Dunia Buru Pelaku Penghindaran dan Penggelapan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, praktik penghindaran pajak yang terekam dalam sistem AEOI mencapai Rp 1.300 triliun. Penghindaran pajak dilakukan dengan menyembunyikan aset di luar negeri.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kerja sama perpajakan internasional dinilai krusial untuk membantu mobilisasi pendapatan domestik. Kerja sama menitikberatkan pada upaya memerangi penggelapan dan penghindaran pajak.
Bank Pembangunan Asia (ADB) menginisiasi pembangunan hub regional dalam kebijakan dan administrasi perpajakan lintas ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Kerja sama antarnegara mitra ADB ini berupa pertukaran informasi dalam rangka memperkuat mobilisasi sumber daya domestik dan kerja sama perpajakan internasional.
Instrumen pajak memainkan peranan penting untuk memulihkan pertumbuhan yang kuat dan meningkatkan hasil pembangunan
Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan, pemulihan pascapandemi butuh biaya besar. Negara mitra ADB yang mayoritas negara berkembang mesti meningkatkan penerimaan pajak untuk membiayai penanganan Covid-19 dan pemulihan yang berorientasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
”Instrumen pajak memainkan peranan penting untuk memulihkan pertumbuhan yang kuat dan meningkatkan hasil pembangunan,” kata Asakawa dalam seminar virtual pertemuan tahunan ADB ke-53, Kamis (17/9/2020).
Kendati mayoritas negara berkembang berhasil mempertahankan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang kuat dan stabil dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan pajak tidak meningkat secara proporsional. Bahkan, penerimaan pajak berisiko menurun signifikan pada masa pandemi Covid-19.
Asakawa menuturkan, negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki rasio perpajakan rata-rata 14,8 persen pada 2018. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara anggota organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi (OECD), yakni 24,9 persen. Rendahnya rasio perpajakan memengaruhi kemampuan negara bangkit pascapandemi.
Ironisnya, rasio perpajakan Indonesia di bawah rata-rata kawasan. Data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, rasio perpajakan cenderung turun selama 2015-2019. Rasio perpajakan turun dari 10,76 persen pada 2015 menjadi 9,76 persen tahun 2019. Rasio bahkan dua kali menyentuh satu digit pada 2019 dan 2017 yang 9,89 persen.
BKF memproyeksikan rasio perpajakan pada 2020 sebesar 8,57 persen atau terendah lebih dari satu dekade terakhir. Penurunan rasio perpajakan terus berlanjut paling tidak sampai tahun 2021. Proyeksi rasio perpajakan pada 2021 sebesar 8,39 persen. (Kompas, 10/9/2020)
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, upaya meningkatkan rasio perpajakan tidak bisa dilakukan Indonesia sendiri. Kerja sama perpajakan internasional memainkan peran penting dalam memerangi pelaku penggelapan dan penghindaran pajak.
”Kami menilai ada banyak perusahaan berbasis sumber daya alam yang beroperasi lintas batas Indonesia. Dan itu, membuka banyak praktik penggelapan dan penghindaran pajak,” ujarnya.
Kerja sama internasional
Sejauh ini Indonesia telah melakukan kerja sama pertukaran informasi perpajakan dengan lebih dari 94 negara. Dari pertukaran informasi itu, Indonesia mendapat sekitar 1,6 juta informasi mengenai akun keuangan dari sejumlah negara dengan nilai sekitar 246,6 miliar euro.
Sri Mulyani menambahkan, kerja sama internasional membuka peluang pertukaran informasi perpajakan lebih luas. Pemerintah dapat meminimalkan potensi kerugian negara sehingga penerimaan pajak bisa optimal. Saat ini Indonesia telah menjalin kerja sama perpajakan yang diinisiasi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan OECD.
Pada 2019, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu mencatat, praktik penghindaran pajak yang terekam dalam sistem pertukaran informasi keuangan (AEOI) mencapai Rp 1.300 triliun. Penghindaran pajak dilakukan dengan menyembunyikan aset di luar negeri atau kerap disebut negara surga pajak.
Pascal Saint-Amans, Director of the OECD\'s Centre for Tax Policy and Administration, mengatakan, pertukaran informasi salah satunya tentang administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mobilisasi pendapatan domestik dengan instrumen PPN menjadi solusi di tengah pandemi Covid-19.
”Ada banyak aktivitas dan kebiasaan baru yang muncul akibat pandemi, terutama terkait ekonomi digital lintas negara. Pungutan PPN dapat dioptimalkan untuk meningkatkan pendapatan,” kata Amans.
Director of the IMF\'s Fiscal Affairs Department, Vitor Gaspar, menambahkan, hanya segelintir negara di kawasan Asia Pasifik yang berhasil mereformasi sistem perpajakannya, yakni Jepang dan Korea Selatan. Reformasi perpajakan yang dibantu kerja sama internasional amat penting bagi negara-negara berkembang.