Pandemi Perjelas Kebutuhan Benahi Industri Nasional
Pandemi Covid-19 memperjelas kian mendesaknya upaya membenahi industri nasional. Substitusi impor dengan memacu produksi dan utilisasi manufaktur menjadi alternatif untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan Indonesia untuk memperdalam struktur industri dinilai semakin mendesak di tengah pandemi Covid-19 yang memukul jalur perdagangan global. Substitusi impor dengan memacu produksi dan utilisasi manufaktur menjadi alternatif meningkatkan daya tahan industri dan memulihkan perekonomian nasional.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, pandemi Covid-19 memberikan pelajaran bagi perindustrian nasional. Indonesia perlu memperdalam struktur industrinya dan mengisi pohon industri yang masih kosong.
”Substitusi impor bukan berarti gerakan anti-impor, melainkan memperdalam struktur industri nasional sehingga menguatkan manufaktur beserta rantai pasoknya, meningkatkan produktivitas nasional, dan menyehatkan neraca perdagangan,” ujarnya saat Rapat Koordinasi Nasional Kadin Indonesia yang digelar secara daring, Kamis (10/9/2020).
Kementerian Perindustrian mendata, sepanjang tahun 2019, nilai impor kebutuhan industri mencapai Rp 1.915 triliun. Nilai ini ditargetkan menurun 15 persen menjadi Rp 1.628 triliun pada tahun 2020 dan turun 35 persen menjadi Rp 1.245 triliun pada tahun 2022.
Salah satu sektor yang target substitusi impornya signifikan ialah industri makanan. Pada tahun 2019, nilai impor industri makanan sekitar Rp 140 triliun. Kementerian Perindustrian menargetkan, nilai ini merosot menjadi Rp 72 triliun pada tahun 2020 dan Rp 51 triliun tahun 2022.
Substitusi impor hingga 35 persen pada 2022 dinilai bakal berdampak positif pada sektor ketenagakerjaan. Apabila tercapai, terdapat sekitar 397.000 lapangan kerja tambahan atau setara dengan kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur sebesar 6 persen.
Agus Gumiwang menambahkan, investasi yang dibutuhkan untuk mengejar target subtitusi impor sebesar 35 persen mencapai Rp 197 triliun. Dia berharap, nilai ini dapat terpenuhi dari rencana investasi di sektor industri manufaktur yang belum terealisasi hingga 2023 sebesar Rp 1.048,04 triliun.
Berbarengan dengan substitusi impor, dia menyatakan, produksi perlu digenjot dengan meningkatkan utilisasi pabrik. Rata-rata utilisasi manufaktur saat ini berkisar 53-54 persen. Target utilisasi manufaktur pada tahun 2020 sekitar 60 persen dan akan didorong hingga mencapai 85 persen pada 2022.
Pandemi Covid-19, menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, membuat pelaku ekonomi dunia kehilangan keyakinan untuk investasi dan konsumsi di sektor riil di negera berkembang. Hal ini membutuhkan transformasi agar perekonomian nasional dapat mencapai kondisi yang lebih dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.
Selain itu, dia berpendapat, Indonesia membutuhkan upaya konkret untuk memanfaatkan kerja sama internasional yang ada sehingga menyokong arus investasi dan ekspor. Misalnya, melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memanfaatkan perjanjian perdagangan sehingga menciptakan dampak berganda.
Surplus (neraca perdagangan) disebabkan oleh impor yang turun lebih dalam dibandingkan ekspor.
Terkait kinerja ekspor dan impor nasional, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan, Indonesia tetap mesti mewaspada kinerja neraca perdagangan. ”Surplus (neraca perdagangan) disebabkan oleh impor yang turun lebih dalam dibandingkan ekspor,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Badan Pusat Statistik mencatat, total nilai ekspor sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai 90,12 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau lebih rendah 6,21 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi lain, total impor Indonesia sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai 81,37 miliar dollar AS atau merosot 17,17 persen dibandingkan Januari-Juli 2019.
Pasar kawasan
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menilai, Indonesia memiliki kapasitas fasilitas produksi dan manufaktur vaksin Covid-19 terbesar di Asia Tenggara. ”Kalau ditingkatkan, (Indonesia) bisa menjadi hub pasar kawasan,” ujarnya.
Sementara itu, Agus Gumiwang mengatakan, industri farmasi dan alat kesehatan nasional mesti mandiri. Hal ini merupakan pelajaran yang dipetik selama menghadapi pandemi Covid-19.
Impor pada industri sektor farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional juga ditargetkan menurun. Kementerian Perindustrian mendata, nilai impor industri sektor ini pada 2019 mencapai Rp 19 triliun. Targetnya, nilai impor tersebut pada 2020 dan 2022 merosot masing-masing menjadi Rp 13 triliun dan Rp 2 triliun.