Pekerja Migran Indonesia Jadi Korban Perbudakan dan Perdagangan Orang
Mengacu pada ukuran ILO, ada indikasi perbudakan dan tindak pidana perdagangan orang pada kasus pekerja migran Indonesia kelautan, khususnya di kapal ikan asing. Sindikat lintas negara terlibat dalam perbudakan itu.
Oleh
kris mada
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelidikan sejumlah pihak menunjukkan, pekerja migran Indonesia di kapal-kapal Indonesia menjadi korban perbudakan dan perdagangan orang. Pelakunya ditengarai melibatkan jaringan lintas negara. Karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan mekanisme internasional untuk menanggulangi kasus-kasus terkait pekerja migran pada kapal ikan asing.
Polri kini menangani sejumlah kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terkait pekerja migran Indonesia (PMI) di sektor kelautan. Penyidik menemukan PMI di sejumlah kapal ikan asing tidak dilengkapi surat-surat yang sah. ”Laporan para ABK (anak buah kapal) yang merasa dirugikan mulai bermunculan setelah mereka sadar bahwa mereka telah menjadi korban karena yang diterima berbeda dari yang dijanjikan,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ferdy Sambo.
Polri tengah menangani sejumlah kasus TPPO. Di Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, penyelidikan TPPO, antara lain, membuat polisi harus mencari W, warga Taiwan yang terakhir terpantau tinggal di Singapura. W diduga menjadi orang yang meminta sejumlah perusahaan di Indonesia untuk mencari calon awak kapal ikan.
Adapun Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan (TETO) di Indonesia menyebut, lebih dari 60 persen PMI kelautan di kapal ikan tercatat diberangkatkan oleh agen di luar Taiwan dan Indonesia. Dengan kata lain, ada pihak di negara lain yang terlibat dalam pemberangkatan PMI kelautan ke Taiwan. Dalam catatan Taiwan, kini hanya ada 12.983 pekerja migran Indonesia di kapal ikan Taiwan.
Tentang jumlah PMI di kapal ikan, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Solidaritas Pelaut Indonesia (SPI) mendapat laporan ada puluhan ribu PMI kelautan di Taiwan saja. Jumlahnya membengkak jika digabung dengan PMI kelautan di kapal ikan negara lain. ”Dengan mengacu pada ukuran yang ditetapkan ILO (Organisasi Buruh Internasional), ada indikasi perbudakan dan TPPO pada kasus-kasus PMI kelautan, khususnya di kapal-kapal ikan asing,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.
Modus
Dalam penyidikan terhadap sejumlah kasus PMI kelautan, polisi menemukan simpul utama di Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Dari para calo di sejumlah daerah, para calon PMI dikumpulkan di Tegal, Pemalang, dan Jakarta.
Dari tempat pengumpulan di DKI Jakarta dan Jawa Tengah, sejumlah PMI diberangkatkan ke Kepri dan kembali dikarantina di sana selama beberapa waktu. Dari Kepri, PMI diberangkatkan ke Singapura, lalu menuju negara lain. Bahkan, ada pula PMI yang langsung diberangkatkan ke kapal ikan di sekitar Selat Malaka.
Sementara penelusuran SBMI menemukan kasus, PMI dikumpulkan di Pemalang dan Tegal sebelum diterbangkan ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta, Banten. Sebagian besar terbang ke Singapura dan Taiwan sebelum diterbangkan lagi ke negara lain atau dinaikkan ke kapal ikan milik sejumlah negara.
Dalam berbagai penyelidikan, PMI mengatakan, semua dokumen mereka ditahan agen pemberangkatan sejak masuk penampungan di Jateng atau DKI Jakarta. Sementara di tempat kerja, dokumen mereka ditahan kapten atau perusahaan kapal. Karena itu, para PMI kesulitan lepas dari para sindikat. Apalagi, banyak di antara mereka tidak paham lokasi tempat karantina atau bahkan tidak bisa meninggalkan kapal yang berlayar berbulan-bulan.
Dalam beberapa kasus, sebagian PMI tidak tahu akan dipekerjakan di kapal ikan. Para calo dan perusahaan pemberangkatan PMI menjanjikan calon PMI bekerja di pabrik atau tempat kerja lain dengan gaji besar.
