Generasi milenial mengalami dampak berat pada masa pandemi Covid-19. Namun, mereka tak menyerah, bahkan memandang kondisi saat ini sebagai peluang.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Apabila kita sepakat generasi milenial adalah mereka yang berumur 20-40 tahun, kita bisa menyimpulkan generasi ini yang paling terdampak pandemi Covid-19. Mereka adalah generasi yang mencari kerja, tetapi juga korban pemutusan hubungan kerja atau PHK. Mereka juga keluarga muda yang sedang membangun rumah tangga, tetapi mengalami dampak pandemi. Jaring pengamanan sosial bisa mengurangi tekanan yang mereka alami.
Ada cara lain untuk membantu kaum milenial. Di sekitar kita banyak contoh yang terkena dampak pandemi. Mereka yang baru saja lulus dari perguruan tinggi sulit mencari kerja karena lowongan kerja terbatas. Sejumlah anak muda memilih pulang kampung karena tak ada lagi pekerjaan di kota. Kita juga bertemu keluarga-keluarga muda yang sedang berjibaku dengan masalah penghasilan agar bisa bertahan di tengah pandemi.
Tanpa pandemi, sebenarnya kaum milenial sudah mengalami tekanan hidup yang besar. Survei 2020 Deloitte Millennial Survey di 43 negara yang dikeluarkan tiga bulan lalu menyebutkan, 48 persen generasi milenial mengalami stres setiap saat. Faktor yang memengaruhi adalah masalah keuangan, kesejahteraan keluarga, dan masa depan karier.
Survei dari Euromonitor menyebutkan, pendapatan kotor kelompok usia 25-29 tahun turun 49 persen. Penurunan akan lebih besar lagi pada mereka yang ada di bawah kelompok umur itu.
Di Indonesia, masalah yang dialami kaum milenial di tengah pandemi sepertinya tidak banyak berbeda. Oleh karena itu, pemerintah membuat program untuk menanggulangi masalah ini, seperti Kartu Prakerja, subsidi gaji, dan jaring pengaman sosial untuk korban PHK. Pemerintah juga membantu pebisnis tidak mengurangi karyawan dan menjaga bisnis tetap berlangsung. Cara-cara seperti ini bisa membantu kaum milenial meskipun belum cukup dan belum tentu mengena.
Kembali ke survei Deloitte. Selain mengalami tekanan, sebenarnya mereka tetap fokus pada keinginan agar bermanfaat bagi sekitar. Pandemi telah membuat komitmen terhadap komunitas dan perbaikan lingkungan semakin kuat. Simpati dan keinginan kuat untuk berbuat bagi sesama tidak melemah.
Generasi milenial punya keinginan untuk berbuat banyak bagi masyarakat. Setidaknya hal ini terlihat dari tiga perempat responden dari survei lanjutan yang diadakan pada saat pandemi, menyatakan keinginan itu. Survei itu juga memperlihatkan kaum milenial ingin membangun dan mendukung usaha kecil dan menengah serta para penjual di sekitar mereka pada saat pandemi.
Generasi milenial punya keinginan untuk berbuat banyak bagi masyarakat.
Kita bisa melihat di beberapa akun Instagram, orang-orang yang sukses berbisnis di tengah pembatasan sosial. Mereka sukses di bisnis model pengantaran, misalnya suami-istri yang sukses membuat paket makan siang. Ada pula satu keluarga muda langsung memilih keluar dari perusahaan dan membuat usaha mandiri daripada menunggu PHK yang sudah jelas di depan mata.
Kendati mengalami tekanan berat, kaum milenial tidak serta-merta melakukan tindakan tidak produktif atau anarkistis. Apa yang terjadi? Kaum milenial punya cara tersendiri, yakni lebih bisa melihat peluang di tengah pandemi. Masa remaja mereka yang lebih banyak dipengaruhi iklim usaha rintisan dan kewirausahaan mungkin menjadi penyebab utama mereka tidak menyerah dengan keadaan.
Pikiran-pikiran positif lebih mendominasi ketika berhadapan dengan masalah. Mereka bisa melihat contoh-contoh usaha yang malah muncul pada saat ekonomi bermasalah. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih memilih gerakan politik untuk menyelesaikan masalah.
Pikiran-pikiran positif lebih mendominasi ketika berhadapan dengan masalah.
Maka, sebenarnya pemerintah perlu berkomunikasi dan berada di dalam ekosistem generasi milenial serta mendukung upaya mereka. Pemerintah melalui jejaringnya bisa mendengarkan dan memfasilitasi keinginan generasi ini, misalnya membantu memperbesar dan mempromosikan usaha mereka, membuat rantai pasok menjadi mudah dan pemasaran semakin luas, serta menampilkan sosok mereka. Kaum milenial akan menilai keperbihakan pemerintah dari sisi ini dibandingkan dengan bantuan jaring pengaman.
Oleh karena itu, jaring-jaring pemerintah sebaiknya mulai masuk ke dalam aktivitas kreatif kaum milenial agar bisa memastikan kebutuhan mereka. Pada saat berada di ekosistem milenial, jejaring pemerintah bisa membantu mereka yang mulai putus harapan. Jejaring perlu menghadirkan contoh-contoh yang berkembang di masa pandemi dan mengomunikasikan niat pemerintah.
Kegagalan pemerintah berkomunikasi akan berdampak luas. Generasi milenial akan memantau langkah pemerintah selama pandemi. Kita mempunyai harapan pada kaum milenial, tetapi mereka bisa berbalik arah apabila kita salah melangkah. (ANDREAS MARYOTO)