Biogas adalah sumber energi terbarukan yang murah dan berkelanjutan. Sayangnya, banyak kendala pada program ini sehingga pertumbuhannya lamban.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program biogas di Indonesia sulit berkembang dan realisasinya jauh dari target yang ditetapkan. Mahalnya biaya investasi instalasi biogas menjadi salah satu alasan penyebab lambannya pertumbuhan biogas. Dari target kapasitas terpasang 131,9 juta meter kubik tahun 2020, sampai 2019 baru terpasang 26,28 juta meter kubik.
Biogas untuk rumah tangga di Indonesia banyak dimanfaatkan sebagai pengganti elpiji, minyak tanah, atau kayu bakar. Dengan memanfaatkan limbah rumah tangga dan kotoran ternak, melalui proses fermentasi atau dekomposisi dalam reaktor sederhana, gas dihasilkan dan dialirkan ke kompor-kompor biogas. Kandungan utama biogas adalah metana, karbon dioksida, hidrogen, dan nitrogen.
Menurut Direktur Bioenergi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, selain investasi yang dianggap mahal oleh masyarakat, pendanaan untuk program biogas juga terbatas. Penggunaan biogas juga dipandang kalah praktis dibandingkan dengan menggunakan tabung elpiji. Selain itu, perlu sinkronisasi program pengembangan biogas antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta.
”Perlu dilakukan kajian skema pendanaan untuk mendukung pengembangan program ini. Beberapa skema yang bisa diambil adalah optimalisasi dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) ataupun lewat Kementerian Koperasi dan UKM dengan fasilitas kelembagaan koperasi,” kata Andriah dalam webinar bertajuk ”Membangun Peta Jalan Bersama untuk Sektor Biogas Berkelanjutan di Indonesia”, Senin (28/9/2020).
Program biogas berhasil menciptakan lapangan kerja baru bagi 1.432 orang. Program biogas juga dapat menciptakan model bisnis baru bagi UMKM ataupun UKM.
Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Energi Rebekka Angelyn mengatakan, dalam kajian yang dilakukan pada 2019, penggunaan biogas bisa menghemat belanja bahan bakar penggunanya hingga Rp 50.000 per bulan. Di samping itu, program biogas berhasil menciptakan lapangan kerja baru bagi 1.432 orang. Program biogas juga dapat menciptakan model bisnis baru bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ataupun usaha kecil dan menengah (UKM).
”Kami sudah mengadvokasi ke Kementerian Desa PDTT untuk memasukkan program pengembangan biogas menggunakan dana desa. Biogas adalah tentang pemanfaatan energi bersih dan terbarukan yang dapat mengurangi emisi langsung sebanyak 273.669 ton gas CO2 pada 2019. Penggunaan biogas juga menambah pendapatan penggunanya dari penjualan limbah biogas untuk pupuk senilai Rp 330.000 per bulan,” ujar Rebekka.
Yayasan Rumah Energi adalah pelaksana Program Biogas Rumah Tangga (Biru) yang diinisiasi Hivos dan Kementerian ESDM sejak 2009 lalu. Program Biru fokus pada pendistribusian penggunaan energi terbarukan melalui pemanfaatan biogas sebagai sumber energi dan pemanfaatan limbah biogas (bioslurry) sebagai pupuk alami. Dalam program ini sudah terpasang 24.960 unit biogas yang tersebar di 2.744 desa di 136 kabupaten dan kota yang ada di 12 provinsi.
Kalau peternak hanya memiliki sapi satu atau dua ekor, memiliki biogas tidak menjadi prioritas. Apalagi, investasi pemasangan biogas terbilang mahal bagi mereka.
Sementara itu, menurut Manajer Umum Koperasi Agro Niaga Jabung Syariah, Jawa Timur, yang merupakan mitra pengembangan Program Biru, Eva Marliyanti, dari ratusan biogas yang sudah dibuat, sejauh ini ada 45 unit yang tak terpakai. Penyebabnya adalah pemilik biogas tersebut tidak lagi menjadi peternak. Ternak sapi mereka dijual untuk kebutuhan ekonomi yang lebih mendesak.
”Kalau peternak hanya memiliki sapi satu atau dua ekor, memiliki biogas tidak menjadi prioritas. Apalagi, investasi pemasangan biogas terbilang mahal bagi mereka. Pada 2009, biaya pemasangan biogas dengan kapasitas 6 meter kubik Rp 4,7 juta. Kini harganya naik menjadi Rp 11,5 juta. Itu bukan biaya yang murah bagi peternak,” ucap Eva.
Menurut konsultan Hivos, Robert de Groot, pengembangan biogas di Indonesia punya prospek tinggi untuk daerah yang belum terjangkau elpiji, seperti di Nusa Tenggara Timur. Untuk wilayah yang akses terhadap elpiji sedang dan punya prospek tinggi terhadap pengembangan biogas ada di Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, tidak mudah bagi biogas untuk bersaing dengan elpiji yang disubsidi negara.