Perang Dunia Kelima Sesungguhnya Sudah Dimulai
Alasan perang adalah kekuasaan dan penguasaan. Namun, bukan penguasaan wilayah fisik, melainkan pada penguasaan data setiap orang yang terhubung ke teknologi digital.
Amerika Serikat sudah mendahului masuk ke palagan ketika industri perangkat keras dan perangkat lunak berkembang sangat pesat. Terlebih ketika model bisnis industri digital muncul. China dengan sekuat tenaga muncul di tengah medan dengan temuan yang kini berhadapan dengan produk Amerika Serikat.
Mereka tengah ribut, setidaknya dari kisruh soal Tiktok dan Wechat pada pekan lalu. Jepang dan Eropa masih di pinggir lapangan. Mereka bingung mau masuk ke area pertempuran. ”Perang dunia” kelima sesungguhnya telah dimulai di banyak tempat.
Kita telah mengenal perang fisik, yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II. ”Perang dunia” ketiga sesungguhnya telah terjadi, yaitu Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang dimulai pasca-Perang Dunia II hingga jelang akhir tahun 1990. ”Perang dunia” keempat adalah perang sejumlah negara terhadap aksi terorisme di berbagai tempat.
Kini, ”perang dunia” kelima adalah ketika beberapa negara muncul di medan laga industri digital yang pada ujungnya adalah penguasaan data. Penguasaan data yang tidak hanya data korporasi, pemerintah, sumber daya alam, tetapi juga hingga data ranah pribadi.
Saat kita bangun pagi dan membuka aplikasi, saat itu pula perebutan data telah dimulai. Apakah pagi ini kita ingin main Tiktok atau membuka Instagram? Semua akan merayu kita agar dipilih demi mendapatkan data.
Sepertinya kita perlu menyingkirkan dulu imajinasi kita tentang perang dengan adegan tembak-menembak. Adegan itu makin kita kurangi karena banyak negara juga sudah ragu dengan perang fisik. Mereka ragu akan memenangi pertempuran dalam waktu singkat. Alih-alih bernafsu perang fisik, mereka malah bisa babak belur serta merusak kondisi ekonomi dan politik di dalam negeri.
Baca juga: Lanskap Silicon Valley Mulai Berubah
Perang dunia kelima sesungguhnya sudah terjadi ketika muncul kasus Huawei dan terakhir kisruh tentang aplikasi Tiktok dan Wechat di Amerika Serikat. Amerika Serikat sudah merasa menang karena berhasil menekuk bisnis Tiktok. Kita cukup tersenyum saja karena sejauh ini China masih memilih diam meski China pasti akan mengambil langkah juga ketika kepentingan mereka dihalangi.
Industri teknologi digital sejak awal memang dikuasai korporasi-korporasi Amerika Serikat mulai dari perangkat keras hingga perangkat lunak. Akan tetapi, belakangan korporasi-korporasi China dengan sangat cepat memasuk bisnis ini.
Ambil contoh kompetisi industri telepon pintar yang selama ini dikuasai Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Kini, produk China sudah mulai tak dipandang sebelah mata. Harga lebih terjangkau dan daya tahan baterai mereka juga bisa lebih bagus. Teknologi komunikasi seluler yang terbaru juga langsung dikuasai dengan cepat. Mereka telah memasuki inovasi-inovasi terbaru dari hulu hingga hilir teknologi digital.
Kisruh Tiktok dan Wechat merupakan salah satu contoh dari kompetisi Amerika Serikat dan China. Pada awal tahun 2000, Amerika telah menguasai industri digital hilir, seperti penggunaan mesin pencari Yahoo dan Google secara global. Kemudian, dilanjutkan dengan laman-laman e-dagang hingga kemunculan aplikasi media sosial, yaitu Facebook, Twitter, dan lain-lain.
Industri aplikasi makin berkembang hingga menyentuh berbagai sisi kehidupan kita. Krisis finansial 2008 malah mendorong mereka memunculkan berbagai inovasi sehingga muncul sejumlah aplikasi, yaitu Uber, Airbnb, dan lain-lain.
Baca juga: Uji Ketahanan Korporasi Teknologi di Tengah Pandemi
Di dunia industri aplikasi, China sepertinya muncul belakangan, tetapi membuat banyak pihak terkaget karena pengembangannya sangat cepat. Laman e-dagang Alibaba telah memasuki bisnis global dan bersanding dengan Amazon.
