Peran OJK sangat menantang karena batasan antara kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, serta lembaga jasa keuangan lainnya samar dan saling beririsan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan sektor jasa keuangan akan semakin kompleks seiring perkembangan dan dinamika terkini. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang mumpuni untuk mengawasi sektor tersebut.
Peralihan fungsi dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dinilai bisa menjadi bumerang yang justru akan meningkatkan risiko sistemik.
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).
Terdapat sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang menyebut peran BI dan OJK, salah satunya Pasal 34 Ayat (1) beleid yang menjelaskan, tugas mengawasi bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK dialihkan kepada BI. Dalam perencanaannya, pengalihan tugas selambat-lambatnya akan dilakukan pada 31 Desember 2023.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, perkembangan teknologi dan digitalisasi akan membuat tantangan sektor jasa keuangan semakin kompleks pada masa mendatang. Maka, kapasitas OJK perlu diperkuat untuk mengatur dan mengembangkan sektor keuangan dalam menghadapi berbagai tantangan disrupsi.
”Jika peran pengawasan perbankan dikembalikan ke BI, akan ada potensi pengawasan tidak terintegrasi atau aspek pengawasan holistik terhadap sektor jasa keuangan akan berkurang,” ujarnya dalam diskusi virtual, Selasa (22/9/2020).
Jika peran pengawasan perbankan dikembalikan ke BI, akan ada potensi pengawasan tidak terintegrasi, atau aspek pengawasan holistik terhadap sektor jasa keuangan akan berkurang.
Adapun Pasal 34 Ayat (3) menyebutkan, pengalihan akan meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum.
Menurut Eko, pengalihan elemen-elemen tersebut bisa menjadi bumerang bagi upaya pengawasan sektor keuangan. Pasalnya, pembangunan di sektor jasa keuangan yang kian adaptif sesuai kebutuhan nasabah membutuhkan pengaturan dan pengawasan yang prima dan berkesinambungan agar tak muncul risiko sistemik di kemudian hari.
Pada titik tersebut, peran OJK sangat strategis sekaligus menantang karena perbedaan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, serta lembaga jasa keuangan lainnya cukup samar sebab saling beririsan.
”Semua kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut semakin berkaitan satu sama lain, tidak hanya dalam lingkup sektor jasa keuangan, bahkan terkadang bisa lintas sektor,” ujar Eko.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menyebutkan, RUU BI merupakan produk politik.
”OJK melalui kebijakan berusaha menopang sektor jasa keuangan. Hanya saja, tingkat efektivitasnya memiliki dimensi waktu dan keterbatasan sehingga memerlukan kebijakan lanjutan dari kementerian dan lembaga lain,” ujarnya.
Semua kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut semakin berkaitan satu sama lain.
Anto berharap penguatan kelembagaan, termasuk koordinasi dan kewenangan, antara BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini merupakan fundamen agar setiap lembaga lebih dapat menghasilkan kebijakan dan instrumen operasional untuk menyangga sektor jasa keuangan agar lebih kuat.
Sebelumnya, dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (17/9), Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan kepercayaannya kepada pemerintah yang tidak akan menggadaikan independensi bank sentral.
”Presiden sudah menegaskan dan menjamin independensi BI. Saya kira sudah jelas bahwa kebijaka moneter harus kredibel, efektif, dan independen,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan, DPR tidak melihat urgensi peleburan fungsi pengawasan perbankan dari OJK ke BI. Menurut dia, rencana peleburan muncul setelah pemerintah merasa kesulitan mencegah situasi yang tidak terkontrol di pasar finansial akibat pengawasan regulator yang lemah.
”Setelah mendiskusikan beberapa hal, pemberian kewenangan yang lebih luas kepada regulator lebih didahulukan daripada melebur pengawasan bank ke BI. Saat ini diperlukan penguatan semua kelembagaan Komite Stabilitas Sistem Keuangan,” kata Fathan.