Indonesia punya target peran energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Meski dirasa mustahil target itu tercapai, kesadaran meningkatkan peran energi terbarukan layak didukung.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Setiap tahun, perusahaan migas raksasa asal Inggris, BP, merilis proyeksi konsumsi energi dan kecenderungan pemilihan sumber energi di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, ada kemiripan hasil proyeksi tersebut, yakni tren transisi dari energi fosil ke energi terbarukan yang lebih bersih, serta konsumsi gas bumi yang kian meningkat.
Dalam BP Energy Outlook 2020 disebutkan bahwa sumber energi terbarukan jenis bayu dan surya akan memimpin pertumbuhan tertinggi dalam 30 tahun ke depan. Selain faktor efisiensi teknologi yang kian pesat, tenaga surya dan bayu ada di mana-mana. Nyaris tak ada tempat yang tak diterpa angin atau tak disinari matahari kendati dengan intensitas yang berbeda-beda.
Indonesia adalah surganya sumber energi terbarukan. Data pemerintah menunjukkan potensi tenaga surya Indonesia mencapai 207.800 megawatt peak (MWp), tenaga bayu 60.600 MW, tenaga hidro 75.000 MW, serta tenaga panas bumi 25.400 MW. Potensi tersebut belum memasukkan tenaga arus laut dan bioenergi yang mana bahan bakar nabati, seperti biodiesel, ada di dalamnya.
Sayangnya, pemanfaatan sumber energi bersih di atas masih sangat minim. Hanya 2,3 persen atau setara dengan 10.100 MW saja dari total potensi semua jenis energi terbarukan yang ada di Indonesia yang termanfaatkan. Indonesia masih bergantung pada pilihan sumber energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara.
Sayangnya, pemanfaatan sumber energi bersih di atas masih sangat minim. Hanya 2,3 persen atau setara dengan 10.100 MW saja dari total potensi semua jenis energi terbarukan yang ada di Indonesia yang termanfaatkan.
Per 2019, peran energi terbarukan sebesar 9,15 persen dalam bauran energi nasional. Sementara batubara masih dominan dengan porsi sebanyak 37,15 persen, sedangkan minyak dan gas bumi masing-masing berkontribusi sebesar 33,58 persen dan 20,12 persen. Total konsumsi beragam sumber energi pada 2019 tersebut mencapai 525,5 juta barel setara minyak (BOE).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional disebutkan, peran energi terbarukan akan terus ditingkatkan. Dari realisasi 9,15 persen pada 2019 akan naik menjadi 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Seiring dengan itu, peran batubara dan minyak diturunkan serta kontribusi gas bumi dinaikkan.
Apakah Indonesia mampu mencapai target 23 persen energi terbarukan pada 2025? Sulit, kalau tak ingin disebut mustahil. Angka 23 persen setara dengan kapasitas pembangkit listrik 45.000 MW. Padahal, kapasitas terpasang listrik energi terbarukan Indonesia baru sebesar 10.100 MW.
Masalahnya bukan itu saja. Kendati ada target peran energi terbarukan yang lebih tinggi dan porsi energi fosil dikurangi, di atas kertas yang terjadi justru sebaliknya. Kebutuhan batubara, minyak, dan gas bumi Indonesia di masa mendatang semakin besar secara volume meski secara persentase mengecil, khususnya batubara dan minyak.
Kenapa demikian? Penyebabnya adalah kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat seiring bertambahnya laju pertumbuhan pendudukan dan pertumbuhan ekonomi. Pada 2025, diproyeksikan kebutuhan energi di Indonesia mencapai 710,9 juta BOE dan melonjak lagi menjadi 1.423,8 juta BOE pada 2050. Dengan demikian, volume kebutuhan energi fosil akan turut naik.
Adalah fakta bahwa sesungguhnya ketergantungan kita terhadap energi fosil masih tinggi. Namun, (transisi) kesadaran untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan harus dihargai dan patut didukung.
Pada 2019, total volume minyak yang dikonsumsi dalam bauran energi nasional mencapai 176,4 juta barel dan akan melonjak menjadi 284,76 juta barel pada 2050 berdasar skenario kebijakan energi nasional. Begitu juga volume batubara akan naik dari 195,2 juta BOE pada 2019 menjadi 355,9 juta BOE pada 2050. Jelas bahwa meski secara persentase turun, kebutuhan minyak dan batubara secara volume justru meningkat di masa mendatang.
Tentu ini menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah transisi energi di Indonesia benar-benar nyata atau sekadar angka? Kendati peran energi terbarukan ditingkatkan, bukankah volume pemakaian energi fosil semakin besar? Apabila volume energi fosil yang dipakai semakin banyak, zat pencemar atau gas buang bakal semakin besar pula?
Adalah fakta bahwa sesungguhnya ketergantungan kita terhadap energi fosil masih tinggi. Namun, (transisi) kesadaran untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan harus dihargai dan patut didukung. Suhu bumi makin panas, udara kian kotor, dan energi fosil suatu saat pasti habis. Hanya ada satu pilihannya: energi terbarukan.