Badan Pengelola Energi Terbarukan Diusulkan Dibentuk
Potensi besar energi terbarukan di Indonesia kurang berkembang. Penyusunan rancangan undang-undang tentang energi terbarukan diharapkan dapat mengoptimalkan pengembangan tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Panel-panel sel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019). Penggunaan PLTS Sengkol serta dua PLTS lain, yakni PLTS Selong dan PLTS Pringgabaya di Lombok Timur yang masing-masing berkapasitas 5 megawatt, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan yang tergabung dalam asosiasi pengembang energi terbarukan mengusulkan pembentukan badan pengelola energi terbarukan di Indonesia. Pembentukan badan tersebut diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian target energi terbarukan di Indonesia.
Pembentukan badan diusulkan ditampung dalam draft rancangan undang-undang (RUU) tentang energi terbarukan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2019-2024. Usulan tersebut sebagai bahan penyusunan RUU tentang energi terbarukan yang saat ini masih dibahas oleh Komisi VII DPR.
Usulan tersebut disampaikan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma dan Ketua Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Wiluyo Kusdwiharto dalam rapat dengar pendapat umum di DPR, Kamis (17/9/2020). Rapat tersebut juga dihadiri Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka.
Menurut Surya Darma, badan pengelola tersebut bertugas menyusun strategi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dalam rangka mencapai target yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pada 2025 mendatang peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sedikitnya adalah 23 persen. Kondisi saat ini, peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru sekitar 9 persen.
”Badan pengelola juga bertugas untuk mengoordinasikan perencanaan dan pengadaan energi terbarukan dengan badan usaha, baik swasta maupun milik negara. Konsep badan pengelola energi terbarukan ini belum terakomodasi dalam RUU energi terbarukan,” ucap Surya Darma.
Badan pengelola energi terbarukan akan memastikan efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha dan pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia.
Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual. Selain ramah lingkungan, penggunaan panel surya juga menghemat biaya penggunaan listrik bulanan yang pada akhirnya menguntungkan konsumen.
Hal yang sama disampaikan Wiluyo. Ia berpendapat, badan pengelola energi terbarukan akan memastikan efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha dan pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia.
Badan tersebut juga bertanggung jawab dalam mengelola proses transisi pemanfaatan dari energi fosil ke energi terbarukan. Selain itu, perlu diatur skema pemberian insentif fiskal dan nonfiskal terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Insentif tersebut diberikan kepada badan usaha yang mengembangkan energi terbarukan, pemerintah daerah yang menggunakan energi terbarukan secara sukarela, dan badan usaha yang mengembangkan teknologi energi terbarukan dalam rangka meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” ujar Wiluyo.
Menanggapi masukan tersebut di atas, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar Dyah Roro Esti mengusulkan perlunya diatur pengenaan pajak karbon (carbon tax) dalam RUU tersebut. Pajak karbon dikenakan terhadap sumber energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara. Diharapkan, pengenaan pajak tersebut dapat menciptakan harga listrik energi terbarukan yang lebih bersaing.
”Sebab, apabila harga listrik energi terbarukan kalah bersaing dari listrik yang dihasilkan dari pembakaran batubara (sumber energi fosil), pengembangan energi terbarukan sulit diharapkan maju,” kata Dyah.
Perlu ditetapkan mekanisme tarif listrik dari energi terbarukan dan pertimbangan keekonomian jual beli tenaga listrik energi terbarukan bagi PLN.
Grafis realisasi pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan di Indonesia hingga 2019 dan target di 2020.
Abdul Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa menambahkan, energi terbarukan harus mampu memberikan kepastian keandalan pasokan, khususnya bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selaku satu-satunya pembeli tenaga listrik yang dihasilkan pembangkit. Selain itu, perlu ditetapkan pula mekanisme tarif listrik dari energi terbarukan dan pertimbangan keekonomian jual beli tenaga listrik energi terbarukan bagi PLN.
”Semua ini bergantung pada PLN selaku pembeli tenaga listrik energi terbarukan yang dihasilkan. Harus memenuhi persyaratan keandalan pasokan dan tarif listrik, serta memenuhi syarat keekonomian dari sisi bisnisnya,” ucap Abdul Wahid.
Sementara itu, Mike menyampaikan apresiasinya lantaran perwakilan perempuan diundang untuk dimintai masukan dalam penyusunan RUU tersebut. Selama ini, suara kaum perempuan kurang diakomodasi. Padahal, perempuan banyak bersinggungan dengan energi dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum, pengembangan energi terbarukan di Indonesia belum begitu optimal. Dari total potensi energi terbarukan di Indonesia yang mencapai 439.000 megawatt (MW), pemanfaatannya baru sekitar 10.100 MW.
Dalam bauran energi pembangkit listrik Indonesia, batubara masih sangat dominan sebesar 63,92 persen per Mei 2020. Adapun peran energi terbarukan hanya sebesar 14,95 persen dan sisanya adalah gas bumi dan bahan bakar minyak.