Program BBM satu harga yang menghadirkan bahan bakar minyak di wilayah terpencil harus dikawal pelaksanaannya. Program ini untuk menghadirkan keadilan dalam hal akses terhadap BBM di masyarakat.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) terus melanjutkan program bahan bakar minyak atau BBM satu harga lewat pembangunan infrastruktur penyaluran BBM di wilayah terdepan, terluar, dan terpencil. Sampai saat ini, Pertamina menuntaskan 172 lokasi di seluruh Indonesia. Tahun ini, 83 titik ditargetkan rampung sehingga total akan menjadi 500 titik pada 2024.
Program BBM satu harga diwujudkan dengan membangun lembaga penyalur BBM resmi di lokasi yang disebut sebagai wilayah 3T, yaitu terdepan, terluar, dan terpencil. Jenis BBM yang dijual adalah premium dan solar bersubsidi sesuai dengan harga resmi patokan pemerintah, yakni Rp 6.450 per liter untuk premium dan Rp 5.150 per liter untuk solar bersubsidi.
Program BBM satu harga, selain untuk mengatasi kelangkaan pasokan BBM di wilayah 3T, juga untuk memberikan BBM sesuai harga resmi kepada masyarakat di lokasi tersebut.
Di pengecer, masyarakat membeli BBM jenis premium dan solar bersubsidi seharga Rp 10.000 per liter.
”Lokasi BBM satu harga terbaru ada di Desa Kabun, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang menjadi titik ke-172 sejak 2017. Tahun ini, kami menargetkan program BBM satu harga terealisasi di 83 titik dan kami sudah merampungkan sebanyak 12 titik,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dalam keterangan resmi, Jumat (18/9/2020).
Bupati Hulu Sungai Selatan Achmad Fikry mengungkapkan, kehadiran program BBM satu harga di wilayahnya sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selain menjamin kecukupan pasokan BBM, masyarakat bisa membeli BBM dengan harga yang wajar atau resmi. Sebelum ada program BBM satu harga, masyarakat bergantung pada pengecer untuk membeli BBM.
”Di pengecer, masyarakat membeli BBM tersebut seharga Rp 10.000 per liter. Tentu akan ada dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat dengan hadirnya program BBM satu harga ini,” ucap Achmad.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pada Selasa (15/9/2020), Saadiah Uluputty dari Partai Keadilan Sejahtera menyatakan, program BBM satu harga di lokasi terpencil patut diawasi secara ketat pelaksanaannya.
Kendati ada program BBM satu harga, tak semua masyarakat miskin atau nelayan bisa menikmatinya.
Ia melaporkan bahwa di wilayah Ambon, Maluku, kendati ada program BBM satu harga, tak semua masyarakat miskin atau nelayan bisa menikmatinya. Pasalnya, pasokan BBM yang tiba ke penyalur resmi lekas habis sehingga masyarakat kembali bergantung pada pengecer yang menjual lebih mahal.
”Pemerintah harus konsisten dengan program BBM satu harga. Program ini harus disertai pengawasan ketat di lapangan,” ucap Saadiah.
Menjawab hal tersebut, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, pihaknya sudah mengusulkan pembentukan subpenyalur untuk mempeluas penjualan BBM dengan harga resmi. Pasokan BBM untuk subpenyalur bisa dikirim dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) terdekat. Untuk biaya pengangkutan diatur oleh bupati atau kepala daerah setempat.
Pemerintah harus konsisten dengan program BBM satu harga. Program ini harus disertai pengawasan ketat di lapangan.
”Untuk pengawasan, sumber daya BPH Migas terbatas. Kami mengajak unsur lain, seperti pemerintah daerah dan aparat, untuk bersama-sama mengawal program BBM satu harga ini,” kata Fanshurullah.
Fanshurullah menambahkan, rencana perluasan program BBM satu harga sangat bergantung pada dukungan kepala daerah. Pasalnya, beberapa program BBM satu harga terkendala oleh perizinan di daerah sehingga pelaksanaannya mundur dari jadwal. Oleh karena itu, ia mengimbau agar kepala daerah memberi kemudahan perizinan pendirian lembaga penyalur dalam program ini.
Selain program BBM satu harga, pemerintah bersama Pertamina sudah meluncurkan program digitalisasi SPBU di seluruh Indonesia. Dengan memasang peralatan digital, penyaluran BBM dapat direkam dan tercatat secara langsung jumlah volumenya. Selain itu, nomor kendaraan yang mengisi BBM di SPBU juga terekam. Digitalisasi tersebut sudah menyasar ke 5.058 SPBU atau sekitar 91 persen dari semua SPBU di Indonesia per 12 September 2020.