Saatnya Menunjukkan Konsistensi, Bukan Menoleransi Pelanggaran
Pelanggaran aturan mesti dikenai sanksi. Pelanggaran yang ditoleransi menunjukkan sikap inkonsisten pemerintah.
Oleh
BM Lukita Grahadayrini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Izin ekspor 14 perusahaan dibekukan sementara. Mereka tidak boleh mengekspor benih bening lobster karena melanggar aturan.
Pembekuan izin berlaku selama kasus dugaan manipulasi data dalam dokumen ekspor benih lobster diverifikasi Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM KKP). Laporan Bea dan Cukai terkait kasus tersebut juga masih ditunggu.
Kasus bermula dari pencegahan ekspor benih bening lobster oleh Kantor Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dokumen ekspor 14 perusahaan menyebutkan 1,5 juta ekor benih lobster. Namun, benih yang akan dikirim sebanyak 2,7 juta ekor atau ada 1,2 juta ekor yang tidak dilaporkan di dalam dokumen.
Kasus ini dilimpahkan Bea dan Cukai ke kepolisian. Komisi IV DPR mendesak pemerintah mencabut izin ekspor 14 perusahaan itu. Di dalam rapat dengan Komisi IV DPR, Selasa (22/9/2020), KKP menyatakan akan mencabut izin ekspor 14 perusahaan.
Namun, Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster Kementerian Kelautan dan Perikanan Andreau Misanta menyatakan, dari 14 perusahaan itu, tidak semuanya menyalahi aturan pengiriman ekspor benih lobster. Jika terbukti melanggar, mereka dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan izin ekspor.
”Kita menunggu hasil pengecekan akhir dari Bea Cukai dan validasi dari Badan Karantina KKP,” katanya, Kamis (24/9/2020). Ia juga menjelaskan soal pembekuan sementara izin ekspor perusahaan.
Jika terbukti melanggar, mereka dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan izin ekspor.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyatakan, pemerintah inkonsisten jika menoleransi pelanggaran dan pelakunya.
”Sejumlah persoalan membuktikan kebijakan ekspor benih itu bermasalah dan seharusnya dicabut. Pemerintah seharusnya mendorong pengembangan budidaya lobster dan bukan menitikberatkan ekspor benih yang ternyata menuai banyak masalah,” katanya.
Persoalan itu, antara lain, keluhan dari pembudidaya yang kesulitan mencari benih lobster sejak izin ekspor benih dibuka.
Abdi mengingatkan, penolakan kebijakan ekspor benih lobster juga sudah disuarakan sejumlah organisasi keagamaan. Pada Agustus 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan penolakan terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka keran ekspor benih lobster. Kebijakan itu dinilai sebagai pengabaian dan pengingkaran terhadap moralitas konstitusi.
Pemerintah seharusnya mendorong pengembangan budidaya lobster dan bukan menitikberatkan ekspor benih yang ternyata menuai banyak masalah.
Sebelumnya, PBNU juga merilis Hasil Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU No 06/2020 tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster pada 4 Agustus 2020. PBNU meminta ekspor benih bening lobster dihentikan karena mempertimbangkan keberlangsungan biota laut dan dampaknya bagi nelayan penangkap benih lobster yang didominasi warga NU.
Sementara itu, dari Jawa Timur, kepolisian resor Trenggalek menahan dua nelayan terkait dugaan penyelundupan 38.200 benih lobster.
Kepala Kepolisian Resor Trenggalek Ajun Komisaris Besar Doni Satria Sembiring menyatakan, tersangka JA dan AB ditangkap sepekan lalu saat mengangkut benih dengan minivan di Jalan Raya Panggul, Trenggalek, Jawa Timur.
”Kedua tersangka adalah warga Kecamatan Munjungan, Trenggalek,” katanya, saat dihubungi dari Surabaya, Kamis.
Menurut Doni Sembiring, dua nelayan itu ditahan karena mengangkut benih lobster tanpa surat keterangan asal benih (SKAB). ”Selain tidak dilengkapi SKAB, kelompok usaha bersama mereka juga tidak sesuai dengan asal pengambilan benih di tingkat nelayan,” kata Doni Sembiring.