Rencana Restrukturisasi Polis Jiwasraya Harus Transparan
Setelah bertahun-tahun menunggu, para nasabah korban Jiwasraya membutuhkan kejelasan dan transparansi soal rencana penyelamatan Jiwasraya melalui restrukturisasi polis dan pemindahan portofolio.
Oleh
Agnes Theodora/Dimas Waraditya
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) lewat restrukturisasi polis dan pemindahan portofolio harus dibuka sejelas-jelasnya kepada publik. Para nasabah korban Jiwasraya membutuhkan kejelasan dan transparansi setelah bertahun-tahun menunggu. Apalagi, program tersebut akan menggunakan uang negara melalui suntikan dana penyertaan modal negara.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai, pihak Jiwasraya dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) selaku induk yang bertugas menyelesaikan kewajiban Jiwasraya harus menjelaskan dengan rinci rencana restrukturisasi polis kepada para pemegang polis. Apalagi mengingat restrukturisasi itu juga akan menerapkan haircut atau pemotongan manfaat hingga 40 persen.
”Level pemotongan manfaat hingga 40 persen ini tergolong agresif, padahal dugaan sebelumnya pemotongan maksimal ada di angka 20 persen. Rencana pemotongan inilah yang harus dijelaskan dengan rinci,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Irvan yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Jiwasraya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Agustus lalu menilai, tujuan dari pemotongan manfaat nasabah adalah untuk menekan ekuitas negatif. Meski begitu, sampai sekarang, belum ada gambaran lebih detail mengenai teknis pemotongan restrukturisasi polis Jiwasraya tersebut.
Keterbukaan tidak hanya dibutuhkan terkait tujuan pemotongan manfaat, tetapi juga sasaran dari pemotongan manfaat, baik untuk nasabah asuransi kumpulan di badan usaha milik negara (BUMN) maupun nasabah perorangan, termasuk JS Saving Plan.
Sejauh ini, Jiwasraya baru membuka penawaran restrukturisasi polis kepada nasabah korporasi yang terdiri dari perusahaan BUMN, anak usaha BUMN, badan usaha milik daerah, dan perusahaan swasta. Proposal restrukturisasi polis itu belum disetujui mayoritas nasabah korporasi.
Di sisi lain, transparansi dalam skema penyelamatan Jiwasraya juga dibutuhkan karena akan menggunakan uang negara yang tidak kecil. Sebagai sumber dana, PT BPUI akan memanfaatkan suntikan penyertaan modal negara (PMN) Rp 20 triliun pada 2021.
Sumber lainnya adalah melalui penggalangan dana (fundraising) dari underlying dividen anak usaha PT BPUI lainnya sebesar Rp 4,7 triliun serta dari rencana divestasi Jiwasraya Putra yang diestimasi akan menghasilkan Rp 2 triliun.
Transparansi ini sempat menjadi sorotan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dan PT BPUI, Rabu (9/9/2020). Pasalnya, saat itu, muncul usulan agar detail rencana restrukturisasi polis Jiwasraya dibahas tertutup atau setengah kamar.
Belum disetujui
Direktur Utama PT BPUI Robertus Bilitea mengatakan, sampai saat ini, upaya restrukturisasi terus dilakukan Jiwasraya terhadap para pemegang polisnya. Apabila semua nasabah setuju, portofolio mereka yang sudah direstrukturisasi akan ditampung di anak usaha baru PT BPUI, Indonesian Financial Group Life (IFG Life).
Kendati demikian, mayoritas nasabah belum menyetujui restrukturisasi polis. Dari sekitar 180 nasabah korporasi Jiwasraya, baru 38 persen atau 70 perusahaan yang bersedia.
Dari sekitar 180 nasabah korporasi Jiwasraya, baru 38 persen atau 70 perusahaan yang bersedia restrukturisasi.
Robertus berasumsi, dari proses komunikasi yang dibangun antara tim Jiwasraya dan pemegang polis sejauh ini, negosiasi untuk menyetujui restrukturisasi polis bisa dicapai. ”Sudah ada 70 korporasi yang menyetujui pola restrukturisasi. Sisanya masih terus dijajaki,” katanya.
Menurut Direktur Bisnis PT BPUI Pantro Pander Silitonga, restrukturisasi polis dengan pemotongan manfaat dilakukan untuk mengurangi beban biaya penyelamatan Jiwasraya. Jika itu tidak dilakukan, liabilitas Jiwasraya akan semakin besar dan asetnya berkurang sehingga selisih ekuitasnya (equity gap) akan semakin tinggi.
Tanpa restrukturisasi polis nasabah dan pemotongan manfaat, pada akhir 2020, selisih ekuitas Jiwasraya diproyeksikan akan minus Rp 50,9 triliun. Jika hal itu terjadi, modal awal serta suntikan PMN yang dibutuhkan untuk program penyelamatan Jiwasraya menjadi semakin besar, yakni Rp 51,4 triliun.
Oleh karena itu, ujar Pantro, pemerintah memutuskan melakukan 100 persen restrukturisasi polis dengan pemotongan manfaat 40 persen. Dengan skenario itu, selisih ekuitas pada akhir 2020 diproyeksikan menjadi minus Rp 24,2 triliun. Modal awal serta suntikan PMN yang dibutuhkan pun cukup Rp 24,7 triliun.
Hitung-hitungan beban biaya penyelamatan Jiwasraya itu yang menyebabkan pemerintah akhirnya mengeliminasi opsi lain, termasuk opsi pemotongan manfaat sebesar 20 persen. ”Kami akan ambil skenario ini (haircut manfaat 40 persen). Ini sudah dibahas dan disetujui di level Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan,” ucapnya.
Jangan memberatkan
Menurut Irvan, program restrukturisasi polis jangan sampai memberatkan nasabah yang sudah terlebih dulu dirugikan. Dengan adanya pemotongan manfaat yang besar, pembayaran tunggakan kepada nasabah semestinya dapat dilakukan secara langsung alih-alih menggunakan skema cicilan yang dapat memberatkan nasabah.
Program restrukturisasi polis jangan sampai memberatkan nasabah yang sudah terlebih dulu dirugikan.
Di sisi lain, nasabah korporasi BUMN yang tergabung dalam asuransi kumpulan akan lebih mudah menerima pemotongan manfaat hingga 40 persen. Sebab, setidaknya, Kementerian BUMN selaku lembaga yang menerbitkan kebijakan restrukturisasi dapat memberikan intervensi kepada nasabah korporasi sebagai bentuk tanggung jawab.
Namun, tidak demikian halnya untuk nasabah perorangan. ”Nasabah asuransi perorangan akan sulit menerima pemotongan 40 persen karena akan memberatkan mereka. Sementara asuransi kumpulan masih sama-sama punya spirit sinergi BUMN, termasuk dalam soal mengatasi rugi dan bergotong royong,” ujarnya.