Kesejahteraan petani dinilai menjadi isu krusial terkait masa depan pertanian Indonesia. Tanpa orientasi pada kesejahteraan, sektor ini bakal makin ditinggalkan dan kehilangan daya tarik.
Oleh
M Paschalia Judith J/M Kurniawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pamor sektor pertanian makin redup, tecermin dari usia petani yang menua, lahan pertanian yang kian susut, serta turunnya kontribusi pada perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Kesejahteraan pelaku utamanya, yakni petani, peternak, pembudidaya, dan nelayan, mesti jadi orientasi agar pertanian tetap memiliki daya pikat.
Keuntungan usaha menjadi daya tarik alami. Namun, pada praktiknya, para pelaku usaha, khususnya petani, peternak, pembudidaya, atau petambak skala kecil, berulang rugi karena harga hasil panennya anjlok atau tidak terserap pasar. Situasi ini, antara lain, dialami oleh peternak unggas, petani tebu, dan petambak garam beberapa tahun terakhir. Hingga pekan ini, problem ini masih terjadi.
Segenap tekanan itu membuat sebagian pelaku usaha skala kecil bangkrut dan gulung tikar. Dalam jangka panjang, situasi ini menyurutkan peran sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, peran sektor pertanian mencapai 12,72 persen dalam produk domestik bruto (PDB) tahun 2019, turun dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 13,93 persen.
Kontribusi sektor pertanian dalam lapangan kerja juga turun. Pada tahun 2000, sektor pertanian menyerap 40,6 juta orang atau 45,2 persen penduduk berusia kerja. Namun, porsinya turun menjadi 29,4 persen dari total 129,3 juta penduduk bekerja pada tahun 2019.
Redupnya daya tarik sektor pertanian terlihat dari usia petani yang menua. Porsi petani berusia lebih dari 55 tahun, misalnya, bertambah dari 32,7 persen dari total 26,1 juta petani tahun 2013 menjadi 37,4 persen dari total 27,6 juta petani tahun 2018. Adapun porsi petani berumur 25-34 tahun turun dari 11,9 persen jadi 9,8 persen selama kurun itu.
Problem lahan
Soal penguasaan lahan menjadi problem yang belum terselesaikan di hulu. Sensus pertanian merekam gejala makin sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Sensus pertanian tahun 2013 mencatat, jumlah petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 14,2 juta petani atau 55,2 persen dari total rumah tangga petani. Namun, pada survei antarsensus tahun 2018, jumlahnya bertambah jadi 15,8 juta petani atau 58 persen dari total petani.
Selain jumlah petani gurem yang bertambah, konsentrasi lahan dan rumah tangga petani yang lebih dari 50 persen di Pulau Jawa juga menjadi persoalan. Sebab, selain tekanan penduduk, Jawa masih menjadi pusat produksi sejumlah produk pangan, seperti beras, gula, daging dan telur ayam, susu sapi, jagung, dan kedelai.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi, saat dihubungi, Rabu (23/9/2020), ”guremisasi” merupakan salah satu persoalan produksi pangan yang mesti diatasi di hulu. Fakta ini mengkhawatirkan karena semakin banyak petani dengan luas lahan di bawah skala ekonomi minimal.
Menurut Bayu, petani sulit memperoleh pendapatan yang layak karena hanya menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar. Oleh karena itu, perlu intervensi kebijakan yang bersifat intensifikasi. Selain itu, petani perlu didorong untuk meningkatkan nilai tambah dalam rangkaian kegiatan pertanian, antara lain, dengan tidak hanya menjual gabah, tetapi juga menir, sekam, dan jerami.
Dukungan khusus perlu diberikan langsung kepada petani. Dukungan itu mulai dari pendidikan dan pelatihan, pendanaan, teknologi, infrastruktur, pendampingan, penjaminan pasar, hingga pemberian subsidi. Infrastruktur dikembangkan mulai dari jalan, air bersih, listrik, hingga internet.
Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania, penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar membuat proses bercocok tanam menjadi tidak efisien. Hal ini turut membuat akses permodalan bagi petani semakin kecil.
Tak hanya lahan sempit, dia menyatakan, posisi tawar petani kian lemah karena rantai pasok produk yang panjang untuk sampai ke konsumen, sebagaimana terjadi pada komoditas beras. Akibatnya, petani tidak menikmati keuntungan yang optimal.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono menilai, pandemi Covid-19 memengaruhi produksi, produktivitas, hingga distribusi bahan pangan sehingga berdampak kepada petani. Kesejahteraan petani ikut terdampak.
”Ada sejumlah bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengurangi tekanan yang dialami petani, misalnya relaksasi kredit usaha rakyat pertanian, subsidi pertanian, menggerakkan pasar mitra tani dalam penyerapan produk pertanian, serta subsidi transportasi bahan pangan dari daerah surplus ke daerah defisit,” tuturnya pada ulang tahun ke-49 Kontak Tani Nelayan Andalan yang digelar secara daring, Rabu.
Komprehensif
Segenap persoalan yang membelit sektor pertanian dinilai bisa diatasi dengan solusi yang komprehensif dan kolaborasi multisektor usaha. Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya—badan usaha bidang pangan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—Arif Prasetyo Adi, dalam diskusi tentang pangan yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Jumat (4/9/2020), menilai, egosektoral antar-kementerian dan lembaga masih terlihat.
”Padahal, (problem pertanian) mesti ditangani secara komprehensif, hulu hingga hilir menjadi satu kesatuan. Selain itu, para pelaksananya mesti berintegritas,” ujarnya.
Kementerian Pertanian, misalnya, mesti seiring dengan Kementerian Perdagangan. Ketika problem produksi di hulu teratasi, problem di pasar atau konsumen di hilir juga mesti diatasi. Ketidaksinkronan hulu dan hilir membuat pelaku di seluruh rantai terdampak.
Selain sejumlah problem tersebut, kebijakan perdagangan dinilai berpengaruh pada kesejahteraan petani dalam negeri. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam keterangannya menyatakan, petani kecil semakin sengsara oleh liberalisasi perdagangan.
Kuatnya pengaruh Organisasi Perdagangan Dunia, kata Henry, memengaruhi kebijakan-kebijakan sektor pertanian. Dorongan untuk deregulasi, ekspansi modal global di sektor pertanian, dan perdagangan bebas mengancam kedaulatan pangan suatu negara. Di Tanah Air, SPI dan sejumlah organisasi mendorong pemerintah melindungi hak petani kecil dan masyarakat perdesaan, seperti hak petani atas tanah, air, dan benih.