Usulan pembentukan Dewan Moneter dalam revisi UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berpotensi menjadi pintu masuk kepentingan politik dalam kebijakan moneter.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia dinilai sebagai upaya mengurangi independensi Bank Indonesia dalam mengelola kebijakan moneter. Keberadaan Dewan Moneter dikhawatirkan membuat bank sentral semakin bebas membeli surat utang negara yang diterbitkan pemerintah di pasar primer ataupun sekunder.
Kekhawatiran itu mencuat dalam diskusi ”Pembentukan Dewan Moneter: Skenario Merancang BI Menjadi Kasir Pemerintah dan Penalang Bank Bermasalah” secara virtual, Jumat (11/9/2020).
Berdasarkan catatan Kompas, pada Januari 2020, DPR memasukkan revisi UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU prioritas pada 2020. Namun, akhirnya ditunda hingga Prolegnas 2021.
Sementara pada awal Juli 2020, Badan Legislasi DPR memasukkan perubahan UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia dalam Prolegnas 2020 (Kompas, 7/7/2020).
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyampaikan, RUU Bank Sentral yang disiapkan sebagai pengganti UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia memasukkan pasal tentang pembentukan Dewan Moneter. Dewan ini diketuai Menteri Keuangan.
Situasi ini berpotensi melunturkan independensi BI dan membuat pemerintah leluasa campur tangan dalam kebijakan moneter.
Lebih jauh, lanjut Enny, adanya Dewan Moneter dianggap akan membuat bank sentral kian bebas membeli surat utang negara yang diterbitkan pemerintah di pasar primer ataupun pasar sekunder.
”Independensi bagi bank sentral merupakan praktik yang dlakukan hampir di seluruh dunia. Upaya mengurangi independensi BI sudah menyalahi atau tidak konsisten dengan aspirasi publik selama ini,” ujarnya.
Enny mengingatkan potensi perubahan persepsi pemodal terhadap rencana amandemen UU BI tersebut. Apabila disahkan, RUU ini berpotensi merusak sistem keuangan, bahkan akan memengaruhi persepsi pemodal asing.
Keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter, lanjut Enny, tetap perlu dijaga agar tidak membuat kepercayaan investor anjlok.
Indonesia punya ketergantungan hingga 40 persen terhadap dana investor asing. Jika persepsi pemilik modal asing memburuk, hal itu dapat membahayakan pasar keuangan. Apalagi, jika investor di pasar keuangan meninggalkan Indonesia.
”Ibarat sebuah mobil, agar berjalan harmonis, tombol gas dan rem harus ditekan pada waktu berbeda. Jadi, saat pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal, tugas BI menjadi stabilisator,” kata Enny.
Indonesia punya ketergantungan hingga 40 persen terhadap dana investor asing.
Ia menegaskan, perubahan UU BI jangan diarahkan untuk mengamputasi independensi BI yang berperan sebagai penjaga stabilitas sistem keuangan. Akan tetapi, diarahkan pada tiga hal yang lebih vital menyangkut kinerja bank sentral secara umum, yakni akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas.
Kepentingan politik
Dalam kesempatan yang sama, Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, usulan pembentukan Dewan Moneter dalam revisi UU BI berpotensi menjadi pintu masuk kepentingan politik. Kepentingan itu masuk melalui kebijakan-kebijakan moneter bank sentral.
”Kalau kepentingan politik masuk ke BI, bisa gawat. Pemisahan kepentingan politik dalam bank sentral sudah menjadi standar internasional untuk menghindari kasus bail out (dana talangan),” ujarnya.
Menurut Budiawan, pemerintah sebaiknya fokus pada urusan ketahanan fiskal yang terus merosot. Kondisi itu tecermin dari rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) per Juli 2020 yang sebesar 8,04 persen.
”Pada saat rasio pajak RI jadi salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang, defisit APBN membengkak di atas 3 persen tanpa batasan. Masalah fiskal ini seharusnya segera dibenahi pemerintah,” ujarnya.
Budiawan juga menyoroti langkah BI yang, menurut dia, telah mengucurkan dana talangan fiskal dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer dan berbagi beban dengan pemerintah dalam menangani pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Masalah fiskal ini seharusnya segera dibenahi pemerintah.
Siaran pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada 19 Agustus 2020 menyebutkan, BI melanjutkan komitmen pendanaan APBN tahun 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana, baik berdasarkan mekanisme pasar maupun secara langsung.
Sementara itu, Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan memaparkan, muncul pendapat yang menyebutkan hambatan koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Hal ini menjadi alasan pemerintah untuk masuk dalam urusan kebijakan moneter pada RUU BI.
Menurut dia, alasan tersebut tidak tepat. Sebab, saat ini koordinasi telah berjalan di dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
KSSK beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
”Substansi yang diperlukan saat ini justru reformasi fiskal serta membuat terobosan dalam mempermudah sistem birokrasi yang selama ini dinilai kaku,” kata Herry Gunawan.