Sejumlah negara mulai menggenjot ekspor. Indonesia mesti mengendalikan keran impor agar produk dalam negeri tak terganggu.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengantisipasi potensi lonjakan impor yang bisa mengganggu penyerapan produk dalam negeri di tengah pandemi. Langkah kebijakan dagang yang protektif tetapi tetap sesuai standar perdagangan global dapat diambil untuk mengendalikan keran impor dan melindungi kepentingan nasional tanpa menutup diri dari dunia.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima, Selasa (22/9/2020), mengatakan, ekspor dan impor tetap berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, akselerasi ekspor dan pembukaan keran impor yang terukur harus menjadi perhatian utama pemerintah untuk mencegah ekonomi nasional terjun bebas di era pandemi.
”Kalau tidak dimitigasi dari sekarang, pandemi ini akan membawa ledakan suplai dan impor dari negara-negara lain yang sudah pulih, dan itu sangat mungkin menggerus produk nasional kita,” kata Aria dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian BUMN di Jakarta yang ditayangkan secara virtual.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2020, impor barang konsumsi kembali naik 7,31 persen dibandingkan dengan Juli 2020. Impor barang konsumsi meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan bahan baku/penolong dan barang modal. Impor barang konsumsi itu antara lain anggur dari China, susu dan krim dari Selandia Baru, serta gula kristal mentah dari India.
Sebelumnya, pada Juli 2020, impor barang konsumsi sempat turun cukup signifikan, yakni 21,01 persen dengan nilai 295,9 juta dollar AS jika dibandingkan dengan Juni 2020.
Aria mengatakan, sejumlah negara mulai mengeluarkan kebijakan dagang yang protektif di tengah pandemi. Dengan kondisi ekonomi yang sama-sama mengalami dampak pandemi Covid-19, banyak negara memilih mengedepankan kepentingan nasional. Kebijakan dagang yang protektif diterapkan untuk menahan arus impor dan melindungi diri dari serbuan produk negara lain.
Kondisi tersebut juga berdampak pada produk ekspor Indonesia. Contohnya, ekspor komoditas kopi dan pertanian Indonesia ke Uni Eropa terancam terganggu setelah Regulasi Komisi Uni Eropa Nomor 2020/1085 terbit baru-baru ini. Komisi Eropa menurunkan batas kandungan residu pestisida dari 0,05 miligram per kilogram (mg/kg) produk menjadi 0,01 mg/kg. Produk yang tidak sesuai standar terancam ditarik.
Aria meminta pemerintah tidak pasif dan lebih strategis merespons perkembangan dunia. Apalagi, kondisi perekonomian sejumlah negara mitra dagang Indonesia sudah mulai pulih dan kembali gencar mengekspor. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial.
Ia menilai pemerintah perlu lebih aktif mengeluarkan kebijakan nontarif untuk melindungi produk dalam negeri. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian perlu duduk bersama dan memetakan produk atau komoditas mana yang perlu ditekan impornya agar tidak mengganggu kepentingan nasional.
”Kita jangan terlalu naif dan menganggap semuanya masih baik. Ini adalah perang perdagangan bebas,” katanya.
Pemerintah perlu lebih aktif mengeluarkan kebijakan nontarif untuk melindungi produk dalam negeri.
Berhati-hati
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, dalam situasi seperti saat ini, wajar jika proteksi dagang menjadi lebih tinggi karena setiap negara punya kebutuhan untuk menjaga kepentingannya.
Berdasarkan data intelijen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), selama pandemi Covid-19, banyak langkah kebijakan perdagangan bersifat anomali atau di luar kebiasaan dan tidak sesuai dengan aturan yang selama ini berlaku dalam kondisi normal.
Shinta mengatakan, jika impor barang konsumsi dirasa merugikan, pemerintah bisa memperketat mekanisme impor. ”Bisa lewat modifikasi tarif bea masuk atau pengenaan Pajak Penjualan. Bisa juga lewat investigasi kecurangan seperti safeguard dan anti-dumping,” ujar Shinta.
Namun, pemerintah tetap harus berhati-hati. Kebijakan impor yang proteksionis akan memberikan beban bagi negara. Sebab, industri yang diproteksi cenderung inefisien dan beban finansial dari inefisiensi itu akan ditanggung konsumen.
”Hal ini jelas bukan langkah konstruktif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang yang kuat dan berdaya saing,” katanya.
Kebijakan impor yang proteksionis akan memberikan beban bagi negara.
Aturan main sesuai standar internasional untuk menerapkan proteksi itu juga harus dipatuhi agar tidak menjadi blunder. ”Kita harus belajar dari pengalaman sengketa sebelumnya dan lebih hati-hati dalam upaya melindungi pasar nasional,” ujar Shinta.
Menahan impor
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, sejak awal Maret 2020, pemerintah terus memantau dan memetakan hambatan dagang tarif maupun nontarif yang diciptakan negara mitra dagang selama pandemi.
Menurut Kasan, sebagai negara anggota WTO, Indonesia punya hak memberlakukan instrumen serupa terhadap produk negara lain. ”Setiap negara punya hak yang sama, tetapi yang jelas kebijakan yang dikeluarkan harus patuhdengan peraturan WTO,” kata Kasan.
Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, jika ada impor barang konsumsi yang melonjak dan berpotensi mengganggu produk dalam negeri, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan atau instrumen tertentu untuk menahan impor.
”Kami juga secara rutin terus berkoordinasi dengan kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian. Jangan sampai industri kita terganggu, khususnya UMKM,” kata Agus.
Pada akhir Agustus 2020, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga. Kebijakan itu dikeluarkan untuk menekan banjir impor barang konsumsi di golongan tersebut.
Kementerian Perdagangan mencatat, pada Mei-Juni 2020, terjadi kenaikan impor barang konsumsi hingga 50,64 persen untuk produk tank, makanan-minuman, alas kaki, dan elektronik. Di samping itu, ada juga barang lain yang nilai pertumbuhannya di atas 70 persen.
Dalam permendag baru, para pelaku usaha wajib memiliki persetujuan impor dan laporan surveyor (LS) sebagai syarat mengimpor. Sebelumnya, mengacu pada peraturan lama, pengusaha alas kaki dan elektronik cukup memiliki LS dan melewati mekanisme pemeriksaan dokumen impor setelah melewati kawasan pabean. Untuk komoditas sepeda, sebelum ini tidak ada aturan tata niaga impor secara khusus.