Selain ditopang suku bunga rendah, pemulihan ekonomi juga akan optimal jika pemerintah lebih gencar menyalurkan bantuan sosial pada semester II-2020.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren suku bunga rendah dapat menjadi pengungkit bagi upaya pemulihan ekonomi nasional yang mencoba bangkit dari jurang resesi. Agar proses pemulihan ekonomi bisa optimal, tren ini harus ditopang oleh kecepatan transmisi suku bunga acuan terhadap suku bunga perbankan.
Pemerintah kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 menjadi kisaran negatif 1 hingga negatif 2,9 persen. Oleh karena itu, Indonesia dipastikan masuk ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi terjebak di zona negatif selama dua triwulan berturut-turut. Pada triwulan II-2020, perekonomian tumbuh minus 5,32 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang diproyeksi akan berada pada level rendah hingga dua tahun ke depan dapat dimaksimalkan untuk pemulihan ekonomi, khususnya pelaku sektor riil yang terdampak pandemi.
Pemicu dari berlangsungnya tren suku bunga rendah dalam beberapa waktu ke depan di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua triwulan beruntun tahun ini, serta proyeksi masih lemahnya permintaan konsumsi sepanjang pandemi Covid-19 belum berakhir.
”Tren bunga rendah bisa menjadi salah satu instrumen yang mempercepat pemulihan ekonomi karena memberikan peluang untuk bertumbuh di tengah era inflasi yang juga rendah,” ujarnya dalam Mandiri Economic Outlook yang berlangsung secara virtual, Kamis (24/9/2020).
Tren bunga rendah bisa menjadi salah satu instrumen yang mempercepat pemulihan ekonomi karena memberikan peluang untuk bertumbuh di tengah era inflasi yang juga rendah.
Menurut Andry, BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga sebanyak 25 basis poin menuju level 3,75 hingga tahun depan. Selain karena tren inflasi rendah, ruang penurunan suku bunga juga terbentuk seiring dengan sinyal bank sentral AS, The Fed, yang masih menahan suku bunga hingga 2021.
Namun, otoritas juga tetap perlu memastikan agar transmisi bunga acuan terhadap suku bunga perbankan bebas hambatan. Pasalnya, jika proses transmisi berlangsung lambat, kinerja intermediasi perbankan di saat permintaan kredit mulai bangkit pada periode setelah pandemi tidak akan optimal.
Selain suku bunga yang rendah, lanjut Andry, pemulihan ekonomi bisa lebih optimal jika pemerintah lebih gencar dalam menyalurkan bantuan sosial tunai dibandingkan dengan paruh pertama 2020. Dorongan belanja pemerintah di sisa akhir tahun ini pun diyakini dapat kembali membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke teritori positif pada triwulan IV-2020.
”Meski pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 berpotensi positif, resesi akibat dua triwulan sebelumnya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan berada pada kisaran minus 2 persen hingga 0 persen,” ujarnya.
Meski pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 berpotensi positif, resesi akibat dua triwulan sebelumnya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan berada pada kisaran minus 2 persen hingga 0 persen.
Andry menegaskan, proses pemulihan ekonomi baru akan optimal jika kasus penularan Covid-19 dapat diredam. Apabila risiko pandemi menurun, optimisme konsumsi masyarakat akan pulih. Selain itu, aliran dana asing juga bisa kembali masuk meski tren suku bunga masih berada dalam level yang rendah.
VP Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani berpendapat, kesehatan masyarakat menjadi syarat utama untuk dapat mendorong pemulihan ekonomi. ”Untuk memulihkan ekonomi, kita harus disiplin menjalankan protokol kesehatan meski implikasinya adalah proses pemulihan tidak bisa berlangsung cepat,” ujarnya.
Menurut Dendi, akses terhadap digitalisasi terbukti ampuh membantu kinerja sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Digitalisasi ini penting untuk mengakali penerapan pembatasan sosial sebagai salah satu elemen protokol kesehatan.
Berdasarkan survei Mandiri Institute, sebanyak 9 persen dari UMKM yang memiliki akses digital mengalami kenaikan omzet usaha. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan UMKM tanpa akses digital yang omzetnya hanya 4 persen.
Kredit dan restrukturisasi
Untuk membangkitkan perekononomian nasional secara solid dengan tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperpanjang periode kebijakan restrukturisasi kredit. Kebijakan restrukturisasi kredit itu diatur dalam Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Kontra Siklus Dampak Penyebaran Covid-19.
Namun, hingga kini, belum ada ketentuan yang mengatur perpanjangan periode akan dilakukan berapa lama. Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, penentuan perpanjangan periode restrukturisasi harus berlandaskan pada penilaian yang terukur untuk memastikan debitor-debitor yang mendapatkan restrukturisasi berhasil bangkit kembali.
Berdasarkan beleid sebelumnya, relaksasi restrukturisasi kredit berlangsung selama satu tahun atau hingga 31 Maret 2021.
”Saat ini, kan, (periode restrukturisasi) masih tersisa enam bulan ke depan sehingga bank harus manfaatkan ini untuk mengukur kemampuan debitornya,” kata Anto.
OJK mencaat, hingga 7 September 2020, restrukturisasi kredit telah dilakukan terhadap 7,38 juta debitor dengan total nilai kredit Rp 884,5 triliun. Keringanan kredit itu diberikan kepada 5,82 juta pelaku UMKM senilai Rp 360,6 triliun dan 1,56 juta debitor non-UMKM senilai Rp 523,9 triliun. Adapun realisasi restrukturisasi perusahaan pembiayaan senilai Rp 166,94 triliun dari 4,55 juta kontrak pembiayaan dari perusahaan pembiayaan.
OJK juga memantau pengelolaan penempatan dana pemerintah ke perbankan umum, baik kelompok Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) sebesar Rp 30 triliun maupun kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar Rp 11,5 triliun. Per 14 September 2020, realisasi penyaluran kredit atas penempatan dana Himbara senilai Rp 119,8 triliun, sedangkan kelompok BPD per 16 September 2020 telah menyalurkan kredit senilai Rp 7,4 triliun.