Keputusan Perpanjangan Restrukturisasi Tunggu Hasil Pemetaan
Realisasi restrukturisasi kredit perbankan hingga awal Agustus 2020 sudah mencapai Rp 837 triliun.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan otoritas memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit akan ditentukan berdasarkan laporan realisasi kebijakan sampai dengan September 2020. Perpanjangan restrukturisasi akan membantu perbankan mengelola arus kas sekaligus menahan rasio kredit bermasalah bagi debitor yang terkena dampak pandemi Covid-19.
Mekanisme relaksasi restrukturisasi kredit tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Berdasarkan aturan tersebut, relaksasi restrukturisasi kredit berlangsung selama satu tahun atau hingga 31 Maret 2021.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo mengatakan, OJK membuka opsi perpanjangan periode relaksasi restrukturisasi kredit bank setelah Maret 2021. Namun, pengambilan keputusan masih akan menunggu hasil laporan realisasi restrukturisasi bank hingga akhir September 2020.
Perbankan, lanjut Anto, akan memberikan pemetaan persentase debitor yang masih bisa maju setelah mendapatkan restrukturisasi dan debitor yang gagal. Nantinya, peta profil debitor tersebut akan dijadikan dasar bagi OJK untuk menetapkan perpanjangan atau restrukturisasi lanjutan.
”Dengan peta profil debitor tersebut, perbankan akan mampu menentukan debitor mana yang mampu dan mau tetap menjalankan kewajibannya di tengah kebijakan restrukturisasi,” katanya.
Peningkatan rasio kredit bermasalah di tengah restrukturisasi sangat bergantung pada kemampuan sektor usaha. Hal ini membuat perbankan akan bersikap konservatif dengan membentuk pencadangan untuk debitor yang memperoleh fasilitas restrukturisasi, tetapi berpotensi gagal bangkit.
”Apabila debitor tidak lagi bisa melakukan kegiatan ekonomi, kemampuan bayar otomatis akan terganggu sehingga rasio kredit bermasalah dipastikan meningkat,” kata Anto.
OJK membuka opsi perpanjangan periode relaksasi restrukturisasi kredit bank setelah Maret 2021. Namun, pengambilan keputusan masih akan menunggu hasil laporan realisasi restrukturisasi bank hingga akhir September 2020. (Anto Prabowo)
Data OJK menunjukkan, realisasi restrukturisasi kredit perbankan hingga awal Agustus 2020 mencapai Rp 837 triliun. Adapun total kredit perbankan hingga Juli 2020 mencapai Rp 5.536 triliun sehingga nilai restrukturisasi sekitar 15 persen dari total kredit bank.
Di sisi lain, sejak Mei 2020, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) sudah menembus level 3 persen setelah bertahun-tahun mampu dijaga di bawah 3 persen. Pada Juli 2020, rasio NPL bank sudah mencapai 3,22 persen.
Bertahan
Chief Financial Officer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo mengatakan, dalam periode berat saat ini, fokus kinerja BRI adalah memastikan nasabah dan debitor tetap bertahan. Apabila debitor menghentikan usaha mereka, dikhawatirkan akan ada pemutusan hubungan kerja yang bisa berdampak buruk terhadap ekonomi nasional.
Untuk memitigasi risiko pemburukan kualitas kredit, lanjut Haru, BRI membuka pilihan restrukturisasi ulang bagi debitor yang masih gagal bayar setelah mendapat relaksasi restrukturisasi kredit. Dalam skenario terburuk, debitor yang sulit bangkit setelah restrukturisasi sekitar 15 persen.
BRI juga meningkatkan biaya pencadangan hingga dua kali lipat dari nilai NPL untuk memastikan bisnis perseroan tetap stabil.
Pada periode enam bulan pertama tahun ini, rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) terhadap NPL BRI sebesar 200,3 persen. Adapun total restrukturisasi kredit BRI per Agustus 2020 mencapai Rp 189 triliun atau tertinggi dibandingkan dengan bank-bank nasional lainnya.
”Kami akan restrukturisasi ulang, kami kasih kesempatan lagi. Namun, kalau itu juga gagal, kami sudah siapkan cadangan. Ini biaya krisis,” kata Haru.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mendukung rencana OJK memperpanjang program restrukturisasi kredit. Perpanjangan masa restrukturisasi akan membuka ruang bagi perbankan untuk mengelola kembali arus kas dan sejumlah indikator keuangan lain setelah pemberian restrukturisasi kredit.
”Kami harapkan sekali adanya perpanjangan agar bank punya cukup waktu untuk berbenah sesuai kapasitas masing-masing,” kata Jahja.
Sejauh ini, BCA belum menghitung potensi debitor yang kemungkinan masih gagal setelah restrukturisasi. Akan tetapi, menurut dia, kemungkinan tersebut sangat terbuka. BCA tetap akan berkomunikasi dengan para debitor untuk memastikan kemungkinan gagal seminimal mungkin.
Restrukturisasi kredit BCA hingga 2020 telah mencapai Rp 69,3 triliun atau 12 persen dari total kredit BCA. Sementara itu, masih ada potensi peningkatan permintaan restrukturisasi sebesar 20-30 persen dari total kredit BCA.