Badai Menahun di Kandang Peternak
Problem fluktuasi harga unggas tak kunjung teratasi dan memaksa sebagian peternak unggas mandiri gulung tikar. Kebijakan perunggasan perlu dirombak agar lebih berpihak dan adil bagi peternak kecil.
Ketika mayoritas lapangan usaha tersungkur oleh pukulan pandemi Covid-19, sektor pertanian tumbuh positif 2,19 persen pada triwulan II-2020, menjadikannya satu dari tujuh sektor yang tumbuh positif. Namun, jika ditilik lebih detail di sektor pertanian, subsektor peternakan sebenarnya tumbuh negatif.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kontraksi di subsektor peternakan dipicu oleh turunnya permintaan unggas. Beda dengan subsektor lain, yakni tanaman pangan, hortikultura, dan jasa pertanian yang tumbuh positif, subsektor peternakan tumbuh minus 1,83 persen dibandingkan dengan periode yang sama (April-Juni) tahun lalu.
Data itu tergambar di lapangan. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah provinsi, guna menghambat penularan virus korona, menyumbat mobilitas dan menekan permintaan, termasuk permintaan terhadap produk peternakan, seperti daging dan telur ayam. Akibatnya, harga ayam dan telur ayam di tingkat peternak anjlok hingga jauh di bawah ongkos produksinya.
Di Jawa Barat, salah satu sentra produksi ayam pedaging nasional, harga ayam hidup di tingkat peternak anjlok hingga Rp 6.000-Rp 8.000 per kilogram pada pertengahan April 2020. Padahal, ongkos produksinya mencapai Rp 18.000 per kg, sementara harga acuan pembelian di tingkat peternak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 ditetapkan Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Hingga tiga bulan kemudian, situasi belum banyak berubah, harga jual ayam di tingkat peternak masih tertekan. Selain faktor permintaan, anjloknya harga jual ayam hidup mengindikasikan pasar kelebihan pasokan.
BPS mencatat deflasi 0,05 persen pada Agustus 2020. Penurunan indeks harga konsumen (deflasi) dipicu oleh penurunan harga sejumlah kelompok pengeluaran, terutama bahan makanan dan minuman serta transportasi, yang mengindikasikan lesunya permintaan di tengah pandemi Covid-19.
Kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau deflasi 0,86 persen pada Agustus 2020. Komoditas yang turun harga dan memberi andil deflasi, antara lain, adalah daging ayam ras, bawang merah, tomat, telur ayam ras, bayam, dan pisang.
Baca juga: Peternak Rakyat Makin Terdesak
Turunnya harga telur dan daging ayam ras tecermin dalam penurunan nilai tukar petani (NTP) subsektor peternakan sebesar 1,31 persen menjadi 98,64. Artinya, kesejahteraan peternak turun karena indeks harga yang diterima lebih rendah dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan peternak.
Protes peternak
Pada awal September 2020, Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) ”menggeruduk” Kementerian Pertanian untuk memprotes anjloknya harga ayam hidup. Ketika itu, harga jual ayam hidup di tingkat peternak berkisar Rp 14.000-Rp 15.000 per kg.
Unjuk rasa peternak menjadi hal yang jamak tiga tahun terakhir. Tak hanya di tingkat pusat, seperti di Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Istana Merdeka, protes juga digelar di daerah, khususnya di sentra produksi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Selain berorasi dan menggelar spanduk, protes dilakukan dengan membagi-bagikan ayam secara gratis kepada warga. Sejumlah asosiasi peternak juga mendatangi kementerian untuk menyuarakan tuntutan dan meminta jalan keluar. Itu karena tak sedikit peternak rakyat yang bangkrut dan gulung tikar, sementara problem terus berulang.
Solusi yang kerap ditempuh pemerintah adalah dengan menyeimbangkan produksi guna menyeimbangkan harga di hilir. Caranya, antara lain, melalui afkir dini dan program pengurangan bibit dan indukan ayam. Namun, situasi pasar masih saja asimetris, antara lain terlihat ketika harga di tingkat peternak anjlok, harga di tingkat konsumen tetap stabil.
Solusi itu nyatanya belum manjur. Harga jual ayam atau telur ayam di tingkat peternak masih berulang turun. Padahal, gejala dan permasalahannya sudah muncul sejak lebih dari lima tahun lalu.
Baca juga: Peternak Unggas Rakyat Bangkrut
Sejak Januari 2016 hingga Maret 2019, misalnya, Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia mencatat, harga rata-rata bulanan ayam hidup di tingkat peternak lebih sering jatuh di bawah ketimbang di atas ongkos produksi. Dari total 38 bulan selama kurun itu, harga anjlok di 21 bulan di antaranya.
