Kakao berpotensi menjadi komoditas ekspor unggulan bagi Indonesia. Namun, ada sejumlah kendala yang mesti diselesaikan di hulu, terutama terkait produktivitas, tata kelola kebun, dan kesejahteraan petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kakao dinilai berpotensi menjadi komoditas ekspor unggulan bagi Indonesia selain kelapa sawit. Namun, ada sejumlah kendala yang mesti diselesaikan di hulu, terutama terkait produktivitas, tata kelola kebun, dan kesejahteraan petani.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, produk perkebunan penghasil devisa bagi Indonesia masih didominasi kelapa sawit, yakni dengan nilai sekitar 22 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Adapun nilai ekspor kakao mencapai 1,25 miliar dollar AS.
”Agar kinerja ekspor (perkebunan) berkelanjutan, (Indonesia) perlu diversifikasi. Kakao berpotensi menjadi komoditas andalan,” ujarnya saat diskusi dalam rangka Hari Kakao Indonesia, Rabu (16/9/2020).
Menurut Musdhalifah, akar masalah yang perlu diselesaikan untuk mengangkat kakao sebagai komoditas ekspor unggulan terletak di hulu. Produktivitas perkebunan kakao saat ini tergolong rendah, yakni sekitar 200 kilogram (kg) per hektar per tahun. Sementara kebutuhan kakao untuk bahan baku industri cenderung naik. Akibatnya, impor biji kakao untuk bahan baku industri dalam negeri terus naik.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah bahan baku lokal yang digunakan industri kakao nasional pada 2015 mencapai 318.348 ton, lalu merosot jadi 196.787 ton pada 2019. Sebaliknya, impor kakao melesat dari 53.372 ton tahun 2015 jadi 234.894 ton pada 2019.
Musdhalifah mengusulkan pembentukan lembaga semacam badan pengelola dana perkebunan khusus untuk kakao. Badan ini akan mengenakan pungutan ekspor produk kakao olahan. Dana terkumpul dikelola untuk meremajakan perkebunan serta meriset kakao dengan tujuan meningkatkan produktivitas.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Dwiatmoko Setiono menilai, perkebunan dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan biji kakao sebagai bahan baku industri pengolahan.
”Saat ini, sebanyak 95 persen perkebunan kakao merupakan perkebunan rakyat dengan rata-rata tiap pemilik mengelola 1 hektar. Perlu pengelolaan kebun dengan prinsip korporasi agar peningkatan produksi tercapai,” ujarnya.
Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi, pemerintah tengah fokus meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan 7 persen per tahun, salah satunya kakao. Perkebunan kakao membutuhkan peremajaan, rehabilitasi, dan perluasan.
Dengan perbaikan di hulu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menilai, Indonesia dapat menjadi produsen kakao olahan terbesar di dunia. Dia berpendapat, penguatan kemitraan antara industri pengolahan dan kelompok petani dapat meningkatkan produksi biji kakao.
Meskipun demikian, kata Edy, Kementerian Perindustrian telah mengusulkan penghapusan bea masuk biji kakao impor yang menurut rencana diberlakukan pada 2022. ”Hal ini demi menjaga daya saing industri pengolahan kakao,” ujarnya.
Terjegal label
Di sisi lain, ekspor produk kelapa sawit berpotensi terjegal oleh label free palm oil atau bebas minyak kelapa sawit. Deputi Direktur Eksekutif Dewan Negara-negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) Dupito D Simamora mengatakan, Indonesia mesti mewaspadai dan mengawasi penyusunan dan perumusan skema pelabelan pangan oleh Uni Eropa.
Dia menuturkan, CPOPC bersurat kepada Kraft Heinz karena ada kampanye pemasaran yang menyudutkan kelapa sawit. Selain itu, CPOPC juga bersurat kepada IKEA karena menjual buku anak-anak yang dinilai memberikan informasi yang salah mengenai kelapa sawit.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan, pelabelan dan kampanye negatif mengenai kelapa sawit mesti disikapi dengan menunjukkan pemenuhan standar-standar dan prinsip-prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). ”Kita tidak boleh lengah terhadap label-label ini,” ujarnya.