Sebagian Pelaku Usaha Bertahan dengan Bantuan Pemerintah
Bantuan pemerintah bagi dunia usaha akan mendukung kelangsungan usaha. Bantuan itu diharapkan secepatnya disalurkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan untuk mempercepat penyaluran bantuan kepada pelaku usaha, khusus skala mikro, kecil, dan menengah. Tanpa bantuan dari pemerintah, sebagian pelaku usaha hanya mampu bertahan sampai dengan Oktober 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Kondisi usaha yang terpuruk akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat serta angka pengangguran dan kemiskinan.
Hal itu berdasarkan hasil survei ”Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha” oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 10-26 Juli 2020. Survei dilakukan kepada 34.559 orang di delapan pulau besar di Indonesia dengan responden terbanyak dari Jawa (16.391 orang) dan Sumatera (9.302 orang). Responden berlatar belakang usaha mikro-kecil (25.256 orang), usaha menengah-besar (6.821 orang), dan dari sektor pertanian (2.482 orang).
Hasil survei menunjukkan, Covid-19 memukul dunia usaha, baik skala mikro-kecil ataupun menengah-besar. Pendapatan 84 persen usaha mikro-kecil dan 82 persen usaha menengah-besar turun. Penurunan paling tajam terjadi di sektor akomodasi dan makan-minum, jasa lainnya, jasa transportasi dan pergudangan, konstruksi, industri pengolahan, dan perdagangan.
Kepala BPS Suhariyanto dalam paparan secara dalam jaringan, Selasa (15/9/2020), mengatakan, tren penurunan selama Juli 2020 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen. Kontraksi paling tajam terjadi di sektor transportasi dan pergudangan (-30,84 persen), akomodasi dan makan-minum (-22,02 persen).
”Artinya, mereka yang paling terdampak pada triwulan II masih mengalami kesulitan sampai memasuki bulan Juli (triwulan III) ini,” katanya.
Suhariyanto menambahkan, di tengah kondisi seperti itu, pelaku usaha mengaku tidak bisa bertahan lama. Jika tidak ada bantuan dari pemerintah bagi dunia usaha, sebanyak 42 persen pelaku usaha hanya bisa bertahan maksimal tiga bulan sejak Juli 2020, atau sampai dengan Oktober 2020. Sementara sebanyak 58 persen pengusaha mengaku bisa bertahan lebih lama dari itu.
”Angka 42 persen ini adalah angka yang besar dan perlu menjadi catatan penting agar berbagai program yang sudah dirancang pemerintah harus segera diimplementasikan dengan baik supaya pelaku usaha khususnya UMKM bisa lebih optimistis menghadapi pandemi,” kata Suhariyanto.
Jika tidak ada bantuan dari pemerintah bagi dunia usaha, 42 persen pelaku usaha hanya bisa bertahan maksimal tiga bulan sejak Juli 2020, atau sampai dengan Oktober 2020.
Survei BPS menunjukkan, jenis bantuan yang dibutuhkan pelaku usaha adalah keringanan tagihan listrik. Khusus usaha mikro-kecil, bantuan yang paling dibutuhkan adalah bantuan modal usaha (69,02 persen), sedangkan untuk usaha menengah-besar, bantuan yang paling dibutuhkan adalah relaksasi atau penundaan pembayaran pinjaman (40,32 persen).
”Hal ini menjadi gambaran untuk mengevaluasi berbagai program yang ada di Pemulihan Ekonomi Nasional agar benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan oleh pelaku usaha,” kata Suhariyanto.
Baca juga : Hindari PHK, Inovasi Pelaku Usaha dan Insentif Pemerintah Harus Jalan
Sampai dengan 31 Agustus 2020, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk program insentif usaha baru terserap Rp 18,85 triliun dari pagu Rp 120,61 triliun dan pembiayaan korporasi belum terserap sama sekali dari pagu yang dialokasikan sebesar Rp 53,57 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, realisasi penyaluran bantuan produktif untuk usaha mikro UMK saat ini mencapai 60,9 persen atau Rp 13,4 triliun dari total dana Rp 22 triliun. Dari target 12 juta orang calon penerima, sejauh ini bantuan produktif sudah diberikan kepada 5,5 juta orang.
Sementara realisasi penyerapan anggaran PEN untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah mencapai 91,4 persen dari pagu Rp 123,47 triliun. Berbagai program tersebut akan diperpanjang sampai Desember 2020.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dunia usaha perlu dibantu untuk menghindari kasus-kasus ketenagakerjaan, seperti pemutusan hubungan kerja, karyawan dirumahkan, atau pemangkasan gaji di bawah standar minimum. Meski demikian, penyaluran bantuan untuk dunia usaha harus dilakukan secara selektif dan tepat sasaran.
Dunia usaha perlu dibantu untuk menghindari kasus-kasus ketenagakerjaan, seperti pemutusan hubungan kerja, karyawan dirumahkan, atau pemangkasan gaji di bawah standar minimum.
Sebab, masih ada sektor dan perusahaan tertentu yang sebenarnya masih sanggup menghadapi dampak pandemi Covid-19. ”Harus ada syarat-syarat yang menyertai, misalnya pelaku usaha yang belum melakukan PHK terhadap karyawannya selama pandemi, atau memang pelaku usaha yang sektornya paling terdampak Covid-19,” katanya.
Baca juga : Berpacu Melawan Resesi
Dampak PSBB
Menurut Suhariyanto, implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Sebab, sumbangan perekonomian Ibu Kota sebesar 17-18 persen dari struktur produk domestik bruto (PDB) nasional.
Meski demikian, dampak PSBB, yang kali ini tidak seketat PSBB pertama, tidak akan terlalu dalam terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan III dan IV.
”Sebetulnya PSBB ini bukan PSBB total. Untuk kantor saja masih bisa masuk 25 persen, restoran dan sektor makanan minuman juga masih boleh buka asal dibawa pulang,” katanya. (Age)