Janji permanen
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian atau Kementan menyiapkan regulasi guna memastikan kecukupan produksi dan kestabilan harga produk peternakan. Ketidakseimbangan produksi dan permintaan membuat harga hasil ternak terus berfluktuasi.
Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrulah, pandemi Covid-19 mengacaukan industri peternakan. Sejak awal pandemi, kelebihan pasokan unggas sangat besar, salah satunya karena permintaan daging ayam ras turun 40 persen.
Produksi relatif stabil, tetapi konsumsi turun.
”Produksi relatif stabil, tetapi konsumsi turun. Maka, terjadi kesenjangan suplai (dan permintaan). Inilah yang terjadi di (komoditas) unggas,” kata Nasrulah dalam forum diskusi publik yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Jumat (4/9/020).
Menurut Nasrulah, penyelesaian persoalan unggas tidak mudah. Aturan sudah ada, tetapi penegakannya minim dan tidak tegas. Dalam kondisi pandemi, ada tiga langkah yang dilakukan pemerintah untuk membenahi persoalan unggas. Upaya itu meliputi langkah darurat yang akan diterapkan setiap bulan.
Kelebihan suplai daging ayam akan dijembatani dengan meminta integrator (perusahaan peternakan terintegrasi) yang memiliki rantai dingin yang cukup untuk menyerap produksi peternak.
Kedua, langkah jangka pendek hingga Desember 2020, yakni stabilisasi harga unggas agar tidak anjlok. Langkah itu berupa afkir dini indukan ayam ras dan upaya lindung nilai. Ketiga, solusi permanen melalui aturan yang wajib dipatuhi dan diberlakukan mulai 1 januari 2021. ”Kami upayakan solusi permanen yang disepakati bersama. Pelaku perunggasan harus ikut,” katanya.
Menurut pengamat sosial ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Rochadi Tawaf, aturan yang dibuat pemerintah kerap setengah hati. Dalam era digital, permintaan di hilir meningkat seiring meningkatnya akses konsumen ke pasar. Namun, kebutuhan di hilir belum bisa dipenuhi oleh ternak hasil budidaya peternak rakyat yang masih kalah saing.
Baca juga: Kuldesak Peternak
Pandemi Covid-19 seharusnya jadi momentum untuk membenahi data berbasis internet. Apabila serius, pemerintah bisa menggunakan sistem itu untuk memperoleh data yang akurat. ”Perlu harmonisasi kebijakan dan inovasi secepat mungkin di sektor budidaya,” ujarnya.
Terkait dengan fluktuasi produksi, sejumlah asosiasi, akademisi, dan pengamat menilai, akurasi data menjadi kunci. Data produksi biang bibit, calon indukan, dan bibit ayam mesti terintegrasi. Jumlahnya tidak boleh terlalu berlebih atau sangat kurang untuk menjamin stabilitas harga. Problem jagung, harga pakan, dan obat juga menunggu penyelesaian.
Pekerjaan rumah lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan usaha di hilir. Peningkatan produksi ayam membutuhkan rumah pemotongan unggas, infrastruktur pendingin, dan industri pengolah yang memadai. Dengan demikian, hasil produksi bisa disimpan, dikelola, dan diolah jadi produk bernilai lebih tinggi.
Hal lain yang urgen adalah memastikan pasar bagi peternak unggas skala kecil yang mengupayakannya secara mandiri. Sebab, tanpa perhatian dan perlindungan dari pemerintah, mereka akan selalu kesulitan bertarung di pasar yang sama dengan perusahaan-perusahaan peternakan terintegrasi dengan modal besar.
Inisiatif yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui badan usahanya, PT Food Station Tjipinang Jaya, dengan menyerap susu produksi peternak Jawa Barat untuk program subsidi pangan bisa jadi contoh jalan keluar. Tahun lalu, Food Station menyerap 2 juta liter susu per bulan dari peternak yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) untuk program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus bagi 1,012 juta penerima manfaat di DKI Jakarta. Dengan program ini, peternak mendapat kepastian pasar dan harga jual hasil ternak yang layak, sementara masyarakat penerima subsidi mendapat asupan pangan bergizi dengan harga lebih terjangkau.
Berkaca dari situasi yang berulang menimpa peternak, problem fluktuasi harga jual tidak bisa diselesaikan dengan pemotongan produksi semata. Jalan pintas ini terbukti tidak berkelanjutan. Problem struktural mesti diselesaikan dengan merombak kebijakan perunggasan. Biar lebih adil bagi peternak kecil.