Hadapi Tiga Guncangan, Perekonomian RI Diproyeksikan Tumbuh Minus 2 Persen
Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif 1,6 persen sampai dengen negatif 2 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemiskinan jadi ancaman jangka panjang.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia, untuk kedua kalinya pada tahun ini, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020. Perekonomian RI diproyeksikan tumbuh negatif 1,6 persen, bahkan negatif 2 persen dalam skenario buruk.
Indonesia menghadapi tiga guncangan sekaligus.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo mengatakan, negara-negara berkembang kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, dihadapkan pada situasi yang kompleks. Selain pandemi Covid-19, guncangan ekonomi bersumber dari dampak pembatasan wilayah dan kegiatan serta ancaman resesi global.
”Beberapa negara sudah mulai bangkit karena berhasil mengatasi penyebaran virus. Namun, perekonomian domestik sangat bergantung pada kawasan dan global. Saat ini permintaan di tingkat global masih lemah,” kata Mattoo dalam telekonferensi pers proyeksi ekonomi Asia Timur dan Pasifik, Selasa (29/9/2020).
Selain pandemi Covid-19, guncangan ekonomi bersumber dari dampak pembatasan wilayah dan kegiatan serta ancaman resesi global.
Bank Dunia dalam laporan proyeksi pertumbuhan ekonomi edisi Oktober 2020 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik dan Timur di luar China terkontraksi 3,5 persen pada 2020. Bahkan, proyeksi itu menyebutkan, kontraksi bisa lebih dalam, yakni negatif 4,8 persen, dalam skenario terburuk.
Hampir semua negara di kawasan Asia Pasifik dan Timur—selain China—tumbuh negatif, kecuali Vietnam yang tumbuh positif, berkisar 1,5-2,8 persen. Indonesia termasuk negara yang masuk ke dalam zona negatif.
Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh negatif 1,6 persen sampai dengan negatif 2 persen. Pada rilis Juni lalu, Indonesia masih diproyeksikan tumbuh 0 persen.
Dalam laporannya, Bank Dunia memperingatkan, pandemi Covid-19 berisiko mengurangi pertumbuhan kawasan selama satu dekade mendatang sebesar 1 persen per tahun. Dampak paling besar akan dirasakan keluarga miskin yang akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan keuangannya terbatas.
Mattoo mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemiskinan menjadi ancaman jangka panjang yang akan dihadapi negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Angka kemiskinan di kawasan akan meningkat untuk pertama kali dalam 20 tahun. Penduduk miskin diperkirakan bertambah 38 juta orang.
Perekonomian diperkirakan mulai pulih pada 2021, tetapi trajektori setiap negara akan berbeda. Indonesia akan kembali tumbuh positif tahun depan dengan proyeksi pada kisaran 3-4 persen. Perbaikan ekonomi tergantung dari keberhasilan penanganan Covid-19 dan reformasi ekonomi domestik.
”Prioritas saat ini menjamin sekolah aman untuk menjaga modal manusia; memperluas basis pajak yang sempit untuk menghindari pemotongan investasi publik; dan mereformasi sektor-sektor layanan yang dilindungi untuk mendapatkan manfaat dari berbagai peluang digital yang muncul,” ujar Mattoo.
Pekan lalu, pemerintah kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 menjadi kisaran negatif 1 persen sampai dengan negatif 2,9 persen. Dengan demikian, Indonesia dipastikan masuk jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi masih terjebak dalam zona negatif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan ekonomi belum bisa bangkit dari zona negatif karena konsumsi rumah tangga masih belum pulih. Di sisi lain, kinerja investasi, ekspor, dan impor terkontraksi semakin dalam. Penopang perekonomian hanya belanja pemerintah.
Risiko sosial ekonomi dan keuangan akibat pandemi Covid-19 masih nyata. Beberapa provinsi besar di Indonesia mengalami peningkatan kasus, antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Peningkatan kasus di provinsi-provinsi besar itu akan memengaruhi kinerja perekonomian nasional.
”Titik keseimbangan (antara ekonomi dan kesehatan) terus dicari karena Covid-19 akan tetap bersama kita, tidak akan berhenti sekarang, masih sampai akhir tahun, bahkan mungkin hingga 2021, tergantung kapan vaksin ditemukan,” kata SrI Mulyani.