturan mengenai pesangon dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), pekerja kontrak dengan waktu tertentu (PKWT), dan pekerja alih daya (outsourcing).
Dalam rapat yang digelar secara maraton, pemerintah dan DPR memutuskan tidak menghapus syarat PKWT di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan mengatur, pekerja bisa dikontrak untuk waktu maksimal tiga tahun. Dalam draf RUU Cipta Kerja, ketentuan itu hendak dihapus sehingga berpotensi membuat pekerja dikontrak tanpa batas waktu.
Meski demikian, pengaturan detail mengenai jangka waktu syarat PKWT dan jenis-jenis pekerjaan yang tercakup di dalamnya akan diatur di dalam peraturan pemerintah (PP) dengan mempertimbangkan perkembangan situasi terkini. Demikian pula, pasal mengenai definisi dan syarat pekerja alihdaya disepakati untuk direformulasi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi dan dirumuskan lebih lanjut dalam PP.
”Pasal-pasal itu tidak dihilangkan, tetapi memang akan banyak diatur pemerintah dalam PP nantinya. Maka, bisa saja nanti masa kontrak (PKWT) menjadi empat tahun, bisa jadi tiga tahun atau berapa lama tergantung pemerintah,” kata anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi Partai Gerindra Obon Tabrani, Senin, dalam diskusi RUU Cipta Kerja yang diadakan secara daring di Jakarta, Senin (28/9/2020).
Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, aturan yang diserahkan kembali kepada pemerintah lewat PP akan membuat buruh sulit mengawal perkembangan pembahasan. Sebab, pembahasan PP selama ini umumnya dibuat oleh pemerintah secara sepihak dan tertutup.
Nining khawatir pemerintah tidak akan konsekuen merumuskan peraturan yang melindungi tenaga kerja kontrak. Kekhawatiran itu muncul karena ia merasa berbagai kritik dan penolakan dari publik selama ini tidak didengar pemerintah. Ada pula preseden perumusan draf awal RUU Cipta Kerja yang dilakukan secara tertutup tanpa konsultasi publik.
”Ketika pemerintah enggan mengatur dan bernegosiasi, biasanya akan diserahkan pada kesepakatan pengusaha dan pekerja. Tapi, pengusaha dan pekerja posisinya sudah tidak seimbang. Lagi-lagi, yang akan rugi adalah buruh,” kata Nining.
Sementara Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregat mengatakan, penyerahan pengaturan sejumlah pasal krusial ke PP akan memunculkan interpretasi subyektif pemerintah. ”Seharusnya dipastikan bahwa pasal-pasal itu tetap dicantumkan secara tegas di kluster ketenagakerjaan di UU,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Massa buruh turun ke jalan menuju depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020). Mereka menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja karena draf isinya dianggap tidak berpihak pada buruh dan juga menolak pemutusan hubungan kerja karena alasan pandemi Covid-19.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Nur Sholikin, tidak ada jaminan penyusunan PP nantinya akan melindungi hak-hak buruh. Apalagi, mengingat proses penyusunan rancangan PP umumnya dilakukan secara tertutup dan sepihak oleh pemerintah, tanpa melibatkan DPR dan publik.
”Ketika memberi cek kosong seperti itu kepada pemerintah, DPR tidak tegas membatasi dan memberikan perlindungan yang layak kepada pekerja. Ini membawa beban ketidakpastian baru lagi untuk pekerja. Padahal, sekarang ini satu-satunya check and balance ada di DPR,” katanya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya, mengatakan, sejumlah pasal jaminan perlindungan bagi buruh memang dikeluarkan dari UU dan diatur dengan PP, seperti batasan masa waktu pekerja kontrak selama tiga tahun. Demikian juga halnya dengan kewajiban negara menjamin sembilan kali gaji bagi buruh yang terkena PHK, juga akhirnya diatur melalui PP teknis pelaksanaannya.
Namun, DPR menjamin akan tetap mengawasi proses penyusunan rancangan PP tersebut. ”Semua itu akan diatur di dalam ketentuan penutup. Komitmen pemerintah tentu kami pegang. Harus ada jaminan itu dari pemerintah, dan DPR akan mengawasi,” ujarnya.
Menanggapi proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang tergesa-gesa, puluhan pimpinan konfederasi dan federasi serikat pekerja pun menyepakati mengadakan aksi mogok nasional untuk menolak RUU Cipta kerja. Mogok nasional akan dilakukan dengan aksi damai pada 6-8 Oktober 2020, tepat pada saat DPR dan pemerintah berencana mengesahkan RUU Cipta Kerja di rapat paripurna.
Beban pemerintah
Isu lain yang akan dirumuskan lewat PP adalah pesangon dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Pengaturan hak pesangon pekerja saat pemutusan hubungan kerja (PHK) disepakati tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni maksimal sebanyak 32 kali gaji. Sebelumnya, dalam draf awal RUU Cipta Kerja, pemberian pesangon hendak dikurangi menjadi maksimal 19 kali gaji pekerja. Ini menjadi salah satu poin yang paling banyak dikritik kalangan pekerja.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Massa aksi ”Gejayan Memanggil” membawa poster dan duduk berjarak dalam aksi unjuk rasa yang digelar di Jalan Affandi Gejayan, Kabupaten Sleman, DIY, Kamis (16/7/2020). Tuntutan dalam aksi tersebut adalah menggagalkan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Agar tidak menyulitkan pengusaha dan tetap melindungi pekerja, pemerintah diputuskan akan menanggung pembayaran sembilan kali gaji melalui skema asuransi jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Sementara pengusaha membayarkan 23 kali gaji. Pengaturan lebih detail mengenai skema kepesertaan beserta besarannya disepakati untuk diatur dalam rancangan PP.
Dalam rapat muncul keraguan dari DPR bahwa negara memiliki ruang fiskal yang cukup longgar untuk ikut menanggung kewajiban pengusaha.
Dalam rapat Panja RUU Cipta Kerja muncul keraguan dari DPR bahwa negara memiliki ruang fiskal yang cukup longgar untuk ikut menanggung kewajiban pengusaha. Apalagi, di tengah pandemi ketika defisit APBN semakin melebar dan kasus PHK semakin banyak muncul. Kendati demikian, mayoritas anggota DPR meminta agar pemerintah bisa meringankan beban pekerja dengan mengambil alih tanggungan iuran kepesertaan JKP.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, negara akan menanggung premi iuran, tetapi dengan mempertimbangkan ruang fiskal APBN dan mengoptimalkan dana yang sudah dikelola BP Jamsostek. Pemerintah juga masih perlu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk mengecek kemampuan ruang fiskal negara menanggung pesangon pekerja.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, keputusan ini menjadi jalan tengah yang tidak memberatkan pengusaha ataupun pekerja. ”Pemerintah dan pengusaha saling berbagi beban sehingga kehadiran negara ada untuk memberikan jaminan kepastian untuk pekerja,” kata Supratman.