Pembahasan RUU Cipta Kerja memasuki babak akhir. Namun, sebelum mengesahkannya jadi undang-undang, dampak negatif jangka panjang mesti dihitung dengan matang agar tidak justru menjadi bumerang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Anggota dan pimpinan Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berlanjut dan menyisakan kluster ketenagakerjaan. Setelah masalah terkait persaingan usaha, paten, dan pembentukan lembaga pengelola investasi selama delapan jam, Jumat (25/9/2020), pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melanjutkan pembahasan poin-poin inventarisasi masalah di kluster ketenagakerjaan. Hingga pukul 21.00, pembahasan belum berakhir.
Sebelum pembahasan kluster ketenagakerjaan, DPR menggelar rapat tertutup dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu unsur pimpinan DPR, pimpinan Badan Legislasi (Baleg), dan perwakilan tiap fraksi di DPR.
Anggota Baleg DPR, Hendrawan Supratikno, mengatakan, dalam pertemuan itu, DPR dan pemerintah berkonsolidasi untuk mulai membahas kluster ketenagakerjaan. ”Intinya, kami sepakat untuk tidak mengubah norma yang sebelumnya sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk isu lain, masih terbuka didiskusikan,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, pembahasan di tingkat panitia kerja sudah mencapai 95 persen. Beberapa aspek sudah mengalami perubahan substansial dibandingkan dengan rancangan awal pemerintah. ”Ada beberapa materi yang muatan awalnya tidak sesuai dan selaras dengan UUD, termasuk perdebatan soal kewenangan pemerintah daerah yang tadinya mau ditarik ke pusat. Jadi, perubahannya sudah banyak,” kata Supratman.
Terkait dengan target waktu pengesahan, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, hal itu masih dinamis karena tergantung dari dinamika pembahasan di tim perumus dan tim sinkronisasi. Namun, sebelumnya, DPR sempat berencana merampungkannya sebelum masa reses pada pertengahan Oktober 2020.
Tidak efektif
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, pengesahan RUU Cipta Kerja secara terburu-buru di tengah pandemi tidak akan efektif memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi.
Ia menilai, kehadiran RUU itu justru akan menjadi bumerang yang memancing resistensi publik. Saat ini sudah ada pihak-pihak yang menyiapkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kelompok pekerja/buruh juga berpotensi untuk turun ke jalan menggelar unjuk rasa.
Dinamika yang tinggi terkait RUU Cipta Kerja juga dikhawatirkan memecah fokus penanganan Covid-19 dan membuat pemulihan ekonomi. ”Tidak ada investasi yang mau masuk jika kasus Covid-19 masih tinggi. Kalaupun ada, belum tentu membawa dampak berganda. Memang, ada banyak pihak berharap RUU ini segera disahkan, tetapi dampak jangka panjangnya harus diperhatikan agar tidak berbalik jadi bumerang,” kata Faisal.
Ia menyoroti banyaknya rancangan peraturan pemerintah yang masih harus disiapkan. Namun, saat ini pemerintah sudah membahas rancangan peraturan turunan secara paralel di setiap kementerian/lembaga. Hal itu dikhawatirkan menambah persoalan karena dibahas tertutup dan tergesa-gesa.
”Pembahasan sepenting ini jangan dilakukan di dalam ruang gelap dan mengesampingkan kepentingan orang banyak. Hal-hal seperti ini ke depan bisa menciptakan resistensi meskipun RUU ini nantinya disahkan sesuai target,” katanya.
Pembahasan yang tergesa-gesa juga dikhawatirkan menciptakan hubungan industrial yang tidak sehat. Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Jumisih mengatakan, kasus perburuhan sudah meningkat drastis di tengah pandemi. Jika UU Cipta Kerja diberlakukan, posisi tawar dan kesejahteraan buruh semakin terancam.
”Nilai pesangon dikurangi, uang penghargaan masa kerja dikurangi, PHK (pemutusan hubungan kerja) lebih mudah. Hal ini justru melegitimasi tindakan pengusaha untuk semena-mena mem-PHK pekerjanya,” kata Jumisih.
Peraturan turunan
Menurut Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi, RUU Cipta Kerja diharapkan bisa memulihkan ekonomi pada era pandemi. Indonesia, ujarnya, sudah tertinggal jauh dari negara Asia Tenggara lainnya dari segi kemudahan berusaha dan pelayanan birokrasi.
Lewat RUU Cipta Kerja, Indonesia diharapkan lebih berdaya saing dalam perebutan investasi di tengah pandemi. ”Dengan RUU ini, kita melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Ini yang bisa mendorong ekonomi kita ke depan. RUU ini menjadi instrumen transformasi ekonomi kita,” kata Elen.
Agar RUU Cipta Kerja langsung efektif diterapkan, pemerintah lewat kementerian/lembaga sudah menyiapkan peraturan pelaksana. Rancangan peraturan itu dibahas secara paralel dengan pembahasan RUU di DPR. ”Sesuai arahan Presiden, begitu RUU disetujui, peraturan pelaksana sudah harus keluar dalam jangka waktu 30 hari. Ini pekerjaan luar biasa karena sebelum ini belum pernah diselesaikan secepat itu,” katanya.