Lemahnya tata niaga garam nasional membuat nasib petambak garam selalu diliputi ketidakpastian setiap musim panen dan kian sulit bangkit dari jerat kemiskinan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Mulai September 2020, berlangsung musim panen raya garam. Sejatinya, petambak garam Tanah Air bisa menikmati hasil panen. Namun, nasib petambak garam kini terpuruk.
Produksi garam dalam negeri sangat dipengaruhi iklim. Cuaca kemarau menjadi pertanda hasil panen bagus. Sebaliknya, jika kemarau basah, hasil produksi tidak optimal. Faktor lain, mekanisme pasar. Ketika produksi tidak optimal, harga jual ikut terkerek naik. Demikian pula sebaliknya.
Musim produksi tahun ini mundur dari Juni menjadi Juli akibat kemarau basah. Panen raya yang juga mundur menjadi September diperkirakan tidak mampu mengejar target produksi. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah merevisi target produksi garam nasional tahun ini dari 2,5 juta ton menjadi 1,5 juta ton. Hingga 26 Agustus 2020, hasil panen tercatat baru 105.036 ton.
Musim produksi tahun ini mundur dari Juni menjadi Juli akibat kemarau basah. Panen raya yang juga mundur menjadi September diperkirakan tidak mampu mengejar target produksi.
Di tengah menurunnya produksi garam nasional, harga garam rakyat juga anjlok. Harga garam kian anjlok seiring bertambahnya produksi dan seretnya penyerapan garam. Pemicunya, antara lain, masih berlimpahnya garam sisa produksi tahun lalu. Alokasi impor garam yang terus meningkat dalam dua tahun terakhir menyebabkan stok garam menumpuk.
Pada 2018, ketika produksi garam merosot, harga garam petambak sempat menyentuh Rp 1.850 per kilogram (kg). Tahun 2019, harga garam kualitas terbaik di tingkat petambak berkisar Rp 700 per kg-Rp 800 per kg di awal musim panen, tetapi akhirnya turun menjadi Rp 400 per kg-Rp500 per kg. Tahun ini, harga garam rakyat hanya Rp 250 per kg-Rp 400 per kg atau 13 persen dari harga pada 2018.
Sejak Juli 2019, pemerintah melalui Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah memutuskan perlunya penetapan harga pokok pembelian (HPP) garam. Sementara itu, usulan agar komoditas garam masuk sebagai kelompok barang pokok dan barang penting terus dibahas lintas kementerian. Namun, hingga kini belum ada hasil nyata.
Lemahnya tata niaga garam nasional membuat nasib petambak garam selalu diliputi ketidakpastian setiap musim panen dan kian sulit bangkit dari jerat kemiskinan.
Lemahnya tata niaga garam nasional membuat nasib petambak garam selalu diliputi ketidakpastian setiap musim panen dan kian sulit bangkit dari jerat kemiskinan. Di tengah kejatuhan usaha, sejumlah tambak kini dibiarkan terbengkalai. Tak dimungkiri, jumlah petambak juga terus menurun.
Dari data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), jumlah petambak garam di Indonesia dari 30.668 jiwa pada 2012, turun menjadi 21.050 jiwa pada 2016.
Sementara itu, polemik data produksi dan kebutuhan garam nasional masih terus terjadi. Keputusan impor juga menyebabkan kegaduhan. Di sisi lain, produksi garam rakyat juga menghadapi tantangan untuk meningkatkan kualitas dan mencukupi kebutuhan industri.
Untuk mendorong serapan dan mengurai persoalan kualitas, KKP telah membangun gudang garam nasional dan pabrik pengolahan dan pencucian garam. Namun, jumlah gudang masih belum memadai. Sementara pabrik pengolahan kapasitasnya terbatas dan ditargetkan baru beroperasi akhir tahun.
Kini, di tengah keterpurukan usaha tambak garam rakyat, diperlukan gerak cepat dan keseriusan pemerintah untuk membenahi hulu-hilir pergaraman nasional dan menyelamatkan nasib petambak. Semoga kita tidak sedang menunggu godot tata kelola pergaraman.