Deflasi yang terjadi di Sulsel harus disikapi dengan langkah strategis yang melibatkan pemerintah dan pelaku ekonomi serta masyarakat. Jika dibiarkan, deflasi akan melemahkan sektor produktif.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berdampak pada berbagai sektor ekonomi di Sulawesi Selatan menyebabkan terjadi deflasi hingga 0,10 persen. Untuk menekan hal ini dan mencegah resesi, pemerintah diminta mempercepat belanja pembangunan. Para pelaku ekonomi lain pun diminta turut bergerak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulsel, pada Agustus lalu, deflasi mencapai 0,10 persen atau terjadi penurunan indeks harga konsumen (IHK) dari 104,87 menjadi 104,76. Dari lima kota yang menjadi sampel IHK di Sulsel, semuanya mengalami deflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kota Parepare, yakni sebesar 0,24 persen, dan terendah terjadi di Bulukumba sebesar 0,04 persen.
Deflasi disebabkan penurunan sebagian indeks kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,84 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,02 persen; kelompok transportasi sebesar 0,32 persen; serta kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 0,01 persen.
Terkait kondisi ini, pengamat ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, Prof Marzuki DEA, mengatakan, pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap sektor ekonomi harus segera mengambil langkah strategis jangka pendek ataupun panjang untuk mencegah resesi.
”Deflasi adalah suatu kondisi perekonomian yang sebenarnya tidak diharapkan karena termasuk dalam bagian penyakit ekonomi. Deflasi dapat melemahkan sektor produktif sehingga jika dibiarkan akan berdampak berat bagi perekonomian. Ada banyak faktor penyebab deflasi, tapi umumnya adalah rendahnya daya beli masyarakat,” tutur Marzuki, di Makassar, Jumat (11/9/2020).
Menurut Marzuki, dibutuhkan kebijakan dari pelaku ekonomi, khususnya pemerintah sebagai pelaku ekonomi utama yang paling bertanggung jawab mengatasi masalah ini. ”Pemerintah harus mengambil langkah strategis jangka pendek maupun panjang, baik dari sisi regulasi ataupun keuangan, termasuk dukungan kekuasaan yang dipercayakan rakyat,” katanya.
Strategi ini, lanjut Marzuki, di antaranya melalui belanja-belanja yang disiapkan untuk digunakan segera, baik untuk keperluan rutin maupun nonrutin, utamanya untuk belanja pembangunan. Sebarannya dapat bermacam-macam, mulai dari pajak, retribusi, hingga pendapatan lainnya. Termasuk juga pinjaman-pinjaman dari dalam dan juga luar negeri.
”Masalahnya, memang saat ini sebaran belanja tersebut semakin terbatas akibat persoalan yang dihadapi oleh hampir semua pelaku ekonomi sehingga pendapatan negara juga terbatas,” ucap Marzuki.
Untuk mencegah ekonomi kian terpuruk, Marzuki mengatakan, diperlukan kerja sama semua pihak, tidak semata tanggung jawab pemerintah. ”Semua pelaku ekonomi dan nonekonomi mestinya ikut bertanggung jawab,” ujarnya.
Dia memaparkan, bagi konsumen yang masih mempunyai kemampuan belanja, jangan terlalu pelit berkonsumsi, tentu dengan tetap antisipasi simpanan. Para pengusaha pun diminta jangan terlalu mengambil sikap wait and see, sebaiknya kreatif melihat peluang-peluang potensial yang masih bisa untuk diusahakan.
Adapun pemerintah harus fokus dulu pembiayaan anggarannya untuk mendorong peningkatan pendapatan masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan belanjanya.
Terkait serapan anggaran, sejauh ini Sulsel telah mencapai 50 persen. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah pun optimistis, seiring dengan kondisi pandemi yang mulai melandai dan pengetatan protokol kesehatan, sejumlah sektor terutama industri jasa dan perdagangan di Makassar akan digenjot. Dia optimistis pada Oktober serapan anggaran bisa mencapai 70 persen.
Sekretaris Provinsi Sulsel Abdul Hayat menyebutkan, target belanja daerah Pemprov Sulsel setelah dilakukan refocusing dan realokasi anggaran, berdasarkan Keputusan Bersama Mendagri Nomor 119/2813/SJ dan Menkeu Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD 2020, adalah Rp 9,3 triliun. Sejauh ini, realisasi mencapai Rp 4,6 triliun atau sebesar 50,34 persen.
Belanja ini meliputi belanja operasional seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja aset, belanja BLUD, serta belanja tak terduga. ”Angka ini masih sesuai dengan target yang direncanakan, apalagi pekerjaan-pekerjaan fisik saat ini masih dalam tahap pencairan uang muka sehingga diprediksi pada triwulan III dan triwulan IV akan terealisasi hingga 70 persen,” kata Abdul.
Khusus untuk belanja penangan Covid-19 di Sulsel, realisasi meliputi pembayaran insentif senilai Rp 20,60 miliar untuk 4.731 tenaga kesehatan dan realisasi belanja penanganan Covid-19 lainnya sebesar Rp 1,58 miliar.
Di sektor perlindungan sosial, telah terealisasi pembayaran Program Keluarga Harapan se-Sulsel sebesar Rp 948,42 miliar untuk 2,18 juta keluarga; penyaluran bantuan bahan pokok untuk 4,35 juta keluarga sebesar Rp 829,28 miliar; penyaluran bantuan sosial tunai untuk 371.403 keluarga senilai Rp 222,84 miliar; serta penyaluran BLT dana desa sebesar Rp 865,60 miliar untuk 259.419 keluarga.