Tumpang-tindih Regulasi Bisa Hambat Elektrifikasi Berbasis Energi Terbarukan
Dana desa bisa dipakai untuk eletrifikasi berbasis energi terbarukan di Indonesia. Namun, pengembangannya tak sederhana karena ada potensi masalah birokrasi dan tumpang-tindih regulasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumpang-tindih regulasi di tingkat kementerian berpotensi menghambat program elektrifikasi di perdesaan. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menerbitkan regulasi penggunaan dana desa untuk program energi terbarukan pada 2021. Sementara pengaturan elektrifikasi di perdesaan atau wilayah terpencil diatur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dana desa untuk elektrifikasi diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021. Tiga prioritas utama penggunaan dana desa pada 2021 adalah untuk program pemulihan ekonomi nasional, program prioritas sesuai kewenangan desa, dan program adaptasi kebiasaan baru desa. Pewujudan desa berenergi bersih dan terbarukan ada di bagian program pemulihan ekonomi nasional.
Sementara pengaturan elektrifikasi di perdesaan atau wilayah terpencil ada di bawah kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan, dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Skala Kecil.
Program Manager Green Energy pada Hivos Southeast Asia Laily Himayati mengatakan, kendati ada Peraturan Menteri Desa PDTT tersebut, elektrifikasi di perdesaan harus melalui mekanisme pengajuan wilayah usaha ke Kementerian ESDM. Dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi, usulan tersebut dapat disetujui atau ditolak. Usulan harus diajukan badan usaha.
”Tidak bisa serta-merta dilakukan elektrifikasi di perdesaan. Harus ada pengajuan wilayah usaha oleh sebuah badan usaha ke Kementerian ESDM,” kata Laily saat dihubungi, Selasa (22/9/2020).
Kapasitas sumber daya manusia di perdesaan sangat menentukan program elektrifikasi berbasis energi terbarukan bisa berjalan baik. Begitu pula aparat di dinas terkait di tingkat kabupaten.
Hivos sudah berpengalaman mendampingi pengembangan elektrifikasi berbasis energi terbarukan di ratusan desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur, sejak 2011. Kapasitas sumber daya manusia di perdesaan sangat menentukan program elektrifikasi berbasis energi terbarukan agar berjalan baik. Begitu pula aparat di dinas terkait di tingkat kabupaten.
”Terkadang ada beberapa kasus perbedaan penafsiran antara aparat pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan aparatur desa yang menyebabkan program yang disusun tak berjalan sesuai rencana atau sulit diwujudkan lantaran perbedaan tafsir tersebut,” tutur Laily.
Namun, lanjut Laily, banyak kisah sukses pendampingan masyarakat perdesaan untuk mewujudkan elektrifikasi berbasis energi terbarukan. Pelibatan tokoh kunci di desa dan partisipasi aktif masyarakat sangat menentukan keberhasilan program tersebut. Pemberian pelatihan dan pendampingan juga berperan penting agar program berjalan baik.
Sementara itu, menurut Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar, alokasi dana desa 2021 sebesar Rp 72 triliun juga diprioritaskan untuk merevitalisasi badan usaha milik desa (BUMDes). Dana desa juga untuk pengembangan usaha ekonomi produktif yang dikelola BUMDes. Adapun program prioritas sesuai kewenangan desa adalah pendataan potensi desa, pengembangan desa wisata, dan penguatan ketahanan pangan.
”Kami tidak akan mencampuri kewenangan desa dalam hal penggunaan dan jenis kegiatannya. Namun, kami hanya memberi panduan saja,” ujar Abdul Halim.
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia membutuhkan insentif agar tumbuh pesar, baik itu insentif fiskal maupun nonfiskal.
Pemerintah sedang fokus meningkatkan elektrifikasi di perdesaan. Data pemerintah menyebutkan masih ada 433 desa yang sama sekali belum teraliri listrik. Ratusan desa tersebut sebagian besar berada di wilayah terpencil, yaitu di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hingga triwulan I-2020, rasio desa di Indonesia yang sudah teraliri listrik mencapai 99,48 persen.
Di DPR sedang berlangsung pembahasan RUU energi terbarukan. Keberadaan undang-undang ini diharapkan mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Dalam kebijakan energi nasional, peran energi terbarukan ditargetkan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Saat ini, energi terbarukan baru menyumbang 9 persen.
”Pengembangan energi terbarukan di Indonesia membutuhkan insentif agar tumbuh pesat, baik insentif fiskal maupun nonfiskal. Nonfiskal, misalnya, pemerintah harus menjamin penyediaan lahan untuk pengembangan energi terbarukan jenis panas bumi,” tutur Ketua Komite Tetap Bidang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Satya Widya Yudha.