Generasi milenial memandang kondisi di masa pandemi ini sebagai peluang.
Oleh
andreas maryoto
·4 menit baca
Di masa pandemi seperti sekarang, salah satu hal yang banyak dibahas adalah perilaku setiap generasi merespons krisis. Pada awal pandemi Covid-19, pembahasan ini telah bermunculan dan memberi masukan yang berharga bagi pebisnis. Kini, ketika pandemi berlangsung lebih dari enam bulan, kajian tentang perkembangan respons generasi tetap menarik, terutama tentang pandangan terhadap masa depan. Ke mana milenial hendak melangkah?
Beberapa fenomena milenial tertangkap beberapa lembaga riset. Mereka, antara lain, memasuki dunia investasi keuangan sebagai respons terhadap ketidakpastian. Mereka juga kembali fokus pada gerakan menangani perubahan iklim, mengembangkan usaha rintisan sebagai peluang di tengah kecenderungan orang tidak keluar rumah dan mengurangi kontak, serta beberapa perkembangan lain. Umur mereka yang berkisar 20-40 tahun menarik dicermati karena sangat produktif dan inovatif, tetapi juga bisa memunculkan masalah.
Laporan di laman Business Insider menyebutkan, investor muda tengah memenuhi pasar. Kemudahan akses pasar karena teknologi digital dan keterpaksaan bekerja dari rumah membuat mereka mengonfigurasi ulang pengeluaran sehingga memilih memasuki investasi pasar keuangan. Sebanyak 47 persen milenial yang disurvei mengaku menjadi investor. Pada Maret-April tahun ini, di salah satu broker di Amerika Serikat, ada 780.000 pembukaan akun baru. Di broker lain terjadi penambahan 3 juta akun yang separuh di antaranya baru pertama kali berinvestasi.
Pandemi juga mendorong milenial makin fokus pada masalah perubahan iklim. Sebelum pandemi, perubahan iklim telah menjadi perhatian mereka. Kini, mereka makin yakin pandemi muncul sebagai akibat perubahan iklim yang lebih cepat. Oleh karena itu, mereka memilih mengambil langkah lebih keras dan lebih signifikan.
Laporan di laman The Economic Times yang berbasis di India menyebutkan, pandemi menyebabkan sekitar 40 persen milenial memilih diet bahan makanan berbasis nabati. Mereka adalah generasi yang melek informasi dan mau membayar lebih untuk sesuatu yang diinginkan. Milenial memandang krisis sebagai peluang. Tidak mengherankan jika usaha rintisan, seperti di Indonesia dan Singapura, malah mendapat pendanaan.
Laman The Strait Times menyebutkan, pada masa yang sulit seperti saat ini malah memunculkan beberapa peluang. Beberapa investor masuk di usaha rintisan seperti Karana yang memproduksi daging berbasis bahan nabati dengan nilai 1,7 juta dollar AS dan usaha rintisan pengelolaan finansial StashAway senilai 16 juta dollar AS. Di Indonesia, sebuah usaha rintisan yang memproduksi daging berbasis bahan nabati juga mulai muncul. Mereka mulai melakukan riset dan mengajak peminat berkolaborasi.
Pada saat hampir semua sektor terdisrupsi, milenial memunculkan inovasi dan tren baru, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Mereka seperti diingatkan pada masa lalu. Pada 2008, ketika terjadi krisis finansial global, usaha rintisan malah bermunculan di berbagai belahan dunia, seperti Uber, Whatsapp, dan Airbnb. Sekitar 500 usaha rintisan yang bermitra dengan salah satu perusahaan pendanaan muncul pada saat terjadi kondisi ekonomi melemah.
Pada masa yang sulit seperti saat ini malah memunculkan beberapa peluang.
Namun, investor semakin detail mengamati usaha rintisan yang hendak didanai, seperti kualitas tim, tipe produk, tipe layanan, dan ketahanan model bisnis saat pandemi dan setelah pandemi.
Semua itu mengisyaratkan milenial mempunyai kekuatan sebagai agen revolusi di berbagai bidang di tengah krisis yang mengimpit. Di ekosistem yang benar, mereka bisa berbuat banyak untuk bertahan di tengah pandemi dan berubah secara signifikan. Pemerintah dan investor perlu menjaga keberadaan dan dinamika mereka agar terus bergerak pada upaya-upaya positif, bahkan bisa digerakkan untuk menangani berbagai masalah yang muncul akibat pandemi.
Tenaga dan pikiran mereka sungguh melimpah. Sayang jika terbuang percuma. Mereka juga bisa berbalik menjadi destruktif. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan, bagaimana pemerintah memandang mereka?
Pada saat pandemi Covid-19, sebagian besar milenial dan generasi berikutnya, yaitu generasi Z, juga tengah menanggung masalah, seperti pemutusan hubungan kerja, pengurangan penghasilan, dan sebagian menjadi korban dari pandemi. Pemerintah perlu memastikan jaring pengaman sosial menjangkau mereka.
Program-program pemberdayaan perlu menyentuh mereka. Komunikasi pemerintah perlu didesain kreatif dan mengena pada mereka. Setidaknya pemerintah harus bisa membaca pandangan milenial terhadap kebijakan selama ini. Kegagalan mengetahui keinginan mereka bisa memunculkan masalah yang pelik.
Dari riset Pew Research Center di AS, sekitar 70 persen anak muda masih berharap pemerintah melakukan tindakan lebih untuk menyelesaikan pandemi. Namun, beberapa pendapat ahli mengingatkan, tidak sedikit milenial mengalami frustrasi dan marah karena mereka tak mengetahui seberapa lama pandemi mendera. Mereka juga mengkritik kegalauan pemerintah dalam menangani pandemi. Di AS, tidak sedikit anak muda merasa terpinggirkan dan menjadi korban ketidakadilan. Pandemi telah membentuk dan menyolidkan identitas politik mereka. Gerakan milenial di Indonesia sepertinya juga perlu mendapat perhatian, sebelum mereka memilih langkah destruktif. (ANDREAS MARYOTO)