Film In The Heart of Sea yang dibintangi Christopher Hemsworth mengisahkan perburuan paus untuk diambil minyaknya. Film berlatar belakang tahun 1820 ini menunjukkan betapa berharganya minyak paus sebagai bahan bakar. Untuk memperolehnya harus memburu ke laut lepas yang terkesan tiada bertepi.
Perburuan paus terhenti tatkala minyak bumi mulai ditemukan pada awal abad ke-20. Manusia tak perlu lagi berlayar berbulan-bulan memburu paus dengan risiko kapal dihantam badai, karam, terdampar, bahkan kehilangan nyawa. Begitulah gambaran salah satu potongan cerita dalam film yang diluncurkan pada 2015 itu.
Menambang di ladang atau perut bumi bukan lantas menjadi mudah. Manusia bahkan harus kembali ke laut lepas saat cadangan minyak bumi di daratan mulai menipis, bahkan tak menghasilkan apa-apa. Itulah yang terjadi di Indonesia kini. Sempat mencatatkan produksi minyak melampaui konsumsi, kini situasi berbalik. Indonesia defisit minyak.
Baca juga: Kaji Ulang Mekanisme Penetapan Harga Biodiesel
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional mencapai 1,5 juta barel per hari. Sementara produksi minyak di Indonesia saat ini kurang dari 750.000 barel per hari. Kekurangan itu ditutup dari impor, baik berupa minyak mentah maupun BBM.
Disebutkan, ada 128 cekungan (basin) di wilayah Indonesia. Sejauh ini, baru 20 cekungan yang berhasil diproduksikan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Sebanyak 70 cekungan sama sekali belum diteliti, sedangkan sisanya diindikasikan mengandung hidrokarbon, dry hole (tidak mengandung hidrokarbon), atau sudah ditemukan, tetapi belum diproduksikan. Sebagian besar cekungan terletak di perairan laut dalam di wilayah Indonesia bagian timur.
Kekurangan itu ditutup dari impor, baik berupa minyak mentah maupun BBM.
Minyak sawit
Pada 2008, Indonesia mulai menguji coba penggunaan minyak sawit (CPO) sebagai bahan dasar biodiesel. Biodiesel ini selanjutnya dicampurkan ke dalam minyak solar. Dalam satu liter pencampuran, komposisinya 2,5 persen biodiesel dan sisanya solar murni. Dengan kata lain, dalam seliter campuran tersebut mengandung biodiesel sebanyak 25 mililiter (B-2,5).
Penelitian dikembangkan. Secara bertahap, kadar campuran biodiesel dinaikkan. Pada 2010, kadar biodiesel naik menjadi 7,5 persen (B-7,5) dan 10 persen (B-10) pada 2014. Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Pada 2015, kadar pencampuran biodiesel meningkat menjadi 15 persen (B-15).
Secara bertahap, kadar campuran biodiesel dinaikkan.
”Kami terus meneliti dan menguji coba kemungkinan pemanfaatan biodiesel sebagai sumber bahan bakar minyak nabati. Seluruh penelitian dilakukan di sini,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan peraturan menteri tersebut, Indonesia seharusnya menerapkan B-30 per 1 Januari 2020. B-30 berarti dalam seliter BBM mengandung 30 persen biodiesel dan 70 persen solar murni. Namun, pemerintah berhasil mempercepat penggunaan B-30 pada November 2019 yang sudah mulai dipasarkan PT Pertamina (Persero) di beberapa lokasi.
Menurut catatan pemerintah, program B-30 berhasil menghemat devisa 3,35 miliar dollar AS pada 2019. Pada tahun itu, biodiesel yang dimanfaatkan 8,37 juta kiloliter. Dengan demikian, minyak sebanyak itu tak perlu lagi diimpor karena diganti CPO.
Baca juga: Hasil Pengujian Menjanjikan, Pengembangan Bahan Bakar Berbasis Kelapa Sawit Berlanjut
Tahun ini, pemerintah menargetkan pemanfaatan 10 juta kiloliter biodiesel.
Rencana pencampuran tak berhenti di B-30. Saat ini, Balitbang Kementerian ESDM sedang menguji pemanfaatan B-40. Pengujian dilakukan dengan memakai B-40 pada mesin selama 1.000 jam. Ditargetkan, uji laboratoium B-40 selesai pada November 2020.
”Metode uji ketahanan yang kami gunakan sudah mendapat persetujuan bersama dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) dan Ikabi (Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia),” kata Ketua Tim Pengkajian B-40 Sylvia Ayu Bethari.
Dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, pemanfaatan biodiesel sebagai campuran bahan bakar turut mendongkrak harga CPO. Program bahan bakar nabati ini menjadi salah satu faktor penyeimbang antara pasokan dan permintaan CPO di pasaran. Apalagi, pandemi Covid-19 turut memengaruhi stabilitas pasar CPO.
”Program biodiesel menjadi faktor kunci menjaga kestabilan harga CPO. Apalagi, harga CPO tahun ini berkisar 650 dollar AS per ton, masih lebih baik daripada tahun lalu yang di bawah 600 dollar AS per ton,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang, dalam webinar, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Ketahanan Energi Perlu Ditopang Energi Terbarukan
Tahun lalu, produksi CPO Indonesia 47,1 juta kiloliter, yang diperkirakan turun menjadi 46 juta kiloliter pada tahun ini. Produksi tersebut jauh di atas rata-rata konsumsi solar bersubsidi setiap tahun, yakni sekitar 15 juta kiloliter.
Apakah mungkin solar murni digantikan sepenuhnya dengan biodiesel sehingga menjadi bahan bakar B-100? Tidak ada yang tidak mungkin. Barangkali tinggal menunggu waktu dan pada saatnya menambang minyak tak lagi mengebor perut bumi hingga ke laut lepas. Cukup dari kebun. (APO)