Kepada PMI yang sejak awal tahu akan bekerja di kapal ikan, sejumlah agen menjanjikan pemberangkatan secara legal dan negara tertentu. Ternyata, mereka berangkat secara ilegal.
”Mereka berangkat dengan visa kunjungan biasa, dari Jakarta transit di Hong Kong atau langsung ke Korea Selatan. Kenapa Korea? Karena di sana terdapat pabrik pengolahan ikan yang bekerja sama dengan kapal-kapal penangkap ikan dari China,” ujar Kepala Unit IV Tindak Pidana Perdagangan Orang Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Komisaris Chuck Putranto.
Mekanisme internasional
Pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, mengatakan, sanksi pada kasus-kasus TPPO yang melibatkan PMI kelautan jangan berhenti pada tersangka perorangan. Sanksi harus dikenakan juga kepada perusahaan dan pemilik perusahaan yang terlibat dalam sindikat itu. ”Indonesia punya kerangka hukum yang kuat untuk menindak,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, khususnya Pasal 4 dan Pasal 10, jelas dicantumkan hukuman dan kriteria orang yang bisa dihukum karena TPPO dalam kasus PMI. Dalam Pasal 4 UU No 21/2007 ditegaskan, siapa pun akan dipidana jika membawa WNI untuk dieksploitasi di luar Indonesia. Pihak yang membantunya juga dapat dipidana. Hukumannya berupa penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp 600 juta.
Ia juga mendorong Indonesia memanfaatkan mekanisme internasional untuk memberantas TPPO dan perbudakan terhadap PMI di kapal ikan asing. Indonesia perlu menggandeng Interpol untuk menangani kasus-kasus PMI di sektor kelautan. Indonesia juga didorong memanfaatkan keanggotaan di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Kejahatan dan Narkotika (UNODC).
Sebab, sindikat PMI ilegal diduga terlibat jaringan TPPO dan perbudakan lintas negara. Sindikat pemberangkatan PMI ilegal juga diduga berkolaborasi dengan sindikat kejahatan perikanan.
Selama jadi Koordinator Satuan Tugas 155 yang dibentuk untuk memberantas kejahatan perikanan, Achmad mendorong penetapan kejahatan perikanan sebagai kejahatan lintas negara yang sangat terorganisasi. Pihak yang terlibat pencurian ikan sekaligus terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), suap, penyelundupan narkotika dan barang lain, TPPO, kerja paksa, hingga penghindaran pajak. Kejahatan-kejahatan itu terjadi di banyak negara dan laut lepas yang tidak termasuk wilayah hukum negara mana pun.
Sementara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Indonesia terus berkomunikasi dengan China terkait kasus-kasus PMI kelautan di kapal ikan China. Indonesia ingin menyelesaikan masalah yang terungkap beberapa waktu terakhir dan mencegahnya terulang pada masa mendatang. ”Sejauh ini cukup suportif. Isu ini juga saya bahas dalam pertemuan antara Menlu RI dan Menlu RRT (China), baik di bulan Juli maupun Agustus 2020,” ujarnya.
Pada 16 September 2020, perwakilan kedua negara kembali membahas isu itu. Indonesia diwakili Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerrian Tenaga Kerja, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung, dan Polri. Sementara China diwakili Kemenlu, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Sumber Daya Manusia. ”Pertemuan berlangsung secara konstruktif,” ujarnya.
Retno menggunakan istilah diplomatik untuk menggambarkan pertemuan yang penuh perbedaan pendapat. Akan tetapi, pada akhirnya para pihak dalam pertemuan menyepakati sejumlah hal atau setidaknya setuju untuk terus berdialog.
Selepas pertemuan itu, Indonesia menunggu upaya China untuk memulangkan PMI di kapal ikan China yang kini terdampar di sejumlah negara. Beijing juga diminta menyelesaikan masalah tunggakan gaji. Indonesia pun meminta China membuat panduan pemulangan jenazah awak yang meninggal selama pelayaran. Isu ini menjadi sorotan setelah beberapa kali tersiar kabar pelarungan jenazah PMI yang meninggal di kapal ikan China.
Tidak kalah penting, Retno meminta Beijing menyelidiki berbagai kasus terkait PMI secara menyeluruh. Retno mau ada hukuman untuk pihak yang bertanggung jawab. (AGE/AIN/CAS/DIT/ERK/FRN/IKI/JOG/NAD/NDU/NSA/RAZ/REN/XTI)