Indonesia menghadapi tantangan berat untuk keluar dari jebakan kelas menengah. Transformasi ekonomi harus hati-hati dengan menitikberatkan pemanfaatan teknologi pada sektor riil, bukan pada digitalisasinya.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menghadapi tantangan berat untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah di tengah siklus pertumbuhan yang tidak stabil. Fundamen ekonomi mesti diperkuat melalui transformasi plural dan berkelanjutan pada sektor riil.
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S Damanhuri, dalam Sarasehan 100 Ekonom yang digelar Indef dan CNBC Indonesia, Selasa (15/9/2020), mengatakan, siklus pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak stabil.
Setelah sempat hampir keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah, Indonesia kembali terperosok akibat krisis finansial 1997-1998. Kini, ketika Indonesia digolongkan sebagai negara berpendapatan menengah tinggi, ada catatan khusus terkait gagasan transformasi ekonomi digital.
Per 1 Juli 2020, Bank Dunia menggolongkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi (rentang pendapatan nasional bruto atau PNB per kapita 4.046-12.535 dollar AS), naik dari negara berpendapatan menengah rendah (PNB per kapita 1.036-4.045 dollar AS). Klasifikasi itu berdasarkan PNB per kapita 2019.
Menurut Didin, Indonesia termasuk plural dalam aspek sosial-ekonomi sehingga transformasi harus hati-hati. Jika hanya menitikberatkan pada ekonomi berbasis digital, yang cenderung homogen, Indonesia dikhawatirkan kian susah keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Sejak orde baru, struktur ekonomi telah bertransformasi, industri lebih dominan ketimbang pertanian. Namun, selama era reformasi terjadi kemunduran, peran industri turun. Fakta itu mengindikasikan kesalahan dalam transformasi.
Menurut dia, pemerintah tidak menganggap struktur ekonomi Indonesia plural. Kunci transformasi adalah teknologi. Oleh karena itu, transformasi yang plural diperlukan agar Indonesia keluar dari jebakan. Salah satu langkah yang mesti ditempuh adalah mendorong teknologi untuk memberikan nilai tambah guna menyokong kinerja sektor riil, dari pertanian hingga industri.
Didin mengatakan, Indonesia termasuk negara plural dalam aspek sosial-ekonomi sehingga transformasi harus hati-hati. Jika transformasi hanya menitikberatkan pada ekonomi berbasis digital yang cenderung homogen, jebakan kelas menengah dikhawatirkan semakin mengancam.
”Transformasi sejak masa Orde Baru sudah sampai ke struktur ekonomi di mana industri lebih dominan dari pertanian,” kata Didin.
Kontribusi industri terhadap perekonomian semasa Orde Baru mencapai 30 persen. Namun, terjadi kemunduran pada era Reformasi menjadi di bawah 20 persen. Fakta tersebut mengindikasikan ada kesalahan dalam transformasi di era Reformasi. Pemerintah tidak menganggap struktur ekonomi Indonesia plural.
Dari hasil penelitiannya, Didin menuturkan, kunci dari transformasi adalah teknologi. Kandungan teknologi dalam perekonomian cukup tinggi pada periode 1990-1998, tetapi semakin rendah pada era Reformasi, bahkan cenderung negatif. Pemanfaatan teknologi rendah sehingga industri tidak menciptakan nilai tambah.
”Selama Reformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dan segala teknologi ada di kota-kota besar, tetapi tidak ada nilai tambah. Teknologi dibutuhkan bukan pada aspek ekonomi digitalnya, tetapi industri,” kata Didin.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti menambahkan, ada 16 subsektor ekonomi yang kontribusinya terhadap perekonomian naik dari 48,32 persen tahun 2016 menjadi 53,04 persen tahun 2020. Hal itu sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pasar domestik. Namun, peningkatan kontribusi belum diikuti pertumbuhan produktivitas untuk mendorong daya saing global.
Peta jalan
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro menegaskan, pemerintah harus mempertajam arah peta jalan Visi Indonesia 2045. Dalam rumusan yang ada belum tergambar jelas arah kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri atau jasa.
”Transformasi ke depan semakin besar, apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun dan ada di jurang resesi,” kata Mudrajad.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia berbalik, dari tumbuh 2,97 persen pada triwulan I-2020 menjadi terkontraksi 5,32 persen. Indonesia akan masuk dalam resesi apabila pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 masih dalam zona negatif.
Mudrajad mengatakan, tantangan transformasi yang semakin berat perlu dibarengi penguatan struktur ekonomi. Permasalahan struktural mesti diatasi dengan mendorong penciptaan nilai tambah pada sektor riil. Penciptaan nilai tambah juga untuk mengakomodasi pertumbuhan kelas menengah di dalam negeri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, ada tujuh kebijakan prioritas pada 2020-2023, yaitu terkait program kesehatan, bantuan sosial, padat karya, relaksasi aturan, restrukturisasi UMKM, penempatan dana dan penjaminan, serta transformasi ekonomi berbasis digital.
Pandemi Covid-19 diyakini akan mempercepat transformasi digital. Potensi ekonomi digital di Indonesia mencapai 133 miliar dollar AS pada 2025. Transformasi digital menjadi penyangga atau ”enabler” untuk keluar dari jebakan kelas menengah. Untuk keluar dari jebakan itu, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi berkisar 5,7-6 persen setiap tahun.