Rentetan surplus neraca perdagangan tak menggembirakan. Pelaku pasar modal justru merespons negatif, sehingga IHSG terjerembab.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati kembali surplus untuk keempat kalinya selama pandemi, neraca perdagangan Indonesia menyimpan persoalan serius yang menunjukkan buruknya fundamental ekonomi Indonesia. Untuk keluar dari kondisi ini, diperlukan langkah terobosan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri, mereformasi industri, dan meningkatkan kinerja perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama pandemi, Indonesia telah membukukan surplus neraca perdagangan selama empat bulan terakhir berturut-turut. Pada Mei 2020, neraca perdagangan surplus 2,01 miliar dollar AS, pada Juni 2020 surplus 1,25 miliar dollar AS, dan pada Juli 2020 surplus 3,24 miliar dollar AS.
Pada Agustus 2020, neraca perdagangan kembali surplus 2,33 miliar dollar AS kendati nilainya menurun dibandingkan posisi bulan Juli. Surplus ini dari nilai ekspor 13,07 miliar dollar AS yang lebih tinggi dibandingkan nilai impor 10,74 miliar dollar AS selama Agustus 2020.
Kepala BPS Suhariyanto, Selasa (15/9/2020), mengatakan, tren surplus neraca perdagangan tidak menggembirakan karena menunjukkan penurunan ekspor yang tajam akibat lemahnya permintaan global, serta menurunnya nilai impor khususnya bahan baku/penolong dan barang modal selama pandemi.
Tren surplus neraca perdagangan tidak menggembirakan karena menunjukkan penurunan ekspor yang tajam akibat lemahnya permintaan global, serta menurunnya nilai impor khususnya bahan baku/penolong dan barang modal selama pandemi.
Apalagi, kinerja ekspor pada Agustus 2020 menurun 4,62 persen dibandingkan Juli 2020 di mana capaian ekspor saat itu sempat naik untuk dua bulan berturut-turut. Penurunan ekspor ini terjadi di semua sektor, dengan penurunan terbesar di sektor migas (minus 9,94 persen) dan sektor industri pengolahan (minus 4,91 persen).
Ekspor produk pertanian yang dua bulan sebelumnya sempat meningkat, pun ikut turun 2,37 persen dengan nilai ekspor 340 juta dollar AS. Secara kumulatif, ekspor selama Januari-Agustus 2020 juga turun 6,51 persen.
"Ini karena dampak permintaan negara-negara lain yang sudah lemah dan aktivitas ekonomi yang belum juga berjalan normal,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Seiring dengan menurunnya kinerja ekspor, impor pada Agustus 2020 meningkat dengan nilai 10,74 miliar dollar AS. Kondisi itu naik 2,65 persen dibandingkan Juli 2020. Peningkatan itu disebabkan naiknya impor barang konsumsi senilai 81,3 juta dollar AS (7,31 persen) dan bahan baku/penolong senilai 369,5 juta (5 persen). Adapun impor barang modal terus turun sebesar 8,81 persen dengan nilai 173,7 juta dollar AS.
Secara kumulatif, selama Januari-Agustus 2020, nilai impor untuk ketiga golongan barang itu terus menurun. Penurunan pada impor bahan baku/penolong dan barang modal menunjukkan kinerja produksi industri dan laju investasi yang ikut lesu selama pandemi.
Respons negatif pasar
Data impor yang lebih buruk dari perkiraan pasar membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab pada penutupan perdagangan, Selasa. Para investor juga memanfaatkan momentum kenaikan IHSG sebelumnya untuk ambil untung.
IHSG ditutup melemah 60,96 poin atau 1,18 persen ke posisi 5.100,87. Sepanjang perdagangan, frekuensi transaksi saham mencapai 647.260 kali dengan total volume 12,62 miliar lembar saham senilai Rp 7,98 triliun.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, investor asing mencatatkan aksi jual bersih hingga Rp 1,104 triliun. Sementara posisi kapitalisasi pasar di BEI pada perdagangan terakhir tercatat Rp 5.926 triliun.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, indeks saham bereaksi negatif terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia Agustus 2020. Meskipun neraca perdagangan surplus, jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya.
”Surplus yang lebih rendah dan kinerja ekspor impor RI juga hasilnya lebih rendah dari konsensus sehingga menyebabkan terjadinya aksi profit taking,” ujar Nafan.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal mengemukakan, selama perdagangan global masih terdampak pandemi, kinerja ekspor akan sulit untuk ditingkatkan. Oleh karena itu, untuk jangka pendek, pemerintah perlu fokus mendorong konsumsi domestik demi menggerakkan industri.
Penurunan impor bahan baku/penolong yang terjadi sejak Januari-Agustus 2020 menunjukkan, penurunan konsumsi domestik berdampak pada industri, sehingga permintaan atau impor untuk bahan baku dikurangi.
"Jadi solusi jangka pendek di depan mata adalah menggerakkan permintaan dalam negeri. Ketika secara umum permintaan swasta menurun, semestinya pemerintah melalui APBN bisa menciptakan pasar baru dan mendorong konsumsi lewat pengadaan barang/jasa," kata Faisal.
Jadi solusi jangka pendek di depan mata adalah menggerakkan permintaan dalam negeri. Ketika secara umum permintaan swasta menurun, semestinya pemerintah melalui APBN bisa menciptakan pasar baru dan mendorong konsumsi lewat pengadaan barang/jasa.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, kinerja ekspor yang sempat meningkat pada Juni dan Juli tidak signifikan karena lebih banyak dipengaruhi dua faktor yang sulit dikontrol.
Pertama, peningkatan permintaan atas komoditas emas. Kedua, pengaruh optimisme dari relaksasi kebijakan penguncian wilayah dan upaya normalisasi ekonomi di berbagai negara di dunia. “Karena itu, ekspor nasional sempat naik. Tetapi, kedua faktor ini ada di luar kendali kita,” ujarnya.
Reformasi industri
Menurut Shinta, untuk memperbaiki kinerja ekspor secara stabil dan berjangka panjang, diperlukan reformasi ekonomi secara struktural dan sistemik di dalam negeri. Reformasi diperlukan untuk mengubah struktur ekspor nasional yang saat ini didominasi komoditas, agar didominasi produk bernilai tambah yang kompetitif.
“Dengan demikian, ekspor kita memiliki kinerja yang lebih stabil dan tidak usah terganggu fluktuasi harga komoditas,” kata dia.
Reformasi, lanjut Shinta, juga harus dilakukan dari segi negara tujuan ekspor. BPS mencatat, selama pandemi, pangka tujuan ekspor Indonesia tidak banyak berubah. Ekspor pada Agustus 2020 masih banyak didominasi ke China, AS, Jepang, India dan Singapura.
Diversifikasi tujuan ekspor ke negara-negara nontradisional dibutuhkan jika ingin kinerja ekspor lebih stabil dan lebih cepat meningkat pasca krisis nanti. “Ini butuh banyak dukungan dari pemerintah, karena ekspor ke negara non-tradisional umumnya berisiko tinggi. Pelaku usaha belum familiar dengan pasar baru, dan rantai pasok dagangnya juga belum terbentuk efisien,” kata Shinta.