Transformasi digital yang semakin dipercepat dengan pandemi Covid-19 juga menuntut adanya transformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin dinilai harus mampu membangun sistem yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang mengakselerasi transformasi digital juga menuntut adanya transformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki pola pikir digital dengan melakukan kolaborasi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Direktur Human Capital dan Kepatuhan PT Bank Negara Indonesia (BNI) (Persero) Tbk Bob Tyasika Ananta menyampaikan, semua pihak saat ini menghadapi volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas yang semakin dipercepat oleh teknologi dan industri 4.0. Bisa dikatakan, dunia sedang memasuki turbulensi yang didorong aspek teknologi.
”Semua ini sebenarnya sudah kita alami jauh-jauh hari. Sampai akhirnya datang Covid-19 yang kemudian menjadi chief of transformation (kepala transformasi) sehingga menyebabkan ketidakpastian sekaligus memberikan tekanan dan peluang perkembangan digital,” kata Bob, Jumat (25/9/2020).
Paparan ini dibahas dalam webinar ”Digital and Holistic Leadership”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Institut dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar serta Fasilitator Pembelajaran Senior United in Diversity Frans Sugiarta.
Bob melanjutkan, sebagai upaya menghadapi Covid-19 sebagai chief of transformation, seorang pemimpin harus memiliki pola pikir digital dengan melakukan kolaborasi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Upaya ini guna menciptakan pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada kesejahteraan manusia dan kelestarian alam.
Senada dengan itu, Sukarela Batunanggar menyampaikan, pembangunan berkelanjutan sangat penting bagi manusia sebagai individu, bangsa, bahkan komunitas global. Pemimpin harus memiliki daya tahan untuk selalu bangkit dalam proses transformasi.
Menurut Batunanggar, karakteristik seorang pemimpin yang paling dibutuhkan saat ini ialah selalu berpikir kritis serta terbuka dan berani mencoba hal-hal baru. Selain itu, pemimpin perlu mengenali diri secara utuh, berintegritas, dan berjiwa sosial untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
”Semua ini tidak dapat dipelajari hanya dari teori, tetapi harus diimplementasikan. Kita harus mengosongkan diri dari nilai-nilai buruk dan mengisinya dengan nilai-nilai positif sehingga dapat bermanifestasi dan memberikan harapan serta solusi,” kata Batunanggar.
Kerusakan hubungan
Berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, Frans Sugiarta menjelaskan, ada 17 tujuan yang menjadi fokus dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs). Namun, ketika melihat dalam perspektif sistem terlihat ada kesenjangan atau kerusakan dalam membangun hubungan dengan sesama yang ditandai dengan semakin lebarnya jurang ketimpangan.
Kerusakan pun terjadi dalam hubungan dengan alam karena generasi sekarang sudah menggunakan 50 persen lebih jatah pohon-pohonan bagi generasi mendatang. Hubungan dengan pencipta turut mengalami kerusakan yang dapat dilihat dari kasus-kasus pembunuhan serta bunuh diri.
”Hal yang mengejutkan, ketiga hal ini sudah ada dalam kultur kita. Kalau mau kembali mendapatkan kebahagiaan, kita harus beresin dulu hubungan dengan sesama, alam, dan pencipta,” kata Frans.
Untuk itu, tugas pemimpin adalah menciptakan sistem transformasi dengan cara kembali melihat, menilai, menggambarkan, dan mendesain ulang kehidupan kita. Sistem ini dapat terwujud dengan memusatkan kepemimpinan pada inovasi, sirkular ekonomi, dan berbelas kasih untuk meningkatkan kesejahteraan sesama.
Pemimpin Indonesia abad ke-21, kata Frans, setidaknya harus memiliki kapasitas mengelola Big Data dan memanfaatkan teknologi terkini, memiliki hubungan baik dengan sesama dan sikap gotong-royong, memiliki kemampuan berpikir dan mengambil keputusan strategis dalam perspektif ekosistem, serta mampu membangun dialog, bukan debat.
”Seorang pemimpin harus terbuka dalam pikiran, hati, dan tindakan. Era sekarang, persoalannya bukan lagi soal tahu atau tidak, melainkam tahu atau bertindak,” ucap Frans.
Kerja sama
Dalam rilis World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) berjudul ”Leaders Rally for a ’Great Reset’ to Achieve Global Goals” yang terbit pada Kamis (24/9) disampaikan, pandemi global menunjukkan dunia sangat membutuhkan model baru untuk kerja sama global. Kolaborasi publik dan swasta diperlukan lebih dari sebelumnya untuk mencapai tujuan global.
Para pemimpin menyerukan kepada pemerintah, sektor usaha, dan masyarakat sipil untuk menciptakan jenis kerja sama baru guna mengatasi Covid-19 dan krisis iklim. Seruan ini disampaikan dalam sesi penutupan Konferensi Tingkat Tinggi Dampak Pembangunan Berkelanjutan keempat dari Forum Ekonomi Dunia.
Untuk mencapai SDGs, para diplomat mendesak pemimpin setiap negara untuk memanfaatkan kesempatan Great Reset, ide yang diperjuangkan oleh Klaus Schwab, pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia. Konsep globalisasi perlu didefinisikan ulang.
Menteri Luar Negeri India,Subrahmanyam Jaishankar menyampaikan, ”corona anywhere is corona everywhere”. Covid-19 kini hadir bersamaan dengan isu-isu lain, termasuk terorisme dan perubahan iklim.
”Pandemi Covid-19 ini memaksa kita untuk merevisi pengertian tentang apa sebenarnya yang dimaksud globalisasi. Perlu ada perluasan fokus pada perdagangan, investasi, dan arus modal,” katanya.
Menteri Kerja Sama Internasional Mesir, Rania A al-Mashat menyampaikan, setiap orang di setiap negara kini harus menjadi bagian dari solusi kolektif. Meskipun banyak kekurangan dan kesulitan dalam menangani hal-hal tertentu dalam pandemi, kita semua memiliki kesempatan untuk belajar satu sama lain.
”Terlebih, kini masih terdapat kesenjangan investasi dan digital di semua negara Dunia Selatan, termasuk Mesir yang juga dapat dilihat sebagai peluang dan pendorong inovasi. Untuk itu, kita masih bisa lebih efektif dalam menjalin kemitraan global yang bekerja sama melalui kerangka multilateral,” ujar Al-Mashat.