Aplikasi Tiktok yang semula tidak dipandang tiba-tiba muncul di jagat media sosial berdampingan dengan Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Pukulan terberat oleh Tiktok adalah mereka berhasil menarik pengguna muda berumur di bawah 20 tahun, sementara aplikasi lain boleh dibilang sudah menua, bahkan termasuk Instagram.
Aplikasi lainnya dari China yaitu Wechat sebagai platform obrolan sekaligus bisa digunakan untuk transfer uang berdampingan dengan Whatsapp yang telah memiliki penggunaan sangat besar. Whatsapp boleh bangga memiliki pengguna sangat besar, tetapi sisi bisnisnya belum mapan, sementara Wechat dengan fasilitas transfer uang telah menemukan cara untuk mendapatkan uang dari platform obrolan.
Pengguna aplikasi ini di Amerika Serikat juga sudah membesar dalam waktu singkat. Pebisnis negara ini juga merasa nyaman ketika harus menyelesaikan masalah finansial dengan partner mereka dari China. Banyak negara lain sudah memberikan izin penggunan Wechat untuk transaksi finansial.
Baca juga: Merger dan Akuisisi Bakal Marak di Tengah Pandemi
Kompetisi aplikasi lainnya tanpa disadari terjadi di aplikasi gim. PUBG dari China sangat dikenal di kalangan pemain gim, bahkan termasuk aplikasi dengan pendapatan tertinggi. Beberapa aplikasi lain asal China yang sudah banyak dipakai di beberapa negara seperti UC Browser, BeautyPlus, VMate, Sharelt, dan Helo.
Saat ini, mungkin kita masih memandang sebelah mata sejumlah aplikasi itu, tetapi melihat perkembangan Alibaba, Tiktok, Wechat, dan PUBG, maka mereka pasti mempelajari kesuksesan pendahulunya dan suatu saat bisa memiliki pengguna dalam jumlah besar di banyak negara.
Melihat perkembangan aplikasi dari China, banyak negara tidak berdiam diri. AS bereaksi paling keras karena perkembangan itu mengancam hegemoni dan eksistensi mereka di industri digital global yang selama ini dikuasai. Negara lain ikut-ikutan menggunakan produk asal China ini sebagai senjata untuk menekan negara tersebut.
India yang tengah berkonflik dengan China di perbatasan kemudian menggunakan pelarangan itu untuk menekan China. Sejumlah aplikasi asal China tidak bisa lagi digunakan di negara itu sebagai reaksi balasan terhadap tindakan China di perbatasan. Beberapa negara lain juga melakukan pelarangan terhadap beberapa aplikasi dari negara tersebut.
Dalam konteks inilah kita melihat perang dunia kelima tengah terjadi. AS di satu sisi yang telah mendahului pengembangan teknologi digital dan China di sisi lain yang dengan cepat ikut mengembangkan serta memanfaatkan teknologi digital. Negara-negara lain dengan berbagai kepentingan dan alasan juga ikut dalam palagan.
Perang ini tak hanya urusan ekonomi semata, tetapi pada ujungnya tetap pada inti dan alasan perang, yaitu kekuasaan dan penguasaan. Kali ini bukan pada penguasaan wilayah fisik, melainkan pada penguasaan data setiap orang yang terhubung ke teknologi digital. Data telah menjadi benda berharga sehingga negara-negara itu akan berusaha mengusai data sebesar-besarnya di hampir semua sisi kehidupan orang di bumi melalui teknologi yang dikembangkan.
Mereka yang berhasil menguasai data dalam skala luas, maka dialah yang akan menjadi pemenang dan menguasai dunia. Oleh karena itu, banyak negara yang terus berjuang agar bisa menguasai cara-cara menambang dan mendapatkan data.
Tidak mengherankan jika saintis data asal Inggris, Clive Humby, di sebuah konferensi pada 2006 mengatakan, data adalah minyak baru alias komoditas yang bakal menggantikan minyak. Kita masih ingat sejak akhir abad ke-19 ketika teknologi pengeboran minyak mulai ditemukan, banyak negara berebut area tambang di banyak tempat. Peperangan pun mulai bermunculan untuk berebut wilayah yang diketahui kaya minyak karena komoditas itu diketahui bernilai sangat penting.
Kini, ketika data itu menjadi komoditas penting, maka perilaku yang sama sepertinya berulang. Kita masih akan menonton ribut-ribut soal penguasaan data ini hingga beberapa tahun ke depan sebelum ada sumber keributan